Cover, pentingkah?

♠ Posted by Aryni Ayu in


Cover yang memang menggoda, menarik perhatian, dan membuat manusia serasa sempurna, bukankah itu juga berguna untuk menutupi bobrok – bobrok yang kita punya?
Benarkah manusia bahagia dengan sebuah cover?


            Hukum majalah menyatakan “cover itu menjual”, menjual isi, ragam, dan harganya. Seperti manusia yang ada di bumi ini, wajah – wajah yang tak pernah mungkin tidak memakai cover. Seperti wanita memakai gincu, bedak, atau pewarna alis. Laki – laki metroseksual yang sangat mementingkan baju apa yang dipakai. Atau para profesionalitas lain yang butuh cover untuk sebuah pengakuan. Semua orang di dunia rasa – rasanya membutuhkan pembungkus lain selain dirinya sendiri. Pertanyaannya, pentingkah?

            Seberapa banyak perasaan yang kita pakai untuk memakai sebuah cover? Membentuk seakan – akan kita adalah patung sexy yang menggoda. Menyerai bagaikan Tuhan yang tak pernah punya dosa. Menyingkirkan bentuk Iblis dibalik sifat manusia kita. Terkadang juga menyingkirkan hal – hal yang tidak berbau malaikat. Cover yang memang menggoda, menarik perhatian, dan membuat manusia serasa sempurna, bukankah itu juga berguna untuk menutupi bobrok – bobrok yang kita punya?

            Di suatu pagi yang penuh manusia berlalu lalang, melakukan segala kegiatan dunia. Ya sekiranya terdapat manusia terpenjara yang ingin bebas dari sebuah penjara. Berterbangan kemana – kemana mencari seorang pangeran yang akan membawanya bebas. Kiranya, manusia itu sudah tak memikirkan lagi sebuah bentuk kesempurnaan. Dirinya merasa bahagia dengan seseorang yang membuatnya merasa nyaman. Mencoba sesuatu hal yang sudah lama ditinggalkannya, yaitu cinta. Yang membuatnya meninggalkan cover – cover yang dulu dia bentuk. Rasanya, hanya bahagia yang dia ingin, bukan cover!

            Meski sedikit ironi menghadapi tingkah ibunda manusia terpenjara itu. Tanpa mempersilahkan seseorang yang membuat manusia itu bahagia, hanya menyerukan sepatah kata, perintah untuk mengusir. Seakan terdapat tembok emas yang tak boleh diterabas. Hanya cover – cover terbaik yang bisa menembusnya. Tembok yang dipergunakan entah untuk melindungi puterinya atau rasa kaget berlebihan. Entahlah. Betulkah itu pengorbanan yang dilakukan untuk sebuah cover?

Cover. Hanya sebuah pembungkus palsu. Dicitrakan sedemikian rupa agar memagnetisasi banyak hari manusia lain. Untuk urusan harga diri, ini memang penting dilakukan, mengingat manusia adalah campuran baik dan buruk. Menimbang beratnya emas yang harus dimiliki seseorang. Tak lain, agar dihargai. Emas yang membutuhkan cover. Cover yang juga dapat menyakiti manusia lain, sengaja atau tidak. Penting atau tidak, benarkah manusia bahagia dengan sebuah cover?

Bolehkah Jika Wanita Tidak Memilih sebagai Emas?

♠ Posted by Aryni Ayu in


Emas memang begitu berharga, namun jika itu membuat wanita serasa dipenjara dan tak punya kebebasan, bolehkah kita tidak usah memilih sebagai emas?

          
Semua tahu jika wanita itu selalu dan wajib untuk menjunjung tinggi kehormatan. Apalagi saat tata adat Jawa begitu eratnya mengatur pembawaan para wanita di depan publik, wanita seakan harus membuat tembok emasnya sendiri. Dari tata cara berpakaian, tingkah laku, hingga sosialisasi, semuanya diatur. Dan menurut aturan, semuanya tak boleh melewati batas. Jika pun terlewat, caci dan maki tak jarang harus ditanggung. Intinya, wanita itu emas, yang tak boleh disepuh sembarangan.

Ingatkah kita di suatu dulu mahluk yang disebut wanita ini tak boleh sedikit pun keluar bila malam telah tiba? Tak boleh berbicara atau bersifat terbuka kepada kaum laki – laki? Berpakaian menutupi aurat? Juga amat sangat ‘wajib’ menjaga wibawanya di depan masyarakat? Bukankah ini peraturan yang begitu harus ditakuti dan dihormati dibanding aturan – aturan lain sejagad raya ini? Sekiranya, wanita dianggap ‘sempurna’ yang tak boleh ‘tidak sempurna’. Adat tradisional ini, punya ‘sakti’- nya sendiri terhadap keluarga – keluarga yang menyebut dirinya ‘darah biru’. Bagi keluarga ini, sakralitas kesempurnaan wanita benar – benar dijunjung tinggi. Apabila memiliki mata, lihatlah kebaikan. Telinga, dengarlah untuk hal – hal baik. Mulut yang hanya untuk berdoa. Tangan, pergunakan untuk menolong orang lain, dan kaki yang tak boleh terlalu sering berkeliaran. Benar – benar emas!

Tak ada yang bisa menandingi emas, harganya mahal, kualitas maha baik, dan diminati banyak orang, seperti wanita. Namun disaat jaman menuju kebebasannya (global), wanita mulai berpikir “bolehkah aku sebebas kaum pria? Yang dapat tertawa terbahak – bahak tanpa menutupi mulutnya kalau – kalau seorang laki – laki memperhatikan. Berpakaian apa adanya, bersikap apa adanya, terbuka terhadap berbagai derasnya informasi. Bolehkah juga aku menirukan wanita bebas yang tak peduli bagaimana pendapat orang terhadapku?”

Semalam, wanita – wanita yang penulis temui di diskotik juga bersikap apa adanya. Meski pakaian mereka serba ‘mini’, make up bertebaran di muka, asap rokok mengepul dari mulut, dan bau alkohol keluar dari napasnya, namun sikap mereka baik. Tak ada tanda – tanda bahwa mereka penjahat, penggosip, ataupun wanita yang suka mencampuri urusan orang lain. Dari segi sosial, mereka memang terlihat tidak sempurna, bukan seperti emas. Berbeda dengan wanita – wanita dari keluarga berdarah biru yang ‘mungkin’ sempurna. Tak pernah berkeliaran saat malam, selalu menjaga wibawa di depan laki – laki baik dalam bentu ‘diam’ ataupun mereka cerdas, tidak terbuka terhadap derasnya arus informasi, kadang cenderung konservatif, dan orang kebanyakan menganggap diri mereka emas! Namun benarkah mereka lebih baik dari wanita – wanita yang ada di diskotik itu? Apakah sikap mereka sebagai pribadi begitu sempurna seperti penampilannya? Nobody knows!

Tak jarang wanita – wanita ‘sempurna’ itu bersikap ‘tak sempurna’ di belakang orang lain, kadang juga menunjuk wanita ‘tak sempurna’ sebagai pribadi ‘tercela’ tanpa tahu cela dalam dirinya sendiri. 

Wanita modern, sebagian dari mereka sudah tidak peduli dengan ‘apa kata orang lain’ juga tak peduli dirinya emas atau tidak. Mereka bekerja untuk masa depan yang cerah, tanpa tahu bahwa harusnya laki – laki lah yang bekerja, menjadi nomor satu. Namun mereka tetap tidak peduli! Yang terpenting bagi wanita – wanita itu adalah jati diri, bagaimana hidup diatur oleh diri kita sendiri, bukan orang lain! Emas memang begitu berharga, namun jika itu membuat wanita serasa dipenjara dan tak punya kebebasan, bolehkah kita tidak usah memilih sebagai emas? 

Thinking Out The Box

♠ Posted by Aryni Ayu in ,


Itulah sebabnya mengapa para ilmuwan, seniman, ataupun para pemikir besar sangat sedikit jumlahnya jika dibandingkan manusia umum di bumi ini. Karena mereka berpikir diluar kotak

Rutinitas hanya membuat kita jatuh ke liang lahat, dan ‘tak terduga’ akan mendorong kita untuk bangkit dari liang lahat

            Pernahkah Anda merasa nyaman – nyaman saja dengan kehidupan Anda? Seberapa sering tantangan yang Anda hadapi setiap harinya? Atau Anda adalah orang yang sering mengistirahatkan otak?

            Seorang desainer iklan rokok menghias kata – kata promosinya melalui “Thinking out the box”, belajarlah berpikir diluar kebiasaan. Iklan yang dibuat pun luar biasa bagusnya. Kreativitasnya benar – benar diluar kebiasaan, mengingat rokok yang harus terjual seluas – luasnya ditengah sempitnya peraturan merokok. Apakah Anda pernah melihat seorang Lady Gaga tampil normal? Albert Einsten yang dikira gila pada masa mudanya karena berpikir berbeda dari orang – orang sekitar? Atau Raden Ajeng Kartini yang bukan saja awalnya diremehkan oleh kaum lelaki tapi juga oleh elit Belanda karena keberaniannya menentang kebiasaan ‘wanita adalah posisi nomor dua’. Orang – orang seperti mereka sangat jarang kita temui di masyarakat umum. Pemikiran mereka bertentangan dengan aturan – aturan umum manusia. Itulah sebabnya mengapa para ilmuwan, seniman, ataupun para pemikir besar sangat sedikit jumlahnya jika dibandingkan manusia umum di bumi ini. Karena mereka berpikir diluar kotak.

            Definitifnya, berpikir diluar kotak (thinking out the box) adalah momen dimana manusia mampu mengandalkan otaknya untuk berpikir bertindak diluar batas kewajaran, tidak umum, dan cenderung melawan arus. Prinsip thinking out the box dapat saja dimiliki oleh semua manusia, tentu dengan beberapa syarat. Pertama, taking risk! Seorang yang berani mengambil resiko, biasanya orang – orang pemberani yang menyanggupi segala konsekuensi di depannya. Jika Anda berkata “saya akan selesaikan sisa 120 halaman ini besok pagi kepada seorang editor”, seorang guru sejarah yang berkata pada murid  muridnya “meski jam pengajaran terbatas, tapi besok Ibu akan membawakan veteran untuk menceritakan kisah historisnya, agar kalian mengerti pentingnya nilai sejarah”. Maka, merekalah yang akan berani membuat perubahan.

            Kedua, Open Mind! Bandingkan antara seorang kolot yang tidak mau mendengar apa kata orang dengan seorang kreatif yang selalu menjadi pendengar baik saat orang lain mengkritiknya. Bayangkan ketika mereka dihadapkan pada pada sebuah proyek besar yang sama. Mana diantara mereka yang lebih disukai klien? Mana dari mereka yang mampu beradaptasi dengan kegagalan yang mungkin saja terjadi? Tentu seorang yang kreatif. Dia adalah orang yang memiliki pemikiran terbuka, mau mendengar apa kata orang lain, dan cenderung menutup telinganya saat telah menemukan jawaban atas permasalahan. Orang – orang berpemikiran terbuka, akan cenderung berpikir kearah perubahan, kearah mana dunia yang dia miliki akan diarahkan, dan seberapa besar pengaruhnya untuk perubahan orang lain. Permikian terbuka, mendorong pikiran ke arah tak terbatas.

            Ketiga, jauhi rutinitas! Pernahkah Anda merasa bosan melakukan hal – hal yang sama setiap harinya? Bangun tidur, makan, mengirim email kepada bos, berangkat kerja, pulang kerja, dan tidur lagi. Tak bisakah jika kita sedikit mengisinya dengan pemikiran dan tindakan tak biasa? Bangun tidur, membeli coffe agar tak mengantuk, berangkat kerja, memberi ide – ide cemerlang kepada bos sekaligus mengkritik tindakannya yang mungkin tak sesuai dengan pemikiran kita, kemudian pulang kerja yang tak langsung pulang untuk mengikuti grup ‘pemberi nasi’ bagi orang – orang miskin di kota (di jakarta contohnya). Barulah kita boleh beristirahat lima jam agar badan kembali bugar. Rutinitas hanya membuat kita jatuh ke liang lahat, dan ‘tak terduga’ akan mendorong kita untuk bangkit dari liang lahat.

            Dengan memenuhi prasayarat tersebut, kita sudah punya modal untuk berpikir diluar kotak, diluar batasan. Memang, orang yang berbeda dari lainnya akan cenderung ‘dikucilkan (bullying)’ dari lingkungan sekitarnya, dan tak jarang hanya memiliki sedikit teman, karena mereka dianggap mengganggu. Namun orang – orang yang cenderung berpikir menggunakan otak kanan ini adalah orang – orang acak, kreatif, dan penuh inovasi. Jadi wajar – wajar saja jika mereka nantinya akan sukses dengan cara yang luar biasa. Karena thinking out the box akan mengajarkan manusia bagaimana cara mengguncang dunia. Ilmuwan, seniman, artis, inovator, penulis, adalah salah satu dari mereka, apakah Anda tertarik?

Dahsyat-nya Terima Kasih

♠ Posted by Aryni Ayu in

12 March 2013

Dan terima kasih bagi banyak orang lain yang mampu membuat hidup kita menjadi lebih mudah


Arigato, matur nuhun, thank you, gracias, sederet bahasa lainnya seakan tak pernah habis di bumi ini agar kita mau mengucapkan kata ajaib itu kepada orang lain. Apakah pernah melintang dalam pikiran kita tentang dahsyatnya sebuah terima kasih? Penulis tahu jika ini memang tidak perlu dipersoalkan, semua orang sudah tahu tapi jarang yang mau memaknai, benar tidak? Bukan menggurui, tapi membelajari agar adat istiadatnya tak pernah luput dari ucapan terima kasih. Bukankah Belanda yang terkenal sangat kolonial itu juga setidak – tidaknya mau memberikan ‘sedikit’ warisan Politik Etisnya sebagai ucapan terima kasih kepada Indonesia? R.A Kartini, ratu emansipasi kita yang sangat berterima kasih kepada Nyonya Abendemon (seorang berkebangsaan Belanda) karena mau membantunya untuk meneruskan surat – surat emansipasinya kepada elit Belanda. Berkatnya, wanita Indonesia sekarang tak perlu lagi mengalami banyak ‘pemojokan’ oleh laki – laki.

Kiranya para pendahulu kita sadar bahwa berterima kasih bukanlah harga mahal. Terima kasih, adalah ucapan sederhana yang mampu mengindahkan hati orang lain. tak peduli berada di strata (tingkatan sosial) nomor berapa, setinggi apakah jabatan orang tersebut, atau kaya – miskin, terima kasih tak pernah lekang oleh perbedaan. Di usia dini pun, di lingkungan terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga, manusia selalu diajarkan untuk berucap terima kasih kepada orang lain yang mau memberi pertolongan. Dalam pertolongan itu sendiri, pasti terdapat pikiran hangat untuk membantu meringankan beban orang lain. Itu pun juga karena sifat manusia yang ditugaskan untuk mau memanusiakan diri sendiri dan lingkungan sekitarnya (humanistik). Karena terima kasih diciptakan untuk melesatkan apresiasi manusia kepada manusia lain untuk memberi pertolongan.

Penulis juga memiliki sedikit pengalaman berkesan saat menjalankan tugas sebagai guru les privat seorang anak blasteran Jerman. Tak pernah terpikirkan bahwa dengan pengucapan bahasa Indonesianya yang kaku dan umurnya yang baru berusia 11 tahun tersebut, dirinya selalu mengucapkan terimakasih setiap penulis selesai mengajarnya. ‘Terima kasih’ membuat penulis merasakan kepuasan tersendiri karena merasa sangat dihargai orang lain. Namun, tak sedikit juga orang yang jarang sekali mengucapkan terima kasih karena sudah membayar orang yang menolongnya tersebut. Dalam suatu perusahaan misalnya. Ada seorang karyawan yang diberi gaji bulanan beserta bonusnya oleh pemimpin perusahaannya tidak mengucapkan kata terima kasih sama sekali. Meski hal itu terlihat remeh, namun di bulan berikutnya, karyawan tersebut tak lagi mendapat bonus seperti bulan kemarin. Saat kenaikan jabatan pun si karyawan itu tidak mendapatkan rekomendasi baik dari sang pemimpin karena dianggapnya tak tahu terima kasih.

Itulah kisah sebuah terima kasih yang tak sekedar berkutat pada saat kita menerima pertolongan atau pemberian orang lain. Terima kasih dapat kita ucapkan dalam keadaan apapun disaat kita merasa menjadi manusia lebih baik. Terima kasih kepada tukang becak misalnya, meski sudah dibayar, namun kata terima kasih dapat menjadi kesegaran sendiri baginya setelah mengayuh begitu jauhnya untuk kita. Terima kasih kepada pelayan toko yang telah membantu kita untuk ‘mondar – mandir’ mencarikan sepatu, tas, ataupun baju. Terima kasih kepada orang tua yang selama ini telah mendidik dan merawat. Dan terima kasih bagi banyak orang lain yang mampu membuat hidup kita menjadi lebih mudah. 

Titik Jenuh

♠ Posted by Aryni Ayu in

Titik Jenuh
Saturday, 9 March 2013

Aku aku dan aku. Aku kenal siapa diriku yang dulu, Aryni. Seorang yang keras, berani, kreatif, ambisius, dan cepat bertindak untuk menghadapi segala isi dunia. Terbiasa mengelola kebosanan, menjadi sebuah pekerjaan. Seorang pemimpin yang sering memimpin kehidupan orang. Selongsong semangat yang tak pernah habis oleh rapuhnya jaman selalu ada di setiap gerakku. Hingga, diri ini banyak dijadikan tolak ukur sekaligus musuh bagi banyak orang. Toh, orang cerdas mana yang tak punya musuh? Jika kau tidak punya musuh, artinya kau tidak berkompeten.
Aku ingat detik – detik disaat orang meminta beberapa kesibukan dariku, untuk sekedar mengurangi rasa bosan yang tak pernah kualami. Aku juga tak pernah lupa, kalau – kalau selalu maju untuk menghadapi orang tak punya moralitas. Dari perdebatan yang dilakukan terhadapku oleh seorang lektor untuk membela mahasiswa kesayangannya. Mengambil resiko besar untuk mencintai orang yang salah. Dan berani menentang aktivis gila yang membikin kekacauan di sebuah organisasi pers. Kemudian. Menghakimi beberapa orang yang berusaha menjatuhkanku saat aku memimpin mereka di sebuah organisasi sekolah. Bisa kau duga, orang lebih banyak memusuhiku. Ya, itulah diriku yang dulu, taking risk!
Ironis, akhir – akhir ini seakan mengalami penghabisan. Kau tahu, meski hari selalu melewati tiap detiknya, aku merasa tetap berada di tempat. Lingkungan sekitar yang dulu lima langkah jauh dibelakangku, kini mulai berjalan cepat. Jika sebelum itu orang terbiasa menggunakanku sebagai tempat mengadu, kini giliranku yang mengadu. Kebodohan tampaknya mulai menjajaki kehidupanku. Menggerogoti seni – seni kecerdasan yang ada dalam tubuhku. Rasa – rasanya, aku sudah tak mau tahu lagi berurusan dengan birokrasi rumit, sekedar menentang orang yang berbeda dengan kemauanku. Tugas akhir yang aku ajukan sejak 30 agustus tahun lalu, belum juga menemui titik prestasinya. Kemana jiwaku pergi? Sungguh, rasanya aku tak kenal diriku sendiri. Apakah aku sedang berada di titik jenuh atau sedang ingin beristirahat dan bersenang – senang disaat orang lain sedang serius mengejar cita - citanya?
Kau tahu betapa menderitanya hal ini? Waktu dimana kau merasa dibuang, malas, dan berjalan di tempat. Titik jenuh, rasanya, dari sekedar mendapat cercaan dari dunia, lebih dari pengemis yang berjalan setengah hari mengitari kampus dan hanya mendapat recehan se sen dua sen, belum lagi olok – olok orang dalam hati, rasanya, kejenuhan melebihi segalanya..  
Tuhan, kumohon, lenyapkan titik jenuh ini. Agar diriku menjadi berguna lagi seperti dulu...