Biarkan Aku Menjadi Mimpiku!

♠ Posted by Aryni Ayu in


Jika banyak duri bermunculan, bolehkah aku tetap tumbuh menjadi bunga?
Biar mulut – mulut sombong itu menjadi bisu. Agar dunia tahu. Inilah duniaku...

            Sepintas, teringat diri ini saat pertama kali memasuki tahun pertama sebuah universitas. Ideologi yang terburat oleh masa remaja. Kekakuan prestasi yang masih belum menemui titik cairnya. Kenakalan – kenakalan, dan kebodohan – kebodohanku di masa remaja benar – benar ingin aku tebus. Bukan tebusan biasa, jika bisa luar biasa hingga orang lain tak mampu memandangnya dengan sinis. Aku juga ingat betapa selongsong proses belajar di masa itu aku sia – siakan, dengan sebuah apatisisme. Andai mesin waktu telah tercipta, mungkin tak sedetik pun waktu itu akan kuisi dengan kebodohan. Hingga orang lain punya ‘waktunya sendiri’ untuk menghina, meremehkan, bahkan menghakimi otak yang kumiliki. Sungguh, sejak tahun pertama kuliah, semuanya telah aku rancang, sebaik mungkin.
            Di kamar berukuran sempit, berisi televisi, sekotak accesoris, sederet buku, dan segelumit kisah remaja dari bangku smp sma, terpampang mading bertuliskan “Dosen Muda, IPK 3.6, Lulus 3,5 Tahun”. Seperti yang kubilang, itulah rancanganku, mimpiku. Setiap detik menuju menit, menit berganti jam, sehari – hari aku selalu memandanginya, berusaha untuknya. Dengan penuh harap, semoga rancangan itu menemui hasil yang menggembirakan. Hanya dengan bekerja kerass aku bisa mewujudkannya. Tak mudah memang ketika harus belajar disaat orang lain terpejam. Berusaha sekeras mungkin saat orang lain mencoba cara – cara instan. Atau terwujud, disaat mimpi itu berusaha direnggut banyak orang. Jika banyak duri bermunculan, bolehkah aku tetap tumbuh menjadi bunga?
            Tahun ketiga berlalu. Beberapa mimpi mulai terwujud. Indeks prestasi yang sangat memuaskan bagiku, tanpa harus diremehkan manusia lainnya. Sedikit demi sedikit, aku menemukan jalan hidupku. Kemana cita – cita akan mengalir. Kemana pula mimpi harus menjadi nyata. Tahun keempat dimulai. Aku rasa, masa inilah yang paling berat. Suatu masa dimana ruang dan waktu berada dalam kesukaran. Hasil jerih payah yang juga belum tentu mendapat penghargaan. Apalagi, disaat orang tuamu tidak lagi mendukung mimpi – mimpi besarmu. Menangis pun tak tahu pula kemana harus bersandar. Sungguh, inilah masa – masa terberatku. Aku yang sangat menginginkan pendidikan pasca sarjana, rupanya berbeda ingin dengan orang tuaku. Mereka lebih mengarahkanku untuk segara menjadi guru ‘sukwan’ lebih dulu, ikut tes pns, lalu menikah. Pertanyaanku, kapan aku bisa mewujudkan mimpi – mimpiku? Itu desain impian kalian, dan maaf, aku tidak menginginkannya, saat ini.
            Ketika gerbang mimpi mulai terbuka, bolehkah jika aku segera masuk? Dan bolehkah untuk segera membuatnya menjadi nyata? Aku belajar dan berusaha selama ini tak lain, untuk menjadi cita – cita yang lebih besar. Bukan hanya sekedar guru, dosen, jika perlu menjadi seseorang yang lebih besar lagi. Biar mulut – mulut sombong itu menjadi bisu. Agar dunia tahu. Inilah duniaku...


Kamarku, 27 April 2013-04-27, pukul 21.00

Hargamu Mahal, Jika Tetap Menjadi Emas--

♠ Posted by Aryni Ayu in


laki – laki buruk pun ingin memiliki wanita ‘baik – baik’
Benarkah sebagai wanita kita bersedia untuk dipilih berdasarkan alternatif? I dont think so!

            Ketika dunia berada diambang budaya yang kian bebas, apalagi. Seakan tak ada sekat diantara batas baik dan buruk, wanita tetap punya tanda tanya besar. Antara kebebasan dan kehormatan. Jika pilihan adalah bebas, bolehkan jika wanita tidak memilih sebagai emas? Dan kehormatan, bolekah jika wanita tetap menjadi emas? Seorang konvensional atau wanita modernitas bebas tak terbatas.

            Dari selosongsong kehidupan dunia yang begitu beragam. Tanpa sekat. Tanpa tahu bilik baik dan benar. Tanpa tahu nilai – nilai filosofis manusia. Wanita, tetap dituntut untuk menjadi emas. Semua hal tentang tata adat berpakaian, perilaku yang menurut Gerald I. Nierenberg bukan hanya menjadi pertahanan tapi juga tantangan, menjadi indikator penting bagi nilai seorang wanita. Nyatanya, emansipasi yang dulu digembar – gemborkan oleh R.A Kartini (Indonesia) dan Bella Zavitzky (Amerika) perlu mendapat dukungan yang benar dari wanita saat ini.

            Layaknya partai, kehidupan pasca emansipasi memiliki dualisme. Antara kehidupan baik dan buruk. Meski terlihat samar, keduanya masih bisa dibedakan, apalagi dipilih. Kebenaran yang ditempati para wanita konvensional bernapas monokultural, atau keburukan yang disinggahi wanita berasas modernitas tak terbatas. Memang terlihat menghakimi, namun semua butuh keadilan. Ketika kita melihat seorang laki – laki ingin melamar gadis, apa yang diharapkannya dari gadis itu? Selain cantik, pintar, dan berbobot? apalagi jika bukan bermartabat, benar tidak? Jelas sekali bukanlah hal – hal buruk yang diharapkan. Atau jika memang sangat terpaksa oleh berbagai keadaan, (“tidak virgin, atau MBA”) barulah alternatif ‘buruk’ menjadi pilihan. Benarkah sebagai wanita kita bersedia untuk dipilih berdasarkan alternatif? I dont think so!

Alfian, seorang laki – laki penghafal cafe dan diskotik, mengaku telah berkencan dengan banyak wanita. Dari keterangannya, dalam setahun dia bisa mengencani sekitar 60 wanita di berbagai tempat. Dari wanita perokok, pemabuk, hingga ‘ayam kampus’, semua pernah dicobanya. “mereka sangat menghiburku, membuatku berfantasi, hingga aku lupa bagaimana kehidupan normal. Mereka menyenangkan, namun aku tak menemukan sesuatu yang menarik di mataku. Mereka mudah terlupakan. Aku ingin wanita yang baik – baik, tapi juga tidak kaku” Pengakuan seorang laki – laki yang sekiranya dapat mewakili teman – temannya yang sejenis. Nyatanya, mereka tetap membutuhkan emas.  

Wanita bernapas konvensional, alias emas, sering menjadi pilihan. Potret kehidupannya yang jauh dari kontaminasi diskotik, rokok, minuman keras, dan sex bebas, memang terlihat membosankan. Apalagi jika mereka terkadang terlihat ‘tidak gaul’ saat bergaul dengan wanita modernitas tak terbatas, yang benar – benar memiliki kebebasan tanpa aturan. Bagi sebagian laki – laki pecinta hiburan, mungkin mereka terlihat menarik. Namun siapa sangka, laki – laki buruk pun ingin memiliki wanita ‘baik – baik’. Bukankah ini pertanda bahwa budaya kebebasan masih tetap memiliki kebenaran?

Emas tetaplah emas, jika memang memilih sebagai setengah wanita baik dan buruk, atau totalitas diantara keduanya, tak ada orang berhak melarang. Toh, pilihan jatuh pada pilihan masing – masing satu paket dengan resikonya. Yang jelas, emas masih tetap mahal dan diperebutkan! Tak maukah jika kita memiliki penawaran yang tinggi sebagai seorang wanita? Silahkan memilih.