Kesenyapan Suara Kartini (The Lower Voice of Kartini)

♠ Posted by Aryni Ayu in
Di masa – masa berat inilah jabang bayi Kartini lahir. Jika dulu pribumi berjuang untuk sesuatu yang pantas diperjuangkan, demi harga diri rakyat. Masa culturstelsel, rakyat berjuang tanpa demi apa – apa.

“Suaraku kian senyap, terdengar parau! Hampir seluruh generasiku, wanita – wanitaku, tak sesuai dengan amanatku dulu! Mereka terlalu lelap dalam buaian kapitalis. Emansipasiku bukan itu, sungguh, kalian salah tafsir!” Seandainya Kartini masih hidup, inilah surat yang mungkin akan ia kirimkan kepada sahabatnya, Estella Zeehandelaar.



Tertanggal dua puluh satu april setiap bulannya. Meski tidak ditandai oleh garis lingkar merah di kalender, namun gaungnya terus terdengar. Ya, hari itu, semua orang hampir di seluruh pelosok negeri ini beramai – ramai merayakan sesuatu. Media televisi dari pagi hingga senja hari, secara kontinyu berlomba – lomba menampilkan sosok Kartini dalam beberapa potret. Ada yang memberitakannya dalam ranah modeling dan fashion. Ranah sosial dan human interest, salah satunya menampilkan sosok wanita yang penuh derita dan kuat memperjuangkan hidupnya, mungkin hanya untuk makan!, Terakhir, ranah independen yang lebih tercermin dalam arti ‘kebebasan’. Bebas berpikir, berbuat, dan bertanggung jawab, mungkin juga untuk statement bebas moral!

Hari itu memang penuh arti. Banyak diantara wanita – wanita kita memakai baju favoritnya. Di tempat pelajar berkumpul, antara guru dan murid diwajibkan untuk berpoles diri ala dirinya. Seorang model berlenggak – lenggok dalam busana Anne Avantie, memakai gincu demikian tebal, raut tubuhnya berkata “Perhatikan aku, aku adalah dirinya dalam balutan batik ini”.
Ya, siapa tak kenal Kartini. Wanita kita yang satu ini adalah symbol kebebasan bagi para wanita lain. Berkat dirinya suara – suara penderitaan ‘kaum lemah’ tak lagi terdengar separau dulu, ketika kebebasan terbelenggu dalam strata unggah – ungguh simbolisme Jawa. Saat gema “merdeka” tersimpan dibalik seragam para colonial Belanda.

Kartini cukup bahagia melihat kaumnya kini tak se-menderita dia dulu, namun suaranya tak lagi lantang. Jauh di dalam kuburnya, mungkin suaranya keras – keras menggema “Wanita – wanitaku, inilah aku, perjuanganku, emansipasiku, adalah untukmu, kumohon jangan salah tafsir!” Dirinya sedih ketika melihat perubahan dunia yang tak lagi seindah dulu, norma – norma kian terdegradasi, perempuan – perempuan yang ia bela justru semakin larut dalam eksploitasi zaman, eksploitasi para kapitalis!

“sungguh aku wanita Jawa yang berhak untuk tidak bodoh, aku akan membela rakyatku, sampai tiitk darah penghabisan, Stella..” (Surat Kartini, 15 Agustus 1900)

Saat itu Jawa bukanlah pulau pendidikan, pulau modern, pulau metropolitan. Jawa hanyalah actor figuran yang ada dibalik suksesnya Belanda menghasilkan berkarung – karung uang dari hasil minyak pribumi. Rakyat terlihat kurus kerontang, tinggal tulang – belulang. Tahun 1830, pasca Perang Jawa besar – besaran, kaum pribumi boleh terdengar hingar bingar. Karena pertempuran mereka membela negeri ini, agak terbayarkan. Minimal, dunia melalui para penulis Barat akan tahu betapa dahsyatnya perlawanan pribumi kepada tuannya. Hutang yang melilit Belanda atas perang ini terlampau tidak sedikit, sebesar 37 f. Jika dibulatkan dengan nominal hari ini, mungkin akan setara dengan penjualan minyak seluruh Jawa ke luar negeri. Sebagai penjajah yang merasa berstrata lebih tinggi, lebih berpengetahuan, seorang Komisaris Jenderal Hindia Belanda memunculkan wajahnya kepada Ratu Wihelmina. Dirinya mempersembahkan rencana – rencana ‘jahat’ lain untuk membayarkan hutang – hutang Belanda kepada dunia internasional. Pasti dan tak mungkin salah, melalui negeri jajahan. Apalagi Indonesia, adalah negara kaya dan dungu, batin seorang Komisaris. Lahirlah ‘culturstelsel’, sebuah arena malapetaka selanjutnya untuk para pribumi. Dipimpin oleh van den bosch, mereka lepas landas menuju Hindia – Belanda.

Lagi dan lagi. Pribumi harus menderita akibat keputusan Nederland untuk menghalalkan rencana – rencana malapetaka baru. Seperlima dari tanah penduduk, kini harus ditumbuhi tanaman – tanaman komersil yang ditetapkan oleh Gubernemen (baca : gubernur pimpinan Belanda) seperti ; kopi, nila, gula, tembakau. Sedangkan hasil, dapat diserahkan pemerintah dengan harga pasar. Dalam laporan – laporan kepada Hindia Belanda, sejenak culturstelsel adalah indah, tanpa penjajahan. Tapi pada realitanya, rakyat semakin tinggal tulang belulang. Lihat saja, banyak diantara mereka bekerja diatas tanahnya sendiri. Jika tak memiliki sebidang tanah, maka akan bekerja untuk Belanda selama enam belas bulan, tanpa biaya transportasi dan tanpa uang upah. Pribumi memiliki tanah, tapi garapannya adalah milik Belanda. Munculah kaum proletar untuk pertama kalinya di Jawa.

Jika dulu pribumi berjuang untuk sesuatu yang pantas diperjuangkan, demi harga diri rakyat. Masa culturstelsel, rakyat berjuang tanpa demi apa – apa. Kini nenek moyang kita terlihat lebih dungu, dan lebih menderita. Cambuk – cambuk Belanda mewarnai warna kulit pribumi setiap harinya, mayat – mayat jatuh bergelimpangan di jalanan, dan para amtenar Jawa, tidak bisa berbuat apa – apa. Selain, hanya mengirimkan surat protes untuk Belanda. Di masa – masa berat inilah jabang bayi Kartini lahir.

Kartini terlahir di sebuah tempat dalam gedung keassistenanwedanan, dahulu merupakan tempat rumah bupati. Ya, karena ayahnya adalah bupati Jepara, seorang bernama Ario Sosroningrat. Beliau adalah bupati pertama meneruskan usaha kakek Kartini, yang berjuang agar rakyat mendapat keringanan akibat culturstelse. Adalah bupati pertama pula yang mempunyai ide dan menerapkan suatu hal, bahwa pendidikan dan pengetahuan akan sangat penting agar anak – anaknya tak semenderita rakyatnya.

Mengenai ibu kandungnya, nyata adanya merupakan selir yang dinikahi ayahnya, bernama Sumirah (Surat, 21 Maret 1902, kepada Nyonya H.G. de Booiji – Boissevain). Meski media massa jarang memberitakan hal ini, bisa dipahami sebabnya. Dahulu, memang peranan wanita jarang atau bahkan tidak ditonjolkan dalam simbolisme Jawa. Jadi wajar saja apabila ibu kandung kartini yang hanya dari seorang rakyat biasa, yang kebetulan saja karena mungkin keindahan dan kemolekan tubuhnya, beruntung dinikahi oleh seorang bangsawan, tidak dipublikasikan. Dalam surat – surat Kartini pun, tidak tertulis nama ibu kandungnya. Kemungkinan besar, dirinya harus menjaga nama baik ayahnya, mengingat kecintaan terhadap jasa – jasa ayahnya yang begitu besar.

Di masa awal, emosionalitas Kartini mengenai kedudukan wanita telah terpancang kuat, sejak dirinya berada di kalangan keasistenanwedana. Didalamnya, terdapat persaingan antara isteri – isteri ayahnya, dan saudara – saudaranya. Jadi, ketika ayahnya menikahi seorang perempuan, dan meninggalkan seorang yang lain, maka tidak ada hukum untuk melarangnya. Pun di luar sana, banyak wanita yang dijadikan selir ataupun gundik (baca : isteri simpanan, biasa dipanggil ‘nyai’) oleh para bangsawan pribumi dan Belanda. Konflik diantara jiwanya semakin terlihat. Ia adalah seorang berani yang menginginkan keadilan menaungi seorang kaum perempuan. Ia ulangi keinginannya dalam kata – kata.

Indah dan mulia tugas yang memanggil kita untuk berjuang bagi kepentingan agung, bekerja buat kemajuan wanita Pribumi yang tertindas, peningkatan rakyat Pribumi, pendeknya menjadi berarti bagi masyarakat.. (Surat panjang 11 Oktober 1901, kepada Estella Zeehandelaar)

Emansipasinya mulai tergerak sejak dirinya mengenal dunia Barat. Secara intuitif, ia ketahui perbedaan, bahkan pertentangan, antara pergaulan Barat dan Pribumi. Di rumahnya sendiri, ia menjadi hamba bagi saudara – saudaranya yang lebih tua, dan siapa saja yang dalam pelapisan tata hidup feodal itu setingkat kebangsawanannya dengannya, tetapi yang umurnya lebih tua daripadanya. Dalam pergaulan dengan kawan – kawan Eropa, yang demikian tidak didapatinya. Ia dapati dunia Barat, setiap anak sama haknya dengan anak yang lain. Di dalam dunia Barat, ia merasa lebih bebas, lebih penuh. Setiap larangan bukan ditentukan oleh suka tidaknya orang – orang yang lebih tua atau lebih berbangsa daripadanya, tetapi berdasarkan alasan – alasan yang bisa diterima (via Pramoedya Ananta Toer, 2009 : 149).

Ketika dewasa, titik kulminatif semakin tampak pada diri Kartini. Wanita pertama yang mengenal demokrasi saat Indonesia masih menjadi Hindia – Belanda. Kaum perempuan terus diperjuangkannya meski harus mendapat penentangan dari berbagai pihak. Mendapat cap – cap kebodohan dari para colonial, namun tindakannya adalah cerdas! Jangan melihat kartini sebagai sosok yang akhirnya dikawinkan dan menjadi seorang biasa. Tapi cerdaslah dalam mengamati perjuangannya. Sungguh tak pernah ada di negara manapun sosok perempuan seperti ini!

“Suaraku kian senyap, terdengar parau! Hampir seluruh generasiku, wanita – wanitaku, tak sesuai dengan amanatku dulu! Mereka terlalu lelap dalam buaian kapitalis. Emansipasiku bukan itu, sungguh, kalian salah tafsir!”

Namun Kartini kini berada dalam kesenyapan. Maka tak bolehlah ada secuil pun dari wanita – wanita masa kini lalu membebaskan dirinya dengan ‘berkedok’ emansipasi. Membebaskan dari segala nilai tatanan dan moral, bebas mengekspolitasi kemolekannya demi sesuap nasi. Kemudian mengakulturasi budaya Barat secara total, seperti hari ini. Memberikan secuil ‘rok mini’ tetap melekat sebagai keindependenan seorang wanita. Dengan tetap ‘berkedok’ dan ‘berekor’ pada emansipasi. Sungguh ini sebuah kebodohan! Emansipasi dalam kamus Kartini adalah wanita berpendidikan dan bermoral. Beranilah dalam hal ini, perjuangkan emsipasiku!

“Barang siapa tidak Berani, dia tidak akan menang, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan Berani! Pemberani – pemberani memenangkan tiga perempat dunia!” (Kartini via Pramoedya Ananta Toer).

Kisah Penjajahan Jepang Era 1942 - 1945 (Studi Kasus : Lingkungan Kreyongan, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember)

♠ Posted by Aryni Ayu in

Kisah ini ditulis berdasarkan sumber lisan yang diambil dari serangkaian wawancara dengan Ibu Narty, seorang saksi sejarah kelahiran Jember 80 tahunan silam.

Pendahuluan


Perjuangan Kemerdekaan Indonesia memasuki abad intelektual memang tak lagi bernyawa Swarnabumi, Jawadwipa, atupun Borneo. Bangsa yang terdiri dari keberagaman dan kesamaan kebudayaan dari sabang hingga merauke itu telah berubah menjadi suatu bangsa beratribut Indonesia. Bersatu padu tanpa harus lagi ada peperangan demi keabsolutan raja, kegemilangan satu suku, ataupun semangat kedaerahan yang terintrodusir menghambat persatuan. Semua bagian tersebut kemudian berhasil disatupadukan dalam balutan ‘berbangsa satu bangsa Indonesia’, Sumpah Pemuda tertanggal 28 Oktober 1928 (Mohamad Achadi, mantan Menteri Transmigrasi dan Koperasi Kabinet Dwikora). Jika Karl Marx dalam pemikirannya memiliki bangunan awal sebagai pondasi, dan bangunan yang lebih tinggi sebagai tangga menuju keadaan tanpa pertentangan kelas hingga terbentuk communist society (Aku Bukan Seorang Marxis, 2005). Maka sumpah pemuda dapat diibaratkan sebagai bangunan awal dan dengung “Indonesia Merdeka” sebagai bangunan tertinggi. Tentu untuk mencapai bangunan tertinggi ini, butuh perjuangan total.

Tak terelakan memang saat kemajuan revolusi Industri terjadi di negeri – negeri Barat, Indonesia kemudian mereka temukan tepat sebagai bahan bakar negara. Artinya, segalanya yang ada di tanah air loh jinawi ini pantas untuk direbut dan dieksploitasi besar – besaran. Begitulah praktik imperalisme dan kolonialisme Belanda lalu berlaku hingga tiga setengah abad lamanya, untuk kemudian berganti lagi dengan perampok lainnya. Silih berganti, Indonesia diperas! Benar – benar butuh perjuangan total dan berlanjut. Senada dengan wacana ini, nyonya Narty menanggapi “Masa pendudukan Jepang dan Belanda, sama saja kelakuannya! Hanya berbeda rupa!”

Sejarah memang bersifat kontinyu, hanya terjadi sekali (einmalig) dan tak akan terulang kembali (Gottschalk, 1995). Itu sebabnya mengapa meski Sumpah Pemuda telah ada, namun penjajahan masihlah berlanjut, pun karena sejarah Indonesia belum juga berubah. Biasanya, perubahan ini tidak secara serentak terjadi langsung di seluruh sabang sampai merauke, ini bertahap. Begitupun di daerah – daerah terpencil, termasuk tempat tinggal nyonya Narty yang ada di Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Masa Penjajahan Jepang

Sore itu beliau hanya seorang biasa yang melakukan rutinitas sehari – hari. Tak tampak sedikitpun oleh penulis bahwa dirinya adalah seorang yang pernah menyaksikan kekejaman penjajah di negeri pertiwi. Saat itu usianya masih balita, “Ya, waktu itu saya masih memang masih kecil sekali, saya terbiasa menjadi boneka kecil bagi Jepang. Saya dibawa dari keluarga saya, dimandikan, dan dipakaikan baju bagus. Meski kecil, namun masih ingat benar di pikiran saya bagaimana tingkah – tingkah mereka terhadap orang – orang kampung, termasuk bapak – ibu saya”.

Sembari membenahi letak duduknya, beliau kemudian melanjutkan cerita. Dulu, dirinya masih kecil, bahkan belum mampu ikut memperjuangkan gaung kemerdekaan. Namun terang sekali di ingatannya, mereka adalah orang – orang paling jahat yang pernah beliau lihat. “Saya tidak terlalu ingat tahun berapa, yang jelas Jepang baru saja datang ke Indonesia kemudian menerapkan penjajahan yang saya kira lebih kejam daripada penjajahan Belanda.”
Beliau menuturkan, jalanan di daerah Kreyongan memang masih berupa hutan – hutan, hanya dua tiga perkampungan penduduk yang ada. Sisanya, berupa jalanan yang masih terjal sekali namun cukup dilewati semacam truk – truk container milik Jepang.

“Bahkan ketika mereka (orang – orang Jepang) datang bersama kendaraan – kendaraan mereka yang besar, kami hanya bisa berlari – lari masuk kedalam rumah atau bersembunyi dibawah jalanan yang sengaja dilubangi untuk tempat persembunyian. Sebelumnya, kami sirami jalanan rumah setiap pukul 4 sore, agar jalanan tidak berdebu, lalu kami sembunyi. Bagi kami, kedatangan jepang dengan sirine – sirinenya yang mengaum di siang, sore ataupun malam hari, bagaikan kiamat. Kami sangat ketakutan, tak satupun dari keluarga saya bahkan yang berani keluar saat mereka berkeliling kampung, tutur Narty.”

Hal ini rupanya identik dengan fakta – fakta yang tertulis dalam buku sejarah nasional Indonesia bahwa terdapat lubang – lubang kecil di jalanan daerah - daerah bumi pertiwi sebagai tempat persembunyian padi ataupun bangsa Indonesia yang sedang terjebak ketika para penjajah sedang berkeliling untuk menjarah hasil bumi rakyat. Wanita paruh baya yang tegas pembawaannya tersebut melanjutkan

“Ya, saat mereka berkeliling desa, orang – orang desa bersembunyi, takut, dan tak berani melihat sedikitpun terhadap apa yang dilakukan oleh para penjajah itu. Ibu saya bersembunyi di bawah kolong tempat tidur, dan saya mencoba memberanikan diri untuk melihat mereka dibalik jendela. Ibu saya menjerit pelan agar saya tidak mengintipnya. Namun apa yang saya lihat? Saya terkejut. Berkata saya kepada Ibu. Bu, kendaraannya besar, dan mengangkut banyak sekali padi dari rumah – rumah tetangga (dalam bahasa Jawa).”

Perjuangan bangsa Indonesia umumnya terjadi melalui dua jalan, militer atau diplomatic. Di masa yang sama, pendudukan Jepang mengundang reaksi yang luar biasa dari rakyat. Bahkan disaat romusha masih digalakkan, rakyat cenderung beromantika dengan penderitaan. Beruntung para elit yang berada di pusat – pusat perjuangan rakyat seperti di daerah Jakarta, kemudian melakukan berbagai perundingan dengan pihak Jepang meski masih mengalami jalan buntu. Di daerah – daerah yang jauh dari pusat perjuangan, penjajahan pun tak kalah hebatnya. Di daerah kreyongan, kabupaten Jember, romusha juga membawa berbagai penderitaan. Dari segi konsumsi, kesehatan, hingga upah, tak pernah sekalipun Jepang berbaik hati kepada rakyat. Konsumsi mereka batasi atau tidak ada sama sekali, kesehatan umumnya selalu mendekati kematian, dan upah, tidak akan pernah ada dalam agenda Jepang.

“Dulu saat romusha, orang – orang di dekat rumah saya itu memakai pakaian dari karung goni, makan dengan sisa – sisa nasi yang kemudian diolah menjadi tiwul, atau hanya dijadikan ketan lalu diberi garam. Penduduk di sekitar saya tak punya uang sepeser pun, jadi hidup hanya untuk makan saat itu. Jika penduduk yang dipaksa romusha itu meminta air, yang saya lihat. Mereka (Jepang) memberi mereka minum dengan semacam selang air yang lalu disemprotkan kepada orang – orang. Siapa yang sempat terkena cipratan air ya beruntung tidak haus, bagi yang tidak ya sudah haus dan lapar jadi satu selama sehari semalam.”

Jepang sebagai negara imperialisme baru, bahkan lebih imperial dari penjajah Barat. Meski sama – sama Asia, namun bangsa ini tetap menganggap bangsa Indonesia masih berada dibawahnya. Seperti yang dianut negeri cauvinisme lain yakni Jerman, bersama dengan Italia dan Jepang, menganggap bahwa negerinya lahir dari ras tertinggi ‘bangsa Arya’. Bangsa – bangsa lain adalah bangsa yang kotor, dan harus dimusnahkan. Cukup dimengerti dasarnya mengapa Jepang ternyata menyandang predikat jauh kebih kejam daripada para penjajah Belanda.

Wanita - Wanita Indonesia

Layaknya laki – laki, wanita - wanita di lingkungan Kreyongan kabupaten Jember pun turut berperan untuk memperjuangkan gaung kemerdekaan. Berdasar keterangan Nyonya Narty, dahulu sekitar tahun 1945 saat Indonesia mulai mendapat titik terang kebebasan. Banyak sekali diantara pemuda – pemudi yang berperan sebagai spionase Indonesia untuk mengawasi gerak – gerik penjajah.

“Markasnya sampeyan tahu mbak, ada di dekat Rumah Sakit Paru – Paru itu, dulunya hutan disitu. Jadi, wanita – wanita yang saya lihat sepulang sekolah itu memakai pakaian hitam, menerabas hutan seperi tentara, begitupun laki – lakinya. Saat malam mereka mendatangi rumah saya dan rumah penduduk – penduduk lain untuk meminta makan dan minum, sekedar mengisi perut. Dan saya tahu, mereka rupanya mata – mata yang terbentuk secara tiba – tiba untuk mengawasi gerak – gerik pasukan Nippon. Saya tidak tahu, setelah beberapa bulan kemudian, pasukan Jepang berubah nama menjadi Nippon. Begitupun, saya memanggil mereka dengan sebutan Nippon, tuturnya.”

Sebutan ini dapat dimaksudkan ketika pasukan Jepang terdesak peperangan di Asia Pasifik akibat tindakannya melakukan pemborbardiran besar – besaran terhadap pangkalan laut terbesar milik Amerika Serikat, Pearl Harbour. Keterdesakannya ini tentu membawa pengaruh besar bagi perpolitikan dan militer Jepang ynag diterapkan kepada negara Jajahan. Penamaan Nippon sebagai pasukan, berisi orang – orang yang lebih kejam untuk memeras rakyat lebih dalam lagi. Penembakan bagi pribumi yang berani meneriakkan kata – kata “Merdeka”, akan berhadiahkan tembakan dari pasukan Jepang.

Wanita – wanita Indonesia. Peran mereka begitu besar, ada yang berperan sebagai pahlawan, pun ada yang terjebak dalam lingkaran hitam, sebagai pemuas hasrat pasukan Jepang. Bu Narty kembali bercerita “Ya, memang perempuan – perempuan di Jember ini termasuk di daerah saya, Kreyongan. Memang banyak sekali dari mereka yang dijadikan alat pemuas nafsu oleh pasukan jepang. Jika beruntung ada yang dijadikan istri, mereka dirawat oleh Jepang, tapi tetap saja mereka (Jepang) kejam. Istri – istri itu mereka jadikan simpanan di negeri orang, diberi pakaian dari bahan – bahan tikar, karung goni, dan perlak (alas untuk tidur seorang bayi). Kalau jalan ya terdengar seperti seseorang yang sedang terseok – seok karena bahan pakaian mereka. Jika mendapat panggilan dari Jepang, mereka kembali tanpa membawa perempuan yang dia jadikan sebagai istri simpanan. Ada juga seorang yang cantik dari sebuah kampung, maka akan dibawa oleh Jepang. Diperkosa ataupun dijadikan Jugun Ianfu, tanpa dijadikan seorang istri simpanan. Ya, tapi saya tidak tahu lagi soal ini.”

Jepang meninggalkan Indonesia

Setelah kekalahan mutlak yang harus diambil Jepang saat perang Dunia Pertama di tahun 1945, akibat serangannya terhadap Pearl Harbour. Otomatis, mandate pemerintahan Japang di negeri – negeri jajahan sebagian besar harus diserahkan kepada sekutu termasuk Indonesia. Meski teks proklamasi telah dikumandangkan tertanggal 17 Agustus 1945, namun Indonesia lagi – lagi harus legawa untuk terombang – ambing kembali dalam penjajahan. Pasukan Jepang secara bergelombang, kemudian berangsur – angsur pulang ke negerinya.

“Saya mengintip mereka dari jendela rumah. Saat pulang itu mereka ada di atas truk – truk container, secara berkelompok. Namun jangan coba – coba melihat mereka secera langsung, maka akan ditembak di tempat.”

Kepulangan Jepang dari bumi pertiwi, dari daerah terpencil di Jember. Cukup membuat traumatis yang cukup besar bagi penduduk pribumi. Dari anak, hingga keluarga yang terbunuh saat bekerja secara romusha, tanpa gaji dan tanpa makan. Rupanya menjadi cerita tersendiri bagi saksi sejarah bernama Narty. Keluarganya yang lain, sudah lama meninggal, termasuk tetangga – tetangganya terdahulu. “Saya beruntung bisa hidup hingga hari ini, saya sudah hapal gerak - gerik penjajah, masih lekat di ingata, meski saat itu saya masih kecil.”

Hilangnya Jepang dari tanah air, hanya membuat rakyat bernapas selama satu hari. Karena hari berikutnya, pasukan Belanda lalu berbondong – bondong datang ke Indonesia. Penjajahan mulai menampakkann raut mukanya kembali, pasca Indonesia merdeka.