♠ Posted by Aryni Ayu
Hari itu, ya
hari itu. Tertanggal dua puluh dua agustus 2012, tanda abad globalisasi kian
panjang umurnya. Manusia semakin ragam, ketidakmenentuan menjadi prediksi.
Begitu juga yang terjadi dalam perayaan Idul Fitri, sebuah momen besar bagi
kaum muslim. Tak peduli warna kulit, adat – istiadat negara mana, ataupun
tanggal perayaan yang kadang beda sehari dua hari. Idul fitri tetaplah idul
fitri. Perayaan tiada henti, besar – besaran bagi kaum kebanyakan. Silahturahmi
ala islam, menjadi tujuan utama. Ketupat, liburan, hingga pulang kampung,
menyusul sebagai adat. Tak begitu beda dengan keluarga kami. Tahun ini, tak ada
rencana mudik terlalu jauh. Biasanya pergi ke kota B (Banyuwangi), mungkin
karena mati kebosanan. Tiap tahun selalu kesana dan terlalu banyak pengeluaran
keluar tak semestinya, maka arah menunjukkan kota S (Situbondo) sebagai
kunjungan kali ini.
Pagi hari,
show time! Kacang – kacangan, kue – kue kering, permen, buah anggur, minuman,
tas berisi : samsung notebook, nokia E 63, buku – buku pendidikan, make up, sunglasses,
parfum, dan uang tentunya, siap dibawa. Layaknya perbekalan seorang keluarga
raja, semua – semua dibawa, maka berangkatlah kami. Menyusul keluarga baru yang
ingin ikut, istri dan anak baru pakdeku, rupa – rupanya turut memeriahkan liburan
kali ini.
Menit lebih
lima, atau separuh jam, perjalanan ini menemui jalannya. Mobil bergerak
menerobos ramainya lalu lintas pagi itu. Mentari bersinar dengan teriknya, pohon
yang melambai – lambai di sepanjang jalan, orang juga sibuk bersalam – salaman,
apalagi kendaraan berbadan besi, tak capek berputar – putar diatas aspal. Benar
– benar ramai. Namun tak satu batang hidung pun polisi yang nampak. Mungkin
karena mereka sedang cuti dari jalanan, ingin juga bersantap kue lebaran
bersama masing – masing keluarga. Mata ini juga sedang sibuk membaca, menterjemahkan
halaman demi halaman, mengerutkan kening memikirkan makna yang ditulis
penulisnya, atau sekedar mengetikkan ide – ide besar didepan laptop baru, ya, itulah
yang kulakukan diatas mobil. Menikmati perjalanan sembari tak ingin kehilangan
waktu sedetikpun untuk menggapai sebongkah mimpi besar.
Jalanan yang
mulai miring, berliku – liku. Berpasang – pasang anak muda yang juga ingin ke
S, menikmati indahnya pantai. Batinku, wah, anak muda semuda itu, apalagi
seumurku, sudah banyak yang menikah. Tuhan, aku bahkan tak sempat memikirkan
akan seberapa tuanya diri ini melajang, but I dont care! Kulihat lagi
keluargaku di dalam mobil sangat ceria, bercanda tawa, kemudian mulai
mengantuk. Kupasang suara Avril Lavigne, Katy Perry, Owl City, Carly Ray Jepsen
di telinga, sungguh lagu yang menginspirasi. Entah kapan aku terakhir mencintai
lagu sendiri, Indonesia, rasanya tak nyaman ditelinga. Biar yang lain tertidur,
mata ini tetap terjaga. Dan menit sekitar 120 lebih, akhirnya kami sampai di
pemandangan indah yang pernah ada. Pasir berwarna putih, bau ikan yang
menyengat hasil tangkapan para nelayan giat. Benar – benar panorama yang indah,
meski lokal namun tak kalah dengan Hawai. Andai penghargaan semua orang tentang
aset lokal benar – benar tinggi, mungkin pantai ini bisa masuk dalam liputan
National Geographic. Ah, lagi – lagi menghayal.
Sampai di
pintu masuk, papa mulai membayar semuanya. Sang penjaga pintu menunjuk –
nunjukkan jarinya menghitung kami, ya, harga per kepala ternyata dua belas ribu
rupiah. Benar – benar kurang ajar bukan main, batinku, tertulis di papan
pengumuman per kendaraan, tapi? Aih, dasar kapitalis kecil. Lalu kami masuk.
Tak ada penampilan terlalu mencolok disana. Pemandangan indah, look good! Orang
– orang yang memang khas indonesia, kekeluargaan, pakaian tertutup,
konsumerisme, dan tentu saja berbondong – bondong, I mean that its so big
family, mereka ramah.
Ketika kami memarkirkan mobil, hey,
ada satu rombong turis disana. Tentu aku hafal sekali, tak mungkin tujuan
mereka hanya berpariwisata, tapi juga meneliti kearifan lokal yang ada di
pantai itu. Kamera DSLR, sekedar bercakap – cakap dengan turis lokal, melihat –
lihat pantai. Pasti mereka penasaran apa – apa yang menjadi adat – istiadat
penduduk disana. Apa yang dilakukan orang Indonesia ketika di pantai, tentu
akan sangat berbeda dengan pantai – pantai di negara barat sana. Seandainya
orang Indonesia melakukan hal yang sama, pasti penghargaan ke tanah air sendiri
bakal tinggi, dan tak perlu tolah – toleh ke Hollywoodnya Amerika, atau
K-Pop-nya Korea, kita bisa punya identitas sendiri.
Lagi – lagi aku melamun. Tuhan,
kenapa kepala ini selalu berisi hal – hal yang tinggi, aku harap bisa
mencapainya. Menit lebih lima, kami segera berlari. Papa, adik, pakde dan
anaknya berlari ke pantai. Sedang aku, mama, dan bude berjalan – jalan di
sekitar tempat penjualan oleh. Wah, ini baru yang dinamakan pariwisata. Ada
tempat pembelian oleh – oleh, mungkin juga tempat penginapan, dan tentunya
tempat makan, mungkin restauran suatu hari, meski sekarang hanya depot biasa. Pasti
yang aku kunjungi dulu orang penjual accesoris, that’s my favorit! Aku beli
sebuah gelang yang memang benar – benar bagus, dan di toko harganya bisa
berlipat – lipat. Ada juga baju – baju, aku tertarik, tapi mahal! Kalau mama
tak tertarik, I say yes too, karena mama yang punya uang. Andai aku yang jadi
kapital position, punya rupiah secukupnya, pasti aku beli.
Lalu kami berjalan lagi. Disana toko
– toko berjajar, begitupun orang – orang berjalan – jalan memakai pakaian yang
memang khas Indonesia, gaya kas pemuda Indonesia. Ada yang terpelajar, hemat,
konsumerisme, atau sekedar bergaya tapi tak memiliki rupiah yang cukup untuk
membeli – belikan pujaan hatinya sesuatu, atau juga ada yang memang benar –
benar terlihat chic menurutku, alias look good, penampilan yang cocok dengan
suasana pantai. Ada pula yang memakai baju berwarna hitam, bagus, khas
terbaiknya mungkin. Tapi sayang, itu busana untuk pesta malam. Juga beberapa
orang lagi berpenampilan busana muslim lengkap seperti akan ada acara halal
bihalah di suatu kantor. Oh my god, benar – benar jadi pengamat fashion aku
hari itu. Dan aku sendiri, memakai baju hijau panjang, accesoris etnic,
sunglasses warna cokelat. Aku rasa benar – benar chic untuk ke pantai.
Buktinya, banyak yang melihatku dari bawah ke atas, dari atas ke bawah,
entahlah, aku rasa itu cocok.
Selesai berbelanja, kami mengunjungi
papa, adik, pakde, dan anaknya di pinggir pantai. Mereka berenang, tertawa
terbahak – bahak sembari menyirat – nyiratkan air ke muka – muka manusia yang
lain. Aku pun juga tertawa berbahak, apalagi ada orang gila di pinggir pantai.
Entahlah dia gila atau sekedar menatap pinggir pantai sembari berjongkok juga
ikut tertawa – tawa saat kami tertawa. Hihi. Orang gila yang tak punya pikiran
apa – apa selain santai, berjongkok, menatap indahnya dunia sambil tak pernah
pusing memikirkan apa beratnya hidup, benar – benar membikin orang yang waras
iri. Kami pun juga berfoto – foto ria disana. Layaknya selebriti hollywood yang
sedang difoto paparazi, pura – pura tak ada kamera, dan kami terlihat keren,
haha!
Puas berfoto, kemudian mandi, membeli
mie serta sate, dan makanan kecil lain untuk dilahap. Duduk bersantai di dekat
pantai bersama keluarga. Rasanya, tak pernah ingin pulang. Disanapun ada
‘topeng monyet’, tradisi milik Indonesia yang tak pernah hilang ditelan
modernnya dunia. Aku memotretnya, sayang tak bagus.
Selesai semuanya bersantai. Tentu
kami segera pulang. But, Tuhan, ada kecelakaan sewaktu baru saja keluar dari
gerbang. Semua orang seakan terlihat kaget, menutup tangan, dan mencoba
menolong keduanya. Antara mobil berkecepatan tinggi yang agak ‘ngawur’ menyetir
dengan sepeda yang menyebrang untuk menikmati indahnya pantai. Aku harap it
will be okey. Kami meneruskan perjalanan menuju wilayah lain di Kota S, hingga
terlalu kebablas hingga taman nasional Baluran, God! But its okey, we were
happy. Kami semua senang ada dalam liburan hari itu. Semoga ini menjadi momen
yang tak pernah kiamat makna dan kesenangannya. Benar – benar bahagia hari itu.