Ied Holiday : Situbondo Beach

♠ Posted by Aryni Ayu


     Hari itu, ya hari itu. Tertanggal dua puluh dua agustus 2012, tanda abad globalisasi kian panjang umurnya. Manusia semakin ragam, ketidakmenentuan menjadi prediksi. Begitu juga yang terjadi dalam perayaan Idul Fitri, sebuah momen besar bagi kaum muslim. Tak peduli warna kulit, adat – istiadat negara mana, ataupun tanggal perayaan yang kadang beda sehari dua hari. Idul fitri tetaplah idul fitri. Perayaan tiada henti, besar – besaran bagi kaum kebanyakan. Silahturahmi ala islam, menjadi tujuan utama. Ketupat, liburan, hingga pulang kampung, menyusul sebagai adat. Tak begitu beda dengan keluarga kami. Tahun ini, tak ada rencana mudik terlalu jauh. Biasanya pergi ke kota B (Banyuwangi), mungkin karena mati kebosanan. Tiap tahun selalu kesana dan terlalu banyak pengeluaran keluar tak semestinya, maka arah menunjukkan kota S (Situbondo) sebagai kunjungan kali ini.

            Pagi hari, show time! Kacang – kacangan, kue – kue kering, permen, buah anggur, minuman, tas berisi : samsung notebook, nokia E 63, buku – buku pendidikan, make up, sunglasses, parfum, dan uang tentunya, siap dibawa. Layaknya perbekalan seorang keluarga raja, semua – semua dibawa, maka berangkatlah kami. Menyusul keluarga baru yang ingin ikut, istri dan anak baru pakdeku, rupa – rupanya turut memeriahkan liburan kali ini.



            Menit lebih lima, atau separuh jam, perjalanan ini menemui jalannya. Mobil bergerak menerobos ramainya lalu lintas pagi itu. Mentari bersinar dengan teriknya, pohon yang melambai – lambai di sepanjang jalan, orang juga sibuk bersalam – salaman, apalagi kendaraan berbadan besi, tak capek berputar – putar diatas aspal. Benar – benar ramai. Namun tak satu batang hidung pun polisi yang nampak. Mungkin karena mereka sedang cuti dari jalanan, ingin juga bersantap kue lebaran bersama masing – masing keluarga. Mata ini juga sedang sibuk membaca, menterjemahkan halaman demi halaman, mengerutkan kening memikirkan makna yang ditulis penulisnya, atau sekedar mengetikkan ide – ide besar didepan laptop baru, ya, itulah yang kulakukan diatas mobil. Menikmati perjalanan sembari tak ingin kehilangan waktu sedetikpun untuk menggapai sebongkah mimpi besar.


            Jalanan yang mulai miring, berliku – liku. Berpasang – pasang anak muda yang juga ingin ke S, menikmati indahnya pantai. Batinku, wah, anak muda semuda itu, apalagi seumurku, sudah banyak yang menikah. Tuhan, aku bahkan tak sempat memikirkan akan seberapa tuanya diri ini melajang, but I dont care! Kulihat lagi keluargaku di dalam mobil sangat ceria, bercanda tawa, kemudian mulai mengantuk. Kupasang suara Avril Lavigne, Katy Perry, Owl City, Carly Ray Jepsen di telinga, sungguh lagu yang menginspirasi. Entah kapan aku terakhir mencintai lagu sendiri, Indonesia, rasanya tak nyaman ditelinga. Biar yang lain tertidur, mata ini tetap terjaga. Dan menit sekitar 120 lebih, akhirnya kami sampai di pemandangan indah yang pernah ada. Pasir berwarna putih, bau ikan yang menyengat hasil tangkapan para nelayan giat. Benar – benar panorama yang indah, meski lokal namun tak kalah dengan Hawai. Andai penghargaan semua orang tentang aset lokal benar – benar tinggi, mungkin pantai ini bisa masuk dalam liputan National Geographic. Ah, lagi – lagi menghayal.

            Sampai di pintu masuk, papa mulai membayar semuanya. Sang penjaga pintu menunjuk – nunjukkan jarinya menghitung kami, ya, harga per kepala ternyata dua belas ribu rupiah. Benar – benar kurang ajar bukan main, batinku, tertulis di papan pengumuman per kendaraan, tapi? Aih, dasar kapitalis kecil. Lalu kami masuk. Tak ada penampilan terlalu mencolok disana. Pemandangan indah, look good! Orang – orang yang memang khas indonesia, kekeluargaan, pakaian tertutup, konsumerisme, dan tentu saja berbondong – bondong, I mean that its so big family, mereka ramah.

Ketika kami memarkirkan mobil, hey, ada satu rombong turis disana. Tentu aku hafal sekali, tak mungkin tujuan mereka hanya berpariwisata, tapi juga meneliti kearifan lokal yang ada di pantai itu. Kamera DSLR, sekedar bercakap – cakap dengan turis lokal, melihat – lihat pantai. Pasti mereka penasaran apa – apa yang menjadi adat – istiadat penduduk disana. Apa yang dilakukan orang Indonesia ketika di pantai, tentu akan sangat berbeda dengan pantai – pantai di negara barat sana. Seandainya orang Indonesia melakukan hal yang sama, pasti penghargaan ke tanah air sendiri bakal tinggi, dan tak perlu tolah – toleh ke Hollywoodnya Amerika, atau K-Pop-nya Korea, kita bisa punya identitas sendiri.

Lagi – lagi aku melamun. Tuhan, kenapa kepala ini selalu berisi hal – hal yang tinggi, aku harap bisa mencapainya. Menit lebih lima, kami segera berlari. Papa, adik, pakde dan anaknya berlari ke pantai. Sedang aku, mama, dan bude berjalan – jalan di sekitar tempat penjualan oleh. Wah, ini baru yang dinamakan pariwisata. Ada tempat pembelian oleh – oleh, mungkin juga tempat penginapan, dan tentunya tempat makan, mungkin restauran suatu hari, meski sekarang hanya depot biasa. Pasti yang aku kunjungi dulu orang penjual accesoris, that’s my favorit! Aku beli sebuah gelang yang memang benar – benar bagus, dan di toko harganya bisa berlipat – lipat. Ada juga baju – baju, aku tertarik, tapi mahal! Kalau mama tak tertarik, I say yes too, karena mama yang punya uang. Andai aku yang jadi kapital position, punya rupiah secukupnya, pasti aku beli.

Lalu kami berjalan lagi. Disana toko – toko berjajar, begitupun orang – orang berjalan – jalan memakai pakaian yang memang khas Indonesia, gaya kas pemuda Indonesia. Ada yang terpelajar, hemat, konsumerisme, atau sekedar bergaya tapi tak memiliki rupiah yang cukup untuk membeli – belikan pujaan hatinya sesuatu, atau juga ada yang memang benar – benar terlihat chic menurutku, alias look good, penampilan yang cocok dengan suasana pantai. Ada pula yang memakai baju berwarna hitam, bagus, khas terbaiknya mungkin. Tapi sayang, itu busana untuk pesta malam. Juga beberapa orang lagi berpenampilan busana muslim lengkap seperti akan ada acara halal bihalah di suatu kantor. Oh my god, benar – benar jadi pengamat fashion aku hari itu. Dan aku sendiri, memakai baju hijau panjang, accesoris etnic, sunglasses warna cokelat. Aku rasa benar – benar chic untuk ke pantai. Buktinya, banyak yang melihatku dari bawah ke atas, dari atas ke bawah, entahlah, aku rasa itu cocok.

Selesai berbelanja, kami mengunjungi papa, adik, pakde, dan anaknya di pinggir pantai. Mereka berenang, tertawa terbahak – bahak sembari menyirat – nyiratkan air ke muka – muka manusia yang lain. Aku pun juga tertawa berbahak, apalagi ada orang gila di pinggir pantai. Entahlah dia gila atau sekedar menatap pinggir pantai sembari berjongkok juga ikut tertawa – tawa saat kami tertawa. Hihi. Orang gila yang tak punya pikiran apa – apa selain santai, berjongkok, menatap indahnya dunia sambil tak pernah pusing memikirkan apa beratnya hidup, benar – benar membikin orang yang waras iri. Kami pun juga berfoto – foto ria disana. Layaknya selebriti hollywood yang sedang difoto paparazi, pura – pura tak ada kamera, dan kami terlihat keren, haha!

Puas berfoto, kemudian mandi, membeli mie serta sate, dan makanan kecil lain untuk dilahap. Duduk bersantai di dekat pantai bersama keluarga. Rasanya, tak pernah ingin pulang. Disanapun ada ‘topeng monyet’, tradisi milik Indonesia yang tak pernah hilang ditelan modernnya dunia. Aku memotretnya, sayang tak bagus.

Selesai semuanya bersantai. Tentu kami segera pulang. But, Tuhan, ada kecelakaan sewaktu baru saja keluar dari gerbang. Semua orang seakan terlihat kaget, menutup tangan, dan mencoba menolong keduanya. Antara mobil berkecepatan tinggi yang agak ‘ngawur’ menyetir dengan sepeda yang menyebrang untuk menikmati indahnya pantai. Aku harap it will be okey. Kami meneruskan perjalanan menuju wilayah lain di Kota S, hingga terlalu kebablas hingga taman nasional Baluran, God! But its okey, we were happy. Kami semua senang ada dalam liburan hari itu. Semoga ini menjadi momen yang tak pernah kiamat makna dan kesenangannya. Benar – benar bahagia hari itu.


♠ Posted by Aryni Ayu

Etika (Politik) Jawa: Amung Lamis?



John Pamberton dalam buku On the Subject of “Java” (1994) mengisahkan kegagalan administrasi-politis untuk melakukan riset pada tahun 1980-an tentang hubungan budaya dan politik Jawa dengan rezim Orde Baru (Soeharto). Tema itu diajukan untuk membaca Jawa dalam pemilu 1982. Kegagalan prosedural justru mengantarkan Pamberton pada studi unik untuk membaca Jawa sebagai konstruksi implikatif terkait dengan pelbagai konteks politik, seni, ekonomi, spiritualitas, dan kultural. Jawa pun terpahami dalam tanda petik karena menjadi tanda penting dalam perpolitikan Indonesia tapi tidak terbuka utuh. Jawa selalu mengandung tabir rahasia untuk minta terjemahan atau penafsiran mutakhir sesuai arus jaman.
Kisah kecil dari Pamberton itu patut jadi fragmen awal untuk membaca etika (politik) Jawa saat ini menjelang pemilu. Pamberton penasaran dengan politik semantik Orde Baru dalam memaknai pemilu sebagai “pesta demokrasi”. Pengartian itu adalah ritualisasi politik dengan melibatkan elemen-elemen lahir batin dari rakyat Indonesia. Pemilu di Jawa pun dimaknai dengan pelbagai laku dari jagad batin (sakral) sampai jagad politik (profan).

Laku politik memang membuat sekian orang jadi repot ketika ingin masuk panggung sebagai aktor (caleg). Mereka mesti membuat sekian pertaruhan: pamrih politik, etika, kalkulasi ekonomi, harga diri, status sosial, atau pengabdian. Pertaruhan itu tampak dalam keramaian wajah dan jargon politik di jalan, televisi, koran, radio, rumah, atau ruang publik. Aktor-aktor politik membuat taktik untuk bisa merasa hadir di dalam kehidupan publik. Mereka ingin kehadiran representatif dalam spanduk, poster, baliho, atau iklan menjadi komunikasi intim dengan calon publik pemilih.

Amung lamis?
Pertanyaan pelik: “Bagaimana implikasi laku aktor-aktor politik itu dalam ranah etika politik dan etika Jawa?” Kampanye dengan tebar foto wajah dan jargon politik adalah kelumrahan dalam pasar politik. Sistem dan medium untuk kampanye itu ingin mencapai pada kalkulasi maksimal untuk pemerolehan simpatik dari publik pemilih. Kampanye pun diimbuhi dengan iklan-iklan menggoda dan melenakan di media massa. Kampanye dalam model-model itu memang mengandung spirit demokratis tapi menyimpan dilema etis.

Barangkali orang-orang mahfum bahwa kehadiran foto wajah dan jargon politik dari aktor-aktor politik itu hampir homogen. Mereka minta doa restu dan dukungan. Mereka pun tak lupa memberi janji indah dan melenakan entah demi apa dan siapa. Mereka tanpa sungkan memuji diri sendiri sebagai aktor politik pilihan. Wajah sebagai representasi dalam pengertian E. Levinas adalah makna kehadiran tak terelakkan. Kalimat permintaan dan janji politik adalah tegangan pamrih dan etika politik. Pamrih politik dalam kasus perpolitikan mutakhir kerap menundukkan etika politik. Janji tinggal kenangan ketika kursi sudah tercapai. Etika jadi “amung lamis”. 

Perbedaan kecil tampak dari aktor-aktor politik dalam membuat pola komunikasi dengan pendekatan kejawaan. Beberapa aktor melakukan komunikasi politik melalui instrumen-instrumen Jawa dengan pemanfaatan bahasa Jawa, ikon-ikon Jawa, seni, dan ritual Jawa. Pemanfaatan bahasa Jawa hendak membuka dialog intim dengan nuansa dan politik rasa. Bahasa Jawa mungkin jadi alat untuk membuat aktor dan publik pemilih ada dalam dunia kolektif kejawaan. Rasa politik dengan bahasa Jawa itu kental terasa dalam iklan di radio dan televisi lokal.

Pemakaian ikon-ikon Jawa kerap tampak dalam pakaian, wayang, relief, bangunan, atau motif-motif benda. Ikon-ikon itu menjadi juru bicara untuk mempengaruhi publik atas pencitraan dari aktor politik. Kejawaan jadi komunikasi efektif dan efisien untuk mendekatkan aktor dengan latar kultural Jawa. Foto aktor dalam pakaian khas Jawa tentu menebarkan sihir atau imaji Jawa dengan sekian polesan dan estetisasi untuk meminta perhatian publik. Ikon-ikon Jawa memang dengan mudah dihadirkan aktor politik untuk menjadi spirit dalam merebut suara dari pemilih.

Seni sebagai alat politik sudah memiliki sejarah sejak masa lampau. Pemakaian seni sebagai komunikasi politik di Jawa tampak dalam pertunjukkan wayang, kethoprak, karawitan, campursari, tayuban, dan lain-lain. Seni khas Jawa itu pun kental denga pesan politik untuk kepentingan aktor politik. Pilihan seni sebagai jalan komunikasi cenderung dengan pemahaman ada inklusivitas dan resepsi terselubung dalam relasi aktor politik dan publik. Seni jadi pertaruhan politik dengan embel-embel “nguri-nguri seni” atau seni sebagai pengabdian tanpa pamrih.

Komunikasi politik pun masuk dalam ritual-ritual Jawa. Intervensi itu terjadi dengan dalih memberi spirit atau antusiasme etnis. Ritual sebagai laku lahir-batin untuk nilai-nilai sakral mengalami kebangkrutan dengan intervensi langsung atau tak langsung dari aktor politik. Ritual pun kerap dipakai sebagai legitimasi atau pengesahan melalui mekanisme lain di luar prosedur politik konvensional. Ritual seperti jadi lambaran politik.

Laku Politik
Laku politik dari aktor-aktor politik itu dalam tataran tertentu rentan dengan penabrakkan etika politik dan etika Jawa. Frans Magnis-Suseno dalam Etika Politik (1991) mengartikan etika politik sebagai lambaran etis dalam dimensi kehidupan politis manusia. Etika politik adalah legitimasi untuk laku politik. Pengertian itu bisa dijadikan acuan untuk membaca laku politik dengan pelbagai wajah dan jargon politik. Representasi dan pencitraan diri dalam poster, spanduk, baliho, atau iklan adalah pola politik modern. Pola ini cenderung sebagai narsisisme politik. Politik memusat pada pemujaan individu atas pelbagai hal dari, oleh, dan untuk diri sendiri.
Narsisisme politik itu tentu menjadi peringatan atas etika politik. Aktor politik dengan narsisisme itu bisa sekadar memanfaatkan publik untuk legitimasi politik dengan mengorbankan lambaran etis sebagai juru bicara kepentingan rakyat. Etika dalam narsisime politik ini jadi virus ganas dalam politik dan kehidupan publik dalam anutan etika Jawa. 

Laku politik memang rentan dengan fenomena konflik atau harmoni. Narsisisme politik bisa jadi titik kritis atas nasib politik demokrasi. Etika tentu mungkin jadi kontrol dan kritik untuk laku dan risiko politik. Etika Jawa sebagai anutan dalam politik mengajarkan relasi individu dan publik dengan nilai-nilai untuk harmoni atau keselarasan. Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa (1984) mengingatkan bahwa etika Jawa menganut pada paham rukun dan hormat. Realisasi prinsip-prinsip itu ada dalam pelbagai sisi kehidupan masyarakat Jawa dari kehidupan keluarga sampai kehidupan politik. 

Bisakah etika Jawa jadi anutan dalam politik? Pertanyaan ini pelik ketika dihadapkan dengan realitas politik hari ini. Orang Jawa sebagai aktor politik terkadang lupa atau mengabaikan etika Jawa karena kalkulasi politik praktis dan pragmatis. Aktor politik terkadang menganggap ertika Jawa justru menjadi halangan karena susah dijadikan sebagai spirit untuk pertarungan politik. Pemahaman keliru ini semakin jadi dalih untuk para aktor politik menabrak etika demi lakon politik. Aktor politik dengan implisit dan eksplisit terus melakukan pencitraan diri dengan risiko menantang atau menyaingi aktor lain. Pola persaingan tanpa lambaran etika (politik) Jawa ini mungkin jadi titik awal untuk pemunculan “lakon politik tak etik”.

Dimuat di Suara Merdeka (1 Februari 2o12)

Chapter 3 - Pending

♠ Posted by Aryni Ayu in

ARYNI AYU PROJECT 
 
Hari ini tak ada yang spesial. Hanya makan sahur bareng keluarga, meski tetek bengeknya batal puasaku, badan ini tak bisa diajak kompromi ternyata. Malam, berharap sampai masuk ke mimpi – mimpi mampu menggapai tangga pertama skripsi, pengajuan judul. Tapi ternyata si dosen hakim itu tak nampak batang hidungnya di kampus tadi pagi, oh god! Andai bisa kuajukan dari minggu kemarin saat pusing – pusingnya menulis karya ilmiah. Saat dosen itu bolak – balik aku tanyai masalah judulku, “pak, saya sudah ke tempat A, dan masalahnya ini itu, bagaimana pak? Pak, bapak sibuk? Saya boleh ngajukan sekarang? Apa jawabnya? “sekarang juga gak apa – apa”, oia pak, saya siapkan formulir dulu. Sambil menggaruk kepala, judul apa yang harus aku ajukan? Aku masih tak ada rasa pak, tapi itu seminggu yang lalu. Sayang beribu sayang, harus aku ajukan sehabis idul fitrinya hari,uh!

Belum lagi berliter – liter ingus dari hidung, tak ada habisnya menerjang saat aku mengendarai sepeda, jijik. Kuputar – putar terus  kendaraan ini mengelilingi kampus, tak juga aku temukan si dosen hakim itu. Ya sudahlah, untuk hari ini, cukup sekian. Untuk hari selanjutnya, aku bakal estafet. Sampai dirumah, badan masih berat, hidung juga penuh ingus, full! Apalagi kepala, serasa tak ada otak didalamnya, sulit sekali diajak untuk berpikir, tak biasanya! Bingung aku, mau berbuat apa untuk proyek hari ini, menulis? Judul belum diajukan. Mendesain baju? Tak ada bahan. Sekedar gila – gila an? Keluarga lagi diem dirumah, malu. Sudahlah, aku pilih bermain game fashion, lalu tertidur selama – lamanya manusia tidur, dengan badan tak karuan sakitnya. Ya, aku memang sakit. 

Tapi satu hal kecil yang menyenangkan. Aku berani menelepon MPR RI, tempat para orang penting berkumpul, si koruptor yang memakai topeng, atau orang – orang tua jenius yang berbicara layaknya raja – raja kecil, haha begitu bangga aku. Meski bertelepon hanya untuk menanyakan kabar karya ilmiahku yang sudah sampai atau belum, tak peduli siapapun yang mengangkat, yang jelas, aku sudah mengambil langkah berani. Untuk pertama kalinya suara ini bercakap – cakap dengan orang penting.  

Malam tiba, tak ada juga sesuatu yang patut diapresiasi, karena tubuh ini dibawa ke dokter dan divonis sakit. Yang patut diapresiasi, sedikit saja! Hanya memodifikasi gambar – gambarku di laptop, membikinnya lebih menarik dan kreatif, apalagi jika tak untuk desain kamarku. Hanya itu yang kulakukan hari ini. Banyak rencana sebenarnya yang telah aku buat. Besok aku berencana mendesain kamar, suatu kesukaan yang telah lama sekali tak aku sentuh. Semoga sesuai rencana, go a head!

Chapter 1 - Chapter 2 (dulu sampai 14 Agustus 2012)

♠ Posted by Aryni Ayu in

ARYNI AYU PROJECT
Chapter 1 – Rencana Awal
Start Beginning

(dulu sampai 14 Agustus 2012)
 
           

    Aku, seorang Aryni Ayu yang punya harapan besar, mimpi tanpa pagar batas, dan cita – cita setinggi – tingginya cita – cita orang. Apa yang diharapkan orang dari gadis yang sekarang berumur 21 tahun ini? Aku pun tak tahu. Memang, dalam kandang yang tak sebegitu luas alias “di rumah”, “di kampus”, di “sekolah dulu”, aku hanya seorang perempuan yang tertindas keinginannya untuk sekedar ‘bebas’. Ya, kau benar. Aku terlahir dalam lingkungan rumah yang protektif, ‘overprotected’ kata mbak Britney Spears dan tak semua indah – indah di masa muda aku cicipi
.
Dulu, saat remaja – remaja seusiaku bermalam minggu sekedar mengikuti tren-nya ababil (ABG Labil), aku duduk dirumah, memandang mereka, dan sekedar mengerjakan pekerjaan – pekerjaan rumah. Saat mereka sudah kenal ‘pacaran’ dan mengenalkan masing – masing pasangan mereka pada orang tua, saling berkunjung, menjemput pacar, lagi – lagi aku terdiam dirumah, menonton dari jauh. Hanya berharap, Andai aku seperti mereka. Lalu saat cewek – cewek mulai kenal yang namanya ‘gincu’ atau make up, memakainya ‘terlalu menor’ di sekolah, Aku hanya duduk tertawa – tawa, apatis akan penampilanku. Saat mereka ‘cewek – cewek’ itu mulai menangis ala galaunya ababil gara – gara putus pacaran, aku malah bersorak sorai ketika harus di posisi mereka. Ya, untuk kali ini aku merasa beruntung tak seperti mereka. Masa – masa ketika SMA aku sangat beruntung. 

Nakal, susah diatur, berteman dengan banyak lelaki atau perempuan, dan tak terlalu peduli dengan dunia wanita, apapun yang aku lakukan, tak ada yang berani memprotes. Terkadang juga, aku merasa banyak wanita yang ingin jadi seperti aku. But, ya, it’s just my best moment! Aku tak perlu merasakan sakit hatinya cinta saat sekolah, berkah sekali buatku. Tapi ada kesalahan fatal, aku tak punya tujuan hidup, godness!

Begitu mengingat yang dulu – dulu, lagi. Saat aku tak punya tujuan hidup, orang bertanya “apa yang kamu citaka – citakan atau apa yang kamu kehendaki sebagai pekerjaanmu di masa depan?”. Aku suka desain, fashion, dunia jurnalistik, dan tulis – menulis, jawabku. “Oow, it’s hard, kamu punya banyak hal yang kamu bisa, tapi fokuslah pada satu tujuan”, seseorang menegaskan. “tapi kamu tak akan dapat pekerjaan tetap dari itu semua, kuliah di guru saja”, tukas mamaku. Oh god, ini adalah pilihan terakhirku, tak bisa aku menyanggah – nyanggah pendapat mamaku, orang yang paling sakti bicaranya, dan paling ampuh tindakannya. Ya, aku patuhi. Now, “I’m being school in education and teacher faculty! That’s my lucky, my best job in future, or my mistake? I dont know, Im just try my best I can do.

Begitu aku masuk sekolah guru, yang ajaran – ajarannya penuh dengan etika. Jurusan sejarah, yang penuh dengan data – data perjalanan, perjalanan keputusan orang – orang besar, dan kisah rakyat kecil. Aku pun mulai mencintai profesi ini. Dengan segenap kemampuan yang selaras dengan gegap gempitanya jantung dan otakku untuk berpikir, nilai – nilai kuliah yang aku hasilkan, tak pernah berakhir kecewa. So great! Pencapaian terbesarku sejak lahir, maklum, sejak disekolahkan di bangku Teka, kau tak pernah hasilkan hal – hal memuaskan bagi orang tuaku. Kini beda. Bahkan sejak awal menempati tembok perkuliahan, aku sudah punya bebrapa target. Pertama, IP 3,6, melanjutkan studi S2, dan menjadi dosen, and then Married. But its so simple I Think! 

Sepanjang perjalanan, curam – curam jurang selalu kutemui, banyak pihak ingin menjegalku. Dari godaan teman, dosen, laki – laki brengsek, hingga ‘penurunan semangat’. Oh my God, bila bagi banyak teman, kuliah ini sangat santai dan tak perlu terlalu dipikir, karena nilai itu gampang. Tapi menurutku, Its Hard! Tak peduli seberapa buruk tutormu, seberapa tak populernya studi yang sedang kau ambil, tak peduli pula dengan cara – cara kotormu hanya sekedar mendapatkan ‘nilai palsu’, kau harus bekerja keras! Kuliah bukan lah angka – angka untuk percetakan ijasah, tapi adalah tempat berproses untuk menjadi sebuah pribadi. Pribadi yang berpribadi dan berpengetahuan. Tempatmu meloncat ke strata yang lebih tinggi, bukankah orang yang lebih pandai memiliki harga diri yang lebih tinggi? Itu maksudku, aku ingin jadi setinggi – tingginya orang! 

 Jika itu tujuan awalku, maka tak ada salah jika melebar sesuai keadaan. Masalahnya, jaman cepat berubah, dunia luar ternyata lebih kejam, dan banyak yang lebih pandai dariku. Sekilas tampak penyesalan karena tak sempat melanjutkan kesukaan yang aku cinta. Aku ingin menjadi desainer, penulis, pemikir, dan guru sekaligus. Tak mungkin! Aku sudah ada di sekolah guru, mau jadi guru profesional pula.

 Jika dulu hanya bercita menjadi seorang dosen dengan IP 3.6. Sekarang, aku ingin yang lebih. Menjadi seorang dosen, guru yang sekaligus berbakat desainer dan jurnalis. Juga ingin sekali berada di Amerika, ingin menunjukkan nama “ARYNI AYU” untuk mereka. Agar dunia kenal siapa aku, dan apa yang telah aku capai selama ini. Inilah mimpiku sekarang, dan tak boleh terkubur, harus diwujudkan, semuanya!


ARYNI AYU PROJECT

Chapter 2 – Second Life, Second Dream
         
   Babak kedua. Ya, inilah hidupku setelah materi perkuliahan selesai. After life! Setelah berbagai dentuman materi yang menguras pikiran dan tenaga hanya untuk teori – terori perkuliahan melulu. Ditambah lagi perebutan nilai yang ‘geje’, sampai salah satu teman rela menjual harga diri demi nilai, menghantam teman sana – sini dengan topeng berbeda, ah aku sudah muak! Hey bung, dunia diluar lebih luas, lebih banyak indah – indahnya, rugi kau membuat neraka dalam kelas! Tapi sudahlah, itu aib tetangga, semua pembodohan harus kuputus. Sampai mana? Oya, sampai afterlife. 

       Saat kuliah memutuskan, teorimu sudah selesai. Sekarang, apa maumu? Kau mauhi cepat lulus dengan nilai baik atau tak lulus – lulus tapi lebih banyak pengalaman disini? Cepat lulus bodoh! Rasanya tawaran itu tadi maksud dari semua perkuliahan ini. Banyak dosen atau orang – orang terdekat bilang “kamu pintar, kamu wanita dengan banyak ide, kamu kurang disiplin, kamu pemarah, kamu keras kepala, kamu modis, dan kamu wanita hebat”. Ah, itu suatu pujian dan celaan yang cukup membuatku terinspirasi, terinovasi, bahkan juga pusing. Banyak sekali harapan yang dibebankan kepadaku, tapi aku merasa ini memang tugasku, ini harapku, dan ini jalanku. Tak boleh ada kata ‘capek’, ‘bosan’, dan ‘letih’ ala pemalas. Meski cita – cita yang aku ingin – inginkan membuat kepala pusing, diri menjadi gila, dan badan capek minta ampun, tapi aku harus bekerja keras. Tak boleh ada kata “santai” terlalu lama dalam hidupku. Aku harus estafet menebus semua ‘bodohku’ yang tak punya tujuan sewaktu sekolah dulu. Berikut daftar keinginan yang aku buat :
1.      Ingin jadi dosen
2.      Ingin jadi jurnalis
3.      Ingin jadi stylish, desainer
4.      Ingin punya toko fashion
5.      Ingin jadi penulis
6.      Ingin pergi ke Amerika
7.      Ingin menjadi guru
8.      Ingin menjadi pembicara di depan publik
9.      Ingin membuktikan bahwa sejarah itu sulit
10.  Ingin membuktikan bahwa Indonesia itu menabjubkan di depan dunia!

MUSTAHIL! Ya, itu kata – kata sakti nan busuk yang biasa dilontarkan pikiran kita saat pertama kali memikirkannya. Apalagi orang – orang sekitar, pasti menganggap gila. Jangankan mewujudkan, memikirkannya saja membuat diri serasa gila. Tapi mengutip bicara banyak pakar, semua berawal dari ketidakmungkinnan. Bahkan sesuatu yang ingin dicapai haruslah MUSTAHIL, karena jika tidak, jika kita sudah mampu mencapainya, untuk apa? Itu bukan cita – cita, tapi kompromi!

Nah sekarang yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana cara mewusjudkan 10 keiginan tersebut? Sementara aku hanya gadis biasa dengan mimpi dan cita – cita tanpa pagar batas. Semangat saja sudah cukup bagiku! Aku harus bekerja keras! Untuk menjawab pertanyaan se besar dan seberat itu adalah aku harus lulus dari sekolah membosanlan ini, ya sekolah keguruan yang bodoh ini, aku harus segera menuntaskannya! Targetku, BULAN MARET 2013 INI SKRIPSI HARUS SUDAH SELESAI! NILAI MAKSIMAL! Hari ini tadi tertanggal 14 Agustus 2012, mulai hari ini, perang dimulai. Meski tadi tak sempat bertemu dengan dosen hakim penentuan judul skripsi, besok aku harus mencobanya lagi, tak ada kata menyerah!

Jika ini sudah selesai, maka aku bisa melakukan hal – hal yang indah – indah diluar sana. Aku bisa mewujudkan mimpi – mimpiku selanjutnya.


Cinta Bhinneka Tunggal Ika

♠ Posted by Aryni Ayu in

Cinta Bhinneka Tunggal Ika

Padahal jika bangsa ini mau menoleh lagi pada kesaktian Bhinneka Tunggal Ika, yang isinya mengkultuskan “keberbedaan sebagai perekat, yang patut ‘saling menghargai’ dan ‘menghormati’, maka Indonesia akan benar - benar merdeka.
 
            Indonesia, memang kehadiran namanya sejak Proklamasi Kemerdekaan disuarakan keras – keras tertanggal 17 Agustus 1945 telah resmi menjadi sebuah negara hunian ‘masyarakat Indonesia’. Tak ayal segala lapisan masyarakat kemudian bersorak – sorai menyambut, tanda bahwa kolonial tak pernah lagi berpijak di bumi pertiwi. Ironisnya, selama beberapa kepemimpinan hingga hari ini, “merdeka” – nya Indonesia tercederai oleh konflik sosial yang tak perlu. 

Ingatkan kata seorang Mulder bahwa kemerdekaan bagi negara – negara di dunia ketiga hanyalah membawa domain kekuasaan ‘bos putih’ ke ‘bos coklat’. Pahamlah seharusnya, pendapat tersebut cukup terbukti ampuh ketika melihat ‘lagak’ elit – elit saat ini, lupa akan ‘isi’ kemerdekaan Indonesia. Padahal jika bangsa ini mau menoleh lagi pada kesaktian Bhinneka Tunggal Ika, yang isinya mengkultuskan “keberbedaan sebagai perekat, yang patut ‘saling menghargai’ dan ‘menghormati’, maka Indonesia akan benar - benar merdeka.

Tanpa anak muda, tak ada kemerdekaan. Sebagai seorang intelektual yang dimiliki bumi pertiwi, kita tak boleh diam. Implementasi sederhana misal, berpartisipasi dalam lomba – lomba 17 agustus-an yang selalu diadakan masyarakat diberbagai penjuru daerah di Indonesia. Tak peduli warna kulit, suku, ataupun agama di sekitar kita. Atau mahasiswa yang saling menghargai perbedaan pendapat, cukup menjadi bukti bahwa cinta kepada Bhinneka Tunggal Ika membuat Indonesia Merdeka menjadi lebih Merdeka. Semangat Indonesiaku!