Walkin the Street

♠ Posted by Aryni Ayu in
Walkin on the Street

Haute Hippie leather dress
€998 - unger-fashion.com

Elie Saab sequin blazer
$3,404 - boutique1.com

Olsenboye high heels
$40 - jcpenney.com

Christian Louboutin high heels
$895 - shopsavannahs.com

Reed Krakoff leather tote
$1,090 - net-a-porter.com

Wool hat
$50 - topshop.com

Viktor & Rolf Flowerbomb Extreme 50ml
£68 - harveynichols.com

Linea Dark pink king peony
£12 - houseoffraser.co.uk

SiLver Queen

♠ Posted by Aryni Ayu in
Silver Queen

Biba slouchy top
£39 - houseoffraser.co.uk

Camisole top
$20 - tillys.com

Faux fur cropped jacket
$440 - aliceandolivia.com

T by Alexander Wang ruched skirt
$135 - net-a-porter.com

Forever21 ankle booties
£17 - canada.forever21.com

Christian Louboutin platform high heels
$895 - shopsavannahs.com

See by Chloe red wallet
£65 - liberty.co.uk

Gucci leather clutch
£495 - flannelsfashion.com

Ring
$20 - pyramidcollection.com

Vanessa Mooney layered chain necklace
$135 - calypsostbarth.com

Diane Kordas rose gold ring
$5,555 - net-a-porter.com

Kara by Kara Ross enamel necklace
$143 - couturecandy.com

L'Artisan Parfumeur Al Oudh
$155 - barneys.com

Mewujudkan Pendidikan Berkualitas

♠ Posted by Aryni Ayu in


BENARKAH pendidikan di Tanah Air belum berkualitas? Pertanyaan sederhana itu cukup tepat guna mengawali perbincangan kondisi pendidikan Indonesia terkini. Memang diakui, pendidikan kita masih dilingkupi banyak persoalan. Secara umum, dikatakan pendidikan kita mengalami penurunan kualitas. Hal itu terlihat dari menurunnya kualitas dan penghargaan terhadap riset, serta penurunan kualitas sumber daya manusia.

Seperti disinggung Prof Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta), potret penurunan kualitas pendidikan tidak lepas dari sejarah. Yakni, ketika bangsa Indonesia kehilangan momentum penting guna membangun dunia pendidikannya. Setelah merdeka, Indonesia sibuk dengan persoalan politik.

Padahal, di negara lain, seperti Jepang, selepas perang justru dimanfaatkan guna membangun sistem pendidikannya, terutama kualitas para gurunya.
Di tataran itu, kita bisa katakan kebijakan politik telah menjadi penyebab menurunnya kualitas pendidikan. Jelasnya, pada masa Orde Baru (Orba), hal penting yang lebih diperhatikan ialah eksploitasi sumber daya alam (SDA) ketimbang pembangunan intelektual melalui pendidikan. Akibatnya, pendidikan Indonesia kurang diperhatikan. Pada gilirannya, kelak terjadi pula kemandekan (stagnasi) pemikiran pendidikan.

Mandeknya pemikiran tersebut disebabkan banyak faktor. Di antaranya, karena pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat lebih dikedepankan, baik dalam pembuatan kebijakan maupun praktik pendidikan. Misalnya, penerapan paradigma belajar yang lebih memusat ke guru (teacher center learning), padahal dalam Ki Hadjar Dewantara telah dikenal konsep guru yang ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Selama ini, disadari atau tidak, pemikiran-pemikiran pendidikan dari budaya Timur tidak kita perhatikan. Ironisnya, kita justru bangga dengan menerima barang jadi dari Amerika, Eropa, atau Australia. Padahal, pemikiran-pemikiran dari budaya Timur, seperti Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa-Yogyakarta), Mohammad Sjafei (INS Kayutanam-Padang), KH Imam Zarkasyi (Pondok Modern Gontor-Ponorogo), atau lainnya cukup bagus.

Itu terbukti bahwa UNESCO kini justru mulai memakai pemikiran-pemikiran seperti yang digagas-bangun Ki Hadjar atau Sjafei. Untuk itulah, tanpa adanya keberpihakan politik (political will), pemikiran dari tokoh-tokoh lokal ataupun ide-ide pendidikan yang bersumber dari khasanah budaya sendiri tidak mungkin berkembang. Jika hal itu tidak direspon, kelak fenomena kemandekan pemikiran pendidikan masih terjadi di masa-masa mendatang.

Mengutip pendapat Bedjo Sujanto (2006), gagasan-gagasan orisinal dalam pendidikan sebenarnya terus bermunculan, termasuk dalam wujud sekolah-sekolah alternatif. Akan tetapi, eksperimen tersebut tidak bisa berkembang menjadi pemikiran pendidikan karena keberadaan mereka belum diterima dengan lapang dada. Itu terbukti dari masih minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap sekolah-sekolah alternatif.

Padahal, sekolah-sekolah tersebut cenderung lebih bisa memberdayakan masyarakat kelas bawah ketimbang sekolah-sekolah formal. Dengan segala upayanya, para pengelola sekolah-sekolah alternatif berusaha sedemikian rupa, agar pendidikan bisa terjangkau bagi semua kalangan. Pasalnya, tidak semua anak-anak merasa nyaman belajar di sekolah formal. Untuk itulah, akan sangat baik jika pemerintah mulai memperhatikannya.

Apalagi sejak Peraturan Pemerintah (PP) tentang Wajib Belajar itu terbit, pemerintah pusat maupun daerah dituntut harus mampu memberikan perhatian selain pendidikan formal, yakni pendidikan informal dan nonformal. Dalam hal ini, pendidikan seyogianya juga melibatkan pihak keluarga dan masyarakat. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan itu bersifat terbuka dan komponen pelaksananya ialah sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Ketiganya, pada hemat saya, perlu bersinergi dalam membenahi kondisi pendidikan yang belakangan sudah melenceng dari jalur idealnya. Betapa tidak, saat ini masyarakat cenderung melimpahkan tugas mendidik anak-anak kepada pihak sekolah. Padahal, pihak sekolah (dalam hal ini guru di kelas) tidak sepenuhnya sanggup melaksanakan tugas tersebut. Kondisi yang demikian, jelas pada umumnya sangat merugikan pihak sekolah.

Idealnya, pendidikan di sekolah berjalan efektif; dan pada gilirannya akan menciptakan kondisi pembelajaran kreatif. Murid akan aktif dan guru menjadi fasilitator. Adapun sumber belajar tak lagi terbatas pada buku pelajaran atau hanya di dalam ruang kelas. Kelak, dengan pola tersebut diharapkan terjadi proses produksi pengetahuan sehingga prinsip penyelenggaraan pendidikan yang membaharui seperti diatur dalam UU Sisdiknas, dapat terlaksana.

Namun, kondisi objektif berkata lain. Meskipun berkali-kali ganti kurikulum, pendidikan kita masih terjebak pada fakta lama, bukan fakta baru. Maksudnya, konsep penguasaan yang dibidik pendidikan kita masih mengacu pada temuan pakar terdahulu. Sementara penemuan fakta baru yang sesungguhnya lebih bisa membuat siswa menjadi kreatif tidak digunakan. Akibatnya, mutu pendidikan cenderung menurun dan menurun.

Ironis, konsep tersebut masih banyak diterapkan hingga saat ini, sejak dari jenjang pendidikan dasar (SD-SMP) hingga perguruan tinggi (PT). Suatu konsep di mana siswa (juga mahasiswa) terus dimasuki berbagai ilmu tanpa berusaha mengajak mereka mencari sesuatu yang baru. Dalam filsafat kuno, siswa (juga mahasiswa) lebih banyak diberikan ikan ketimbang kail. Akibatnya, mereka cenderung pasif dan menunggu tambahan ilmu dari guru (juga dosen).

Jika demikian halnya, tugas untuk mengubah konsep pendidikan dari yang semula tradisional menjadi modern ialah menjadi kewajiban semua pihak. Guru menjadi faktor penggerak utama, yakni dengan menjadi inspirator bagi siswanya. Ini sulit karena guru-guru kita sudah terbiasa patuh pada aneka peraturan, seperti juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis). Bagaimanapun, guru tetap perlu didorong untuk melakukan perubahan tersebut.

Dengan begitu, kualitas pendidikan di Tanah Air perlahan namun pasti akan menjadi lebih baik. Jika pemerintah memang memiliki komitmen, segeralah wujudkan komitmen itu dalam bentuk strategi ekstrem yang lebih mengedepankan proses dan perbaikan infrastruktur. Program pendidikan gratis dan peningkatan kesejahteraan guru ialah salah satu contohnya. Keduanya amat penting dalam mewujudkan kualitas pendidikan kita saat ini.

Kemerdekaan Indonesia, Harga Diri yang Tak Boleh Mati!

♠ Posted by Aryni Ayu in

Bawalah harga diri Indonesia sebesar mungkin ke hadapan negara adidaya! sikapi kemunduran bangsa ini dengan tindakan – tindakan yang kian positif, bukan hanya berkicau di ruang kosong tanpa ada solusi sedikitpun. Talk less do more!

Pemberitaan Indonesia belum sepenuhnya bersih dari kasus – kasus kleptokrasi! Ada Nazaruddin yang masih menyimpan sejuta rahasia walau rakyat telah bertepuk tangan atas kondisinya yang kini semakin merana setelah berhasil dipulangkan kembali ke Indonesia, adapula kasus – kasus korupsi yang belum terungkap, masih dibiarkan menjadi semakin besar saat rakyat sedang teralih oleh isu – isu tertentu. Namun ada segelintir berita yang menggembirakan, bahwa Indonesia tergolong dalam 4 besar negara berkembang tercepat perekonomiannya dalam pembentukan Masterplan Internasional tertanggal 11 Maret 2011. Para koruptor di bilik – bilik jeruji besi juga boleh tersenyum sesaat karena di hari ini, tepatnya saat Indonesia mereyakan hari Ulang Tahun yang ke – 66, mereka mendapat remisi pembebasan bersyarat dari pemerintah. Ya, semoga saja dapat menambah rasa patriotisme diantara ahli korupsi itu.

Sore ini, Sang Saka Merah Putih telah diturunkan oleh segenap pasukan 17, pasukan 8, dan pasukan 45 dalam balutan suasana upacara penuh khimad di Istana Negara. Presiden ke – 8 kita secara perspektif sejarah, Susilo Bambang Yudono beserta staf kenegaraan duduk bersama menyaksikan upacara peringatan Kemerdekaan Indonesia ke – 66. Tertanggal 17 Agustus 2011, tepat 66 tahun setelah Indonesia berhasil memekikan kata ‘merdeka’ di telinga dunia, membuktikan kepada pihak – pihak imperialis ataupun kepada pihak – pihak yang masih terjajah bahwa kami sebagai bangsa Indonesia, adalah bangsa yang kuat, dan tak butuh belas kasihan dari Portugis, Belanda, Jepang ataupun Amerika untuk memerdekakan rakyat kami. ‘Kemerdekaan Indonesia haruslah 100 % tanpa campur tangan pihak penjajah!’ pekik Tan Malaka dalam rekaman sejarahnya, dia rela perjuangan yang dia gapai harus berhenti ditangan rakyat Indonesia sendiri saat dirinya dituduh sebagai seorang komunis. Hal ini dilakukan demi satu hal, ingatlah bahwa Harga Diri Bangsa tak boleh Mati!

Dalam kepingan sejarah selanjutnya, tercatat dua bulan sebelum kemerdekaan Indonesia terucap, pemuda - pemudi revolusioner seumuran kita, berani memperjuangkan seluruh kemampuannya untuk membakar semangat rakyat tentang kemerdekaan melalui beberapa stasiun radio milik Jepang. Yang kala itu memang sangat sulit dan ketat untuk menyalurkan berbagai angan – angan tentang ‘kemerdekaan’. Bahkan Presiden Soekarno sebagai orang pertama yang mengucapkan proklamasi kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul 12 siang, rela menjadi abu dari sebuah revolusi yang pasti akan terjadi setelah kata ‘kemerdekaan’ terucap di bumi tanah air Indonesia. Panglima Sudirman yang rela penyakit kronisnya semakin parah saat harus memimpin pertempuran melawan Agresi Militer Belanda II di tahun 1948, serta Moh. Hatta yang rela meletakkan jabatan wakil presidennya di tahun 1956 karena beranggapan bahwa kepemimpinan adalah sebuah amanah, bukanlah kekuasaan yang harus terus dipegang layaknya system pemerintahan sekarang.

Kesemuanya tersebut adalah beberapa kepingan – kepingan sejarah yang selayaknya harus diingat, dihargai secara penuh, dan diisi perjuangannya dengan optimisme sebagai segerombolan generasi muda yang memiliki tanggung jawab besar untuk memajukan bangsa Indonesia apapun konsekuensinya. Bukan hanya sebuah celaan, sindiran, ataupun rasa ketidakpuasan yang banyak terlontar oleh segelintir kalangan muda melalui dunia maya dan dunia nyata atas semakin mundurnya negara kita akibat maraknya tindakan – tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menandakan bahwa mental para pemimpin kita kian turun ke jurang degradasi. Namun bawalah harga diri Indonesia sebesar mungkin ke hadapan negara adidaya! sikapi kemunduran bangsa ini dengan tindakan – tindakan yang kian positif, bukan hanya berkicau di ruang kosong tanpa ada solusi sedikitpun. Talk less do more!

Mungkin juga terlontar pertanyaan besar mengenai kemerdekaan Indonesia, banyak pihak bahkan para generasi muda yang mempertanyakan benarkah Indonesia sudah benar – benar merdeka? nyatanya, negara ini masih begitu miskin untuk menghadapi dan menjawab berbagai tantangan globalisasi yang kian kompleks. Apalagi saat bangsa ini tersangkut problematika serius dengan negara – negara tetangga yang dinilai telah mematikan harga diri bangsa, pantaskah jika bangsa ini disebut – sebut sebagai negara yang telah merdeka?

Sebagai seorang pemudi yang mencoba bersikap proaktif dan provokatif atas berbagai komplekstisitas permasalahan yang terjadi di hampir semua lini kehidupan bangsa Indonesia, maka ijikanlah saya untuk menjelaskan pertanyaan tersebut berdasarkan analisis sejarah.

Indonesia telah memulai perjuangan hidupnya sejak beratus – ratus tahun lalu, bahkan saat seorang diantara mereka masih belum mengetahui bahwa mereka hidup di negara yang bernama “Indonesia’ sekalipun, tepatnya di pertengahan abad – 15, filosofi hidup mereka telah menyatu dalam sebuah Pancasila. Ketuhanan, kemanusiaan, dan sikap gotong royong yang terpancar jelas dalam tindakan rakyat di masa kerajaan, hingga dipertengahan jalan pada akhirnya mampu menyadarkan rakyat untuk mengenal identitas bangsa mereka yang sebenarnya. Apakah mereka berasal dari negeri Sumatera, negeri Jawa, Negeri Sulawesi, dan Negeri – negeri lainnya? Secara berangsur – angsur pertanyaan ini pun menghilang setelah mereka mengerti bahwa negara – negara lain ingin merebut dan memecah belah bangsa mereka, yaitu bangsa Indonesia. Penjajahan yang berlangsung selama beratus – ratus tahun lamanya bukanlah salah para generasi terdahulu, karena mereka telah berhasil memperbaikinya di tanggal 17 Agustus 1945, saat proklamasi Kemerdekaan pertama kali diikrarkan.

Kesalahan terbesar terletak pada generasi hari ini. Mental terjajah yang senantiasa melekat dalam opini publik bukannya segera ditangani, tetapi malah dijadikan akar untuk memperkaya kepentingan pribadi. ‘Kemerdekaan’ adalah sebuah perjuangan, dan perjuangan tersebut harus diteruskan melalui sebuah ‘Revolusi’. Revolusi bukan hanya terjadi di medan perang, tapi perjuangan ‘Kemerdekaan Indonesia’ itu sendiri untuk menjawab tantangan di era globalisasi adalah sebuah bentuk ‘Revolusi’.

Revolusi masih berjalan bung! Dan Kemerdekaan adalah Harga Diri yang Tak boleh Mati! Jangan hanya bernyanyi sumbang diatas keterpurukan yang tengah terjadi pada bangsa Indonesia, tapi berbuatlah sesuatu yang berguna untuk Indonesia! Ingat, semakin kita tak mampu berbuat lebih dalam menjawab tantangan global, semakin harga diri bangsa mati!