Perang Dingin Tahun 1950, Masih Berlaku!

♠ Posted by Aryni Ayu in

                                                “Konflik Antara A.S dan Korut”

.....karena sudah rahasia umum semua bidang kehidupan manusia dikuasai oleh negara paling adidaya. Konflik perang dingin yang terjadi sejak 1950, harus segera menemui ajalnya!

“Waorenk Soto khas Mak Suri”, “Toko Kelontong Chiak kian Wie”, di depannya adapula seorang laki-laki hitam bertubuh kecil yang berjualan es tebu, dan beberapa laki-laki perempuan mengitari tempat perjudian sekitar pasar. Itulah sebagian kecil pemandangan yang bisa dilihat generasi muda melalui foto-foto bersejarah yang terlukis sekitar tahun 1930 dan tahun 1950-an. Belum lagi, disana juga terpampang para pribumi yang sedang meniti batik selama bertahun-tahun, menyusun bata untuk para pedagang tiongkok. Bukti, bahwa mereka sedang memperjuangkan hidup di tengah seluk beluk penjajahan bangsa-bangsa kapitalis. Bagaimana tidak, jika di dunia bagian lain, sekumpulan kapitalis dan separuh komunis, sebangsa Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Jepang, Jerman, Uni Soviet, beserta antek-anteknya sedang mempersiapkan perebutan kekuasaan. Siapa yang paling berkuasa, siapa yang paling banyak mempengaruhi para penghuni tanah jajahan, maka dialah sang adidaya.
Di tahun 1950, ketika bangsa ini baru saja merdeka dari pontang-panting penjajahan sang Nederland, saudara-saudara Indonesia yang ada di asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Tengah sedangkan merasakan hal yang sama. Selepas perang Dunia 1 dan perang Dunia 2 baru saja menemui ajalnya, dengan kemenangan di tangan kapitalis pimpinan Amerika Serikat. Ada satu negara adidaya lainnya yang siap menabuh genderang untuk memonopoli kekuasaan dunia dan ini membuat negara-negara di Asia harus serba bingung memilih untuk ikut “siapa” dalam menata masa depan negaranya. Karena jika tidak, negara jajahan ‘baru merdeka’ tersebut harus siap mengalami kesulitan diplomatis ketika ingin duduk sejajar dengan negara-negara maju. Untungnya, Indonesia di era pemerintahan Soekarno ini dengan tegapnya bergabung dengan gerakan Non Blok.
Ketika melihat pemberitaan bahwa Amerika Serikat akan bukan lagi menjadi negara adidaya yang sepenuhnya adidaya, maka peperangan dibelakang layar pentas dunia mulai terjadi. Persaingan antara negara-negara ex komunis seperti Cina, Korea Utara, dan Rusia dengan ex kapitalis pimpinan Amerika Serikat semakin tampak di permukaan modernisasi. Hal ini berawal dari perang dingin yang konon secara tertulis melalui perjanjian dikatakan ‘selesai’ pada tahun 1990, namun nyatanya ini masih memanas dengan adanya ancaman-ancaman nuklir yang dilontarkan oleh Korea Utara. Bebarapa mingu lalu, tepatnya pertengahan Desember 2014, penyadapan informasi terkait dengan desain, bahan, dan film yang dimiliki oleh “Sony Pictures” yang merugikan miliaran dollar milik A.S. dengan sekutunya Korea Selatan dituduhkan kepada Korea Utara. Keduanya saling melempar tuduhan. Obama menuduh Korut sebagai dalam peretasan yang wajib dikenai sanksi di pentas PBB. Pemerintahan Korut menuding A.S. sebagai ‘monyet’ yang berani menyebarkan film tidak benar tentang Korut. Cina, sebagai kawan terbaik Korut, menegur A.S. karena tidak menghargai pemerintahan negara lain dengan menayangkan film tersebut (Media Massa, 14-20 Desember 2014).
Hingga detik ini, salah satu pihak mengeluarkan statement bahwa tidak menutup kemungkinan akan muncul Perang Dunia III jika berani menganggu kedaulatan negara lain. Menurut, Leo dalam bukunya “Politik Luar Negeri”, jika negara A berkuasa, negara lain harus mengikut pada negara tersebut, namun jika yang berkuasa bukan hanya tunggal, maka akan terjadi perebutan kekuasaan dengan cara yang lebih modern. Tidakkah bisa dicermati, masing-masing sekutu negara komunis dan kapitalis dua-duanya tidak ingin ada satu pemerintahan mendominasi. Maunya, siapa yang paling kuat, dialah sang Adidaya. Tentunya, sikap negara-negara berkembang tak bisa sembarangan kepada dua-duanya, karena sudah rahasia umum semua bidang kehidupan manusia dikuasai oleh negara paling adidaya. Konflik perang dingin yang terjadi sejak 1950, harus segera menemui ajalnya!


Intrik Politik Era Istanasentris

♠ Posted by Aryni Ayu in
Kini, cara tersebut tidak ditinggalkan begitu saja, bahkan dikembangkan lebih canggih melalui strukturisasi jabatan

14098790731048657797
Sangkakala era modern menandai dimulainya waktu hidup manusia untuk selalu rasional. Tidak sedikit anak muda jaman sekarang sudah mulai ‘lupa’ akan identitas bangsanya, juga pikun ketika ditanya sejarah bangsanya. Ketika kebesaran Majapahit dan Sriwijaya diceritakan kepada mereka, tak pelak seperti ‘dongengan’ masa kuno yang bisa menyebabkan kantuk. Hanya sedikit diantara anak muda, antusias mendengar berbagai kisah raja-raja yang dianggapnya terselubung. Padahal politik masa kini yang demikian rumit itu merupakan warisan dari raja-raja kuno, kepemimpinannya pun tak jauh beda, bahkan tanpa handphone, siaran teleisi, foto-foto terpajang di berbagai sudut kota pun, raja di masa kuno itu sanggup mengontrol daerah-daerah di Nusantara yang jauh ‘mblusuk’ sekalipun. Pergantian tahta yang menyebabkan pertumpahan darah dalam Perang Paregreg1, juga peninggalan ‘mereka’ di masa kini yang selalu mengorbankan banyak orang. Tak dipungkiri, intrik politik tak pernah surut dimakan jaman, apalagi kekuasaan selalu menggiurkan. Benarkah warisan politik di masa kini seluruhnya merupakan peninggalan di masa kuno? Lihatlah, karena sejarah selalu berbicara.
Sang Bhatara Kertajaya di singgasananya terlihat sangat lunglai, geram mendengar kepemimpinan Bhre Tunggul Ametung di Tumapel. Dirinya sebagai penguasa Daha sungguh tidak ingin disaingi, apalagi ada seseorang yang lebih sakti mulai menguasai rakyat. Warisan Maharaja Airlangga (raja Kahuripan) terdiri dari Daha dan Tumapel, dengan luas tepatnya dari Surabaya hingga Lumajang sekarang, harus seluruhnya menjadi kuasa Kertajaya. Wataknya yang serba keras dan sombong membuatnya berunding dengan para Dhyaksa2, Resi, dan para penasehat kerajaan untuk segera menyingkirkan Bhre Tunggul Ametung. Tidak hanya Kertanegara saja yang ingin menghabisi nyawa sang Tunggul Ametung, tetapi Ken Arok yang dulunya hanya seorang anak selir dan tinggal di hutan karena dibuang oleh kerajaan. Kini, dirinya pun ingin merebut Tumapel beserta istrinya Sang Tunggul Ametung, Ken Dedes. Konspirasi dimulai.
Ken Arok dengan lincahnya berkenalan dengan penguasa Tumapel, kemudian melirik Ken dedes yang menurut Kitab Pararaton diceritakan sangat cantik, gemulai, yang menarik hati Ken Arok. Ken dedes diperistrinya yang juga kemudian memperistri Ken Umang sebagai [2]selirnya nanti saat akan mendirikan kerajaan Singasari. Tidak ada yang mengetahui darimana asal Ken Umang. Tapi yang jelas, perempuan ini membantu Ken Arok untuk membunuh Sang Bhre Tunggul Ametung dengan keris Mpu Gandring. Tumapel pun tumbang dibawah kuasa Ken Arok. Begitupun Daha pimpinan Kertajaya, ikut dihabisi pula oleh Ken Arok yang nantinya dirombak menjadi Kerajaan Kadiri3. Demi kekuasaan, kesewenangan pun harus dilakukan, persis seperti yang dipesankan oleh Karl Marx.
Intrik-intrik seperti itu tidak saja terjadi di satu kerajaan, bahkan Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan penyatu nusantara kedua setelah Sriwijaya pun pernah melakukannya. Seperti saat Hayam Wuruk memberikan tanah lungguh kepada Mahapatih Gajdah Mada seluas wilayah Probolinggo, yang juga sebagai tempat tinggal terakhirnya, tidak lain bertujuan untuk mengusir Mahapatih Gadjah Mada dari singgasana Keraton Majapahit selepas perang Bubat. Disinyalir, mahapatih membuat kecewa Hayam Wuruk karena telah bersekongkol membunuh calon pengatinnya, yakni Dhyah Pitaloka, putri dari Prabu Siliwangi4. Intrik Politik kerajaan kuno yang terorganisir. Kini, cara tersebut tidak ditinggalkan begitu saja, bahkan dikembangkan lebih canggih melalui strukturisasi jabatan. Jabatan diberikan atau dicabut tergantung pada titah sang penguasa, atau pihak yang ingin berkuasa. Hingga para elit pun sudah mulai ‘pikun’ ingin membela rakyat atau pemimpin. Maka, belajar bijaklah dari Sejarah.


[1] Perang Paregreg, perang perebutan tahta antara keturunan Majapahit
2 Dhyaksa, pejabat hukum masa kerajaan
3 dalam Buku “Sejarah Kerajaan Singasari”, 2014
4 dalam Buku “Tafsir Kitab Negakretagama”, 2007

Opendeur Politiek 1870, Embrio Kapitalisme Nusantara.

♠ Posted by Aryni Ayu in

Jadilah Nusantara sebagai ladang kapitalisme besar-besaran, yang memeras tenaga rakyat secara habis, untuk hasilnya dinikmati para pemodal asing


            Kala itu masih jaman kalabendu, belum ada mbah google, instagram, atau kicauan burung ala twitter, tempat dimana manusia memfungsikan dirinya sebagai ratu atau pangeran dengan foto jepret sana-sini yang siap diekspos kapan saja. Jaman Kalabendu, atau jaman edan kata resi pandhita era tahun 18-an, yang digambarkan manusia penuh kesenangan ala duniawi tanpa pikir panjang lagi tentang keberadaan Tuhan. “Barang siapa tidak ikut edan, dia tidak akan dapat apa-apa!” salah satu isi dari serat Kalatidha karya Ranggawarsito. “Tanah Jawa diramalkan akan rusak kala ‘balung wesi’ sudah menghiasi sebagian besar kehidupan kaum inlander!”, begitu pula ramalan Jayabaya, sang Raja dari Kediri. Balung wesi digambarkan sebagai kehidupan yang mulai modern, permesinan dari kereta-kereta, otomobil kuno, dan pabrik-pabrik industri mulai didirikan menghiasi kehidupan tanah Jawa yang menandai dimulainya sifat-sifat manusia yang juga modern, tanpa komando dari Tuhan, tepat sejak tempo 1870. Disinilah pemiskinan besar-besaran terjadi sepanjang sejarah Nusantara, bahkan hingga waktu yang tidak ditentukan.
            Tahun 1850, kaum liberal tengah duduk di singgasana parlemen Eropa bersaing dengan kaum konservatif, semacam golongan tua dan golongan muda dalam versi Indonesia. Dua kaum ini sedang ‘bersendiko gusti’ memperjuangkan nasib negaranya yang konon sedang gencar menikmati Revolusi Perancis 1799. Sebuah revolusi yang mampu mengubah pemikiran orang-orang Eropa tentang betapa pentingnya mereka melepas penjajahan kuno, alias gold, glory, apalagi gospel (perluasan jajahan karena agama) dianggap sudah tidak penting lagi bagi mereka, karena Tuhan sudah dianggap tidak campur tangan dlama urusan politik. Apalagi raja bukan lagi perwakilan Tuhan yang bisa dengan seenaknya menerapkan sistem merkantilisme, yakni hasil kerja keras rakyat harus diberikan kepada raja. Revolusi ini menjadi trending topic dan segera saja menyebar di kalangan penjajah Eropa. Imperialisme Kuno sudah berlalu.
Kaum liberal, menginginkan kebebasan di bidang ekonomi harus segera dilaksanakan, pemerintah tidak diperkenankan mencampuri urusan perekonomian negaranya termasuk di daerah jajahan. Orang-orang berpemikiran bebas dan sangat gemar kapitalis ini kemudian memenangkan peradilan di parlemen, dan membuat dinasti penjajahan baru berjudul “Imperialisme Modern”. Apalagi Nusantara yang saat itu tidak tahu menahu urusan politik pemerintahan Belanda, yang mereka tahu hanyalah bekerja terus menerus sampai tulang tinggal kulit, bekerja sebagai kuli di tanah sendiri, nyatanya tanah pribumi segera dibuka untuk umum di tahun 1870, alias penjajahan massal mulai disahkan diatas Bumi Nusantara yang dinamakan sebagai “Opendeur Politiek” atau “Politik Pintu Terbuka (ekonomi liberal)”.
Negara-negara berideologi kapitalis dipersilakan masuk menuju pintu gerbang “Pulau Harta Nusantara”, dengan fasilitas penanaman modal di Indonesia di kepulauan mana saja seenak jidat sang Penjajah, diantaranya Sumatera (swarnadwipa), Jawa (Jawadwipa), Borneo (Kalimantan), Bali, dan Sulawesi. Amerika Serikat, Belgia, Inggris, Jerman, Denmark, dkk, diperbolehkan menanam modal untuk panen rempah-rempah yang digunakan untuk perusahaan farmasi dan industri di Eropa, kemudian emas, tembaga, dan bahan lainnya, diperbolehkan untuk dikembangkan. Tentu saja Belanda sebagai tuan rumah Nusantara tetap mempekerjakan paksa pribumi untuk memuaskan keuntungan ekonomis yang besar bagi kekuatan industri Eropa. Bahkan, kumpeni telah menetapkan Agrarist Wet (penggunaan tanah rakyat untuk pemodal), Poenale Sanctie (kerja paksa kontrak), dan Koeli Ordonantie (hukuman bagi pelanggar kerja paksa), untuk mengikat rakyat Indonesia agar tidak lepas dari pemerasan paling modern sepanjang abad-21. Importir barang kebutuhan rakyat yang dilakukan oleh Belanda seperti : kain Eropa, alat-alat Industri, dan kebutuhan hidup sehari-hari bagi rakyat yang tinggal di pedesaan, mengakibatkan usaha lokal pribumi tidak berkembang, dan mengakibatkan kemerosotan perekonomian sebesar 80% di tahun 1895.

Jadilah Nusantara sebagai ladang kapitalisme besar-besaran, yang memeras tenaga rakyat secara habis, untuk hasilnya dinikmati para pemodal asing. Tidak jauh berbeda dengan keadaan pribumi yang sekarang menjadi bangsa, dari kepulauan Sumatera hingga Irian Jaya tidak dapat dipungkiri telah memiliki berbagai saham milik asing sebesar 600 saham tercatat dari berbagai negara. Benarkah sejarah yang telah dilakukan para ‘kompeni’ berulang kembali bahkan oleh ‘kompeni lokal?’ Satu hal penting yang tanpa disengaja menawarkan pintu masuk pada kapitalisme, benarkah semuanya berasal dari sejarah? Ataukah generasi hari ini yang sulit sekali melawan lupa pada sejarah? Anda yang memutuskan!

Genosida 1965-1966, Tak Ubahnya Penjajah Belanda!

♠ Posted by Aryni Ayu in

Bangsa ini sudah cukup menderita karena ulah para penjajah. Jika sekarang penjajah berganti kulit berwarna cokelat, maka dialah penjajah yang lebih mengerikan dibanding penjajah kulit putih


            Tahun 1965-1966, menjadi masa paling kelam bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tanah Nusantara yang dulu dinamai Gajah Mada sebagai tanah paling subur dan makmur dibawah payung Majapahit, mulai dilanda kebarbaran, tak ubahnya sikap kejam penjajah Belanda. Apa yang sedang terjadi? Sampai-sampai dunia internasional, mancanagara sebutan raja-raja Hindu1, turut meliput duka mendalam kejadian 1965-1966. Hingga detik ini, melewati dekade yang tengah mengglobal, masyarakat masih saja tidak tahu sepenuhnya benar-salah dari kejadian ini. Banyak laporan palsu telah diciptakan untuk menutupi kebenaran. Tidak ada yang tahu tepatnya berapa jumlah korban bangsa Indonesia yang telah dibunuh, dicincang, dibuang, dihilangkan, dilecehkan di dua tahun tersebut, dan terjadi merata di seluruh wilayah NKRI. Benarkah ini warisan dari penjajah Belanda yang jauh lebih kejam atau barbarisme adalah ideologi bangsa paling baru?
            Kala itu, jenderal Belanda J.P Coen, tengah duduk di singgasananya sebagai the first governor of VOC, gubernur pertama VOC. Tepatnya tahun 1619, Coen berencana memperluas wilayah kekuasaan VOC di Batavia2. Sangat tidak mungkin untuk Coen memperlakukan rakyat dengan cara halus, hanya buang-buang waktu saja. Di hari berikutnya segera pasukan Belanda mengusir penduduk dari tempat persinggahannya. Caranya bermacam-macam ada yang diseret paksa keluar rumah, ada yang langsung dibunuh karena melawan, tidak sedikit pula yang disiksa berhari-hari akibat tidak patuh pada perintah sang gubernur. Tapi, itu hanya sedikit pesakitan yang dibuat Belanda diawal dirinya mengaklamasikan diri sebagai penjajah abadi rakyat Indonesia.
            Seabad kemudian, keadaan Indonesia tidak sepenuhnya membaik. Tahun 1719, nusantara baru saja didera kerja paksa yang mengharuskan pribumi terlunta-lunta dan kurus kering tanpa gizi untuk memenuhi titah sang Penjajah. Sampai biji kopi pun harus digigit secara manual oleh para tetua kita tanpa upah untuk dijadikan barang impor ke negeri Belanda. Pembangunan Anyer-Panarukan karya bangsa Indonesia yang diperintah Herman William Dandels sepanjang 1000 km, tanpa menggunakan alat, tanpa memakai alas kaki, dan tanpa makan. Tidak memungkiri sebanyak 3000 jiwa orang Indonesia berdasarkan arsip kolonial, atau sebanyak 5000 jiwa berdasarkan laporan di lapangan3, harus terbunuh karena pembuatan jalan tersebut.
            Di tahun 1965-1966, tepatnya 2,45 abad setelah mengalami kerja paksa yang serba mengerikan, rakyat harus kembali dihantui oleh peristiwa mengerikan bahkan sulit sekali tidur nyenyak untuk dapat membayangkan pembunuhan yang terjadi setiap hari. Kala itu, bangsa ini sudah mereka dari para penjajah kulit putih. Tidak ada lagi ‘bule bersenjata’ yang [2]berkeliaran di samping rumah-rumah penduduk. Tidak muncul lagi pembunuhan oleh Kapten Westerling yang menghabiskan 400 nyawa penduduk di Sulawesi yang konon dibedil serampangan hanya dalam waktu satu hari. Tetapi rupanya, mimpi buruk bangsa Indonesia kembali datang setelah pecah pembunuhan 7 jenderal penting di Lubang Buaya (Jakarta) yang diisukan ulah PKI. Sehari kemudian, perintah dari pemerintah bekerjasama dengan RPKAD (TNI) diharuskan membunuh semua orang yang terdaftar sebagai PKI ataupun underbouw (bawahan)-nya sekalipun.  
            Malam hari tepatnya bulan November 1965, tidak sedikit warga yang dianggap kekar, punya nyali, anti-PKI, dan mau membunuh, direkrut sebagai algojo. Menurut Anwar Congo, dan Supardi, dua dari ratusan algojo yang pernah membunuh ratusan anggota PKI, para anggota PKI dibunuh berdasarkan perintah dari para letnan “saya tidak tahu siapa yang memerintah, yang jelas sudah ada daftar berisi 200 orang PKI untuk dibunuh setiap harinya, kata Supardi dan Anwar yang kini sudah berusia 71 tahun4. Biasanya, orang-orang yang dianggap PKI ada yang dibunuh langsung dengan cara dipenggal kepalanya dan langsung dikubur dijadikan satu dalam sumur. Ada pula yang masih diinterogasi untuk ditanyai informasi mengenai pusat pergerakan PKI, antek-antek PKI yang lain. Cara untuk menginterogasi pun bermacam-macam, ada yang disetrum memakai listrik, diinjak kakinya dengan kursi penginterogasi, untuk wanita dilecehkan secara seksual, sampai ada yang disekap didalam wc selama tiga tahun5. Kerja paksa membangun jalan, terkadang juga harus dijalani para pemuda-pemudi yang dicap sebagai PKI, sedikit mirip dengan cara yang dilakukan Daendels.
Berbagai bentuk penyiksaan hingga pembunuhan tersebut dilakukan kerena tak lain PKI pun pernah melakukan pembantaian pada kelompok-kelompok pemuda dan pemuka agama di daerah-daerah. Hampir mirip seeprti yang dilakukan Belanda sepanjang tahun 1920an, dimana mereka menyiksa para pekerja paksa yang dianggap lalai melaksanakan tugasnya, jika wanita biasanya akan dijadikan budak seks oleh para kumpeni terutama yang terjadi di perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur.
Bangsa ini sudah cukup menderita karena ulah para penjajah. Jika sekarang penjajah berganti kulit berwarna cokelat, maka dialah penjajah yang lebih mengerikan dibanding penjajah kulit putih. Apakah ini yang dimaksud dengan mewarisi sejarah bangsa? Bukankah hal-hal kelam di masa lalu haruslah dikubur hidup-hidup, bukan dihidupkan kembali untuk menyiksa sesama bangsa. Ini bukan salah siapa yang harus disalahkan, tetapi ini adalah persoalan ideologi yang tak pernah surut hingga saat ini. Betapa sulit terkadang bangsa ini untuk hanya sekedar tahu tentang pentingnya belajar bertoleransi dan mencintai Pancasila.
           
           




[1] Tafsir Kitab Nagarakretagama, Slamet Muljana : 2007
2 Vereenigde Oost Indische Compagnie, at www.leidetuniversity.com
3 dalam Buku ‘History of Java’, Thomas Stanford Raffles
4 dalam Buku “Pengakuan Algojo 1965”, Tempo : 2014
5 Ibid

Truly Underdog

♠ Posted by Aryni Ayu in


Mereka berusaha membunuh karakterku dari awal aku berkarir. Tidak ada yang yang gratis dibawah sinar matahari, dan jangan peduli tentang apa yang orang lain katakan.....

          Bukan pertama kali ini saja perasaanku tidak dihargai, bahkan tubuh pun tidak berdaya karena ucap buruk orang lain. ini terjadi sejak aku masih berada di bangku junior high school. Sebuah tempat dimana anak-anak orang kaya berkumpul, bermanja-manja penuh dengki, dan memaki orang lain yang memiliki kekurangan. Entah apa yang kurasakan dulu, yang jelas aku selalu apatis menghadapi egoisme mereka. Aku bahkan tidak peduli tentang apa yang mereka katakan, sungguh mereka bukan pengasuhku, mereka juga bukan Tuhan yang patut aku hormati, cuih! Tapi itu sudah berlalu lama, nyatanya di masa high school, duniaku penuh dengan kekuasaan. Banyak teman yang rela melakukan apa saja untukku. Ya, aku sudah mulai mahir memainkan kekuasaanku, beginilah rasanya dihargai.
          Sekarang, bukan waktunya menjadi remaja. Sudah waktunya mendidik remaja, karena aku adalah seorang pendidik. Aku sendiri pun tidak menyadari jika aku akan menjadi salah satu orang yang sangat ditiru, dinilai segala tindak tanduknya, dan penuh dengan birokrasi. Inilah dunia dimana orang dapat menjadi kambing hitam kapan saja. Dunia tempat para penjilat, pesombong, pepamer, dan pendengki berkumpul menjadi satu. Dan kau, jika kau bergerak terlalu banyak, mereka akan siap mengikatmu kapan saja seperti kuda poni yang patuh pada majikan. Sungguh, aku bukan orang ala keraton yang siap memakai topeng kapan saja, apalagi ber’sendiko pandhita’ kepada raja dengan tidak sepenuh hati. Apakah Raja akan siap suatu waktu digulingkan oleh orang biasa? Karena dia bukan orang tua yang siap pensiun, melainkan anak muda yang sedang belajar membabat keonaran!
Aku tidak tahu penjajahan apa lagi yang sedang dan akan terjadi padaku, terutama di usia yang sangat bersinar ini, karirku tidak boleh roboh hanya karena para penjajah. Kau tahu apa yang dilakukan penjajah itu? Mereka berusaha membunuh karakterku dari awal aku berkarir. Terkadang mereka mengkritikku tentang hal-hak yang tidak aku mengerti, diantara pendengki itu sangat berharap bahwa aku tidak layak berdiri sejajar dengan mereka. Lihat saja cara mereka berbicara, berekspresi, dan bercanda tawa, tidak pernah membiarkan orang-orang berstrata dibawahnya ikut berbicara, apalagi sekedar menertawakan sesuatu. Ah, memangnya mereka pikir sedang tinggal di Acropolis? Tempatnya para dewa dewi Yunani nan perkasa berkumpul? Jangan berhayal!
Bercita citalah setinggi angkasa, maka jatuh pun kau tetap akan tersasar diantara bintang-bintang, kata seorang filosof Yunani. Menjadi seseorang yang diremehkan memang bukanlah hal yang bisa diapatiskan. Ini menjadi cambuk bagi mimpiku agar segera keluar dari tidurnya, kemudian segera bergegas mewujudkan. Tidak ada yang yang gratis dibawah sinar matahari, dan jangan peduli tentang apa yang orang lain katakan. Karena mereka hanya sekedar berucap, dan kau akan tahu perkataan mereka akan berubah setiap menitnya, mereka tidak akan mudah mengingat siapa diri kita. Well, untuk apa sangat sibuk menuruti perkataan orang lain? Itu akan menyulitkanmu, sungguh!

One Mistake Like Thousand !

♠ Posted by Aryni Ayu in
Satu Kesalahan=Seribu Kesalahan



Ah, memangnya dimana letak kesalahan bisa ditambahkan jika tidak di mulut manusia? Yang salah kecil menjadi tambah salah, yang sudah salah besar bisa menjadi benar! Benarkah ini pertanda jaman edan?

“Tidak ada manusia yang sempurna, dewa pun juga bisa salah”, ungkap Ares, sang dewa Perang Yunani. Setiap mahluk insani, tidak pernah barang secacat pun tidak berbuat kesalahan. Manusia diciptakan memang untuk berbuat kebenaran juga kesalahan. Baik diingini atau tudak, manusia yang ingin sukses harus mau dulu dicekal kesalahan. Meski itu terkadang membuat hati tak berdaya, hati terluka, manusia pun tak berhenti melakukan kesalahan dan mensalahi manusia yang lain. Apalagi di Jaman Edan ini (menurut Serat Centhini Majapahit), barang siapa tak melakukan salah, bisa disalahkan, benar kan?
            Di suatu musim dingin, seorang mahasiswa sedang melakukan tugas ujian akhirnya. Dilihat sederet biografi yang ia miliki, mahasiswa ini berprestasi, keras kepala, susah diatur, namun tak pernah melakukan curang kepada siapapun, apalagi kepada mahadewa guru. Pernah dirinya memberikan contekan kepada beberapa mahasiswa hanya sekedar untuk mengajari bahan yang akan dibuat untuk ujian matakuliah. Tetapi kabar itu bocor, sang mahadewa guru marah dan menyuruh semua anak didiknya di kelas itu untuk mengaku, jika tidak, ujian tidak akan dilaksanakan. Detik berlalu, kelas hening, teman-temannya yang ikut melakukan curang juga diam dalam kesalahan. Tapi sang mahasiswa berdiri, dan mengaku di depan kelas bahwa dirinya melakukan kesalahan. Dialah yang mengajari beberapa mahasiswa lainnya. “Maafkaan saya, telah bersalah, saya siap dihukum apapun!”. Kelas semakin senyap, mereka berdecak kaget bercampur kagum. Mana ada maling yang mengaku? Untung sang Mahadewa Guru bersifat objektif, sehingga tetap memberikan nilai ‘A’ kepada sang mahasiswa, karena sifatnya yang kesatria.
            Tetapi kali ini lain, tugas akhir yang ia lakoni harus segera selesai. Seperti biasa, sifat ambisiusnya selalu muncul setiap kali dia menemukan ‘berkah’ atau ‘tugas’ yang harus diselesaikan. Berlari kesana kemari untuk mencari sumber-sumber tepat, narasumber yang baik, dan tekanan dari beberapa Mahadewa Guru, membuatnya harus segera mengakhiri tugas tersebut. Di tengah perjalanan, tugasnya mulai selesai lima puluh persen. Namun disaat yang sama, sang mahasiswa mendapat tawaran pekerjaan dari dua agency. Satu dari bidang pendidikan dan satu lagi bidang jurnalistik, dua hal yang sangat dia senangi. Bekerjalah ia di bidang pendidikan, sebagai seorang tentor dan pendidik. Dua pekerjaan sekaligus harus ia lakoni, belum lagi tugas akhirnya. Ya, itu sangat menguras tenaga dan bisa saja menghasilkan kesalahan.
            Benar saja, di musim dingin berikutnya, sang mahasiswa melakukan kesalahan. Mungkin fatal bagi beberapa orang. Ya, memalsukan tanda tangan seorang pegawai administrasi, agar ujian akhirnya segera dilaksanakan. Semua orang lalu mulai membicarakannya! Baik di dunianya sebagai mahasiswa, maupun di tempatnya bekerja. Banyak mulut berbicara tidak sesuai dengan fakta. Banyak mulut mencibir kepribadian sang mahasiswa. Dan banyak mulut menjadi berbusa karena membesar-besarkan kesalahan. Belum lagi fitnah yang diterima dari koleganya untuk menjatuhkan sang mahasiswa. Ah, memangnya dimana letak kesalahan bisa ditambahkan jika tidak di mulut manusia? Yang salah menjadi tambah salah, yang sudah salah besar bisa menjadi benar! Benarkah ini pertanda jaman edan?
            Sebagai akibat, dirinya harus memformat ulang ujian yang telah dijalani. Tidak pernah sepintas pun terpikir olehnya bahwa tiga hal sekaligus tidak bisa dicapai secara bersama-sama. Hanya satu kesalahan, namun karena tingkah polah manusia, bisa berubah menjadi seribu kesalahan. Dirinya juga tak pernah menduga jika sang Mahadewa-Mahadewa guru yang dulu sering memujinya, kini berbalik membecinya, bahkan memberinya prasangka yang tak pernah dia buat. “kamu adalah orang yang tidak bisa dipercaya, jika menjadi orang besar kamu akan melakukan korupsi, itu terlihat dari rona wajah kamu yang penuh kerakusan!”, begitulah sang mahadewa guru menguncang sang mahasiswa.
Memang, mahasiswa tersebut melakukan satu kesalahan fatal, bahkan berkat tambahan mulut manusia diatas kesalahannya, kini dia harus dituduh melakukan banyak kesalahan. Dari soal naskah ujian yang dicap tidak bagus, pasti dipalsukan data-datanya, dan segudang hujatan lainnya. Sang mahasiswa hanya bisa terdiam mendengar dan melihat kerja kerasnya selama ini tidak dihargai. Dirinya selalu berkata pada dirinya sendiri, “Aku bukan narapidana yang layak kalian injak, aku bukan pencuri uang, dan aku tidak peduli meski kalian malas melihatku, suatu hari akan datang seorang pembesar kepada kalian yang pernah kalian injak-injak, yaitu Aku! Terimakasih Anda-Anda telah mendidikku menjadi seorang petarung yang siap bertarung demi kemajuan!"
Bukankah menjadi seorang tokoh haruslah mau dihujat dan dihujani berbagai cobaan dan rintangan? Karena dengan cambuk, seseorang bisa berlari cepat menuju cita-citanya. Seorang Einstein pun juga begitu!



Ukiran diatas Kertas, dari Muridku!

♠ Posted by Aryni Ayu in

Masyarakat berpendidikan akan lebih mudah diatur, karena pendidikan adalah biangnya kemajuan. Dan guru adalah kuncinya

            Mungkin anda pernah mendengar ungkapan Confusius yang berbunyi “jika kau akan tinggal disuatu tempat untuk selamanya, ingin maju bersama dengan budayanya, maka mulailah mendidik manusianya”. Ungkapan Confusius mengisyaratkan bahwa pendidikan bukanlah hal untuk disepelekan, tetapi masa depan bagi semua umat manusia. Lihatlah Restorasi Meiji-nya Jepang yang hanya membutuhkan waktu 50 tahun untuk bisa menjadi negara maju dengan cara mengadaptasi segala ilmu dari Barat. Declaration of Independent Amerika di tahun 1776, berhasil menorehkan demokrasi modern pertama didunia berkat bidang pendidikan yang dijunjung tinggi oleh para pemikir dan guru-guru disana. Dan Indonesia, yang baru-baru ini berusaha mengangkat derajat para pendidik untuk kemajuan bangsa, apalagi yang tidak penting dari pendidikan?
            Hal paling penting yang harus dimiliki seorang pendidik adalah hati dan pikiran, mencakup kemampuan akademis bernama Intellegency Quentation, serta kemampuan emosional bernama Emotional Intellegency. Karena menurut Goleman (1980), kemampuan emosional dibarengi dengan kemampuan akademis, akan membuat seorang  pendidik bersemangat dalam mengolah keterampilan yang dimilikinya, baik itu keterampilan logika, nalar, maupun jiwa. Dari sinilah anak-anak bangsa tidak akan lagi mengenal kata “bodoh” yang mungkin akan dilontarkan oleh lingkungan sosialnya di kala dirinya melakukan kesalahan.
Bayangkan apabila guru hanya mengajar dengan kemampuan pikirnya saja tanpa menggunakan hati, atau hanya masuk dan keluar kelas hanya untuk memberi tugas tanpa komunikasi. Dapat dijamin anak-anak didikannya hanya kenal kata-kata “ya, tidak, benar, dan salah” seperti robot, tanpa tahu makna dari pembelajaran yang pernah dipelajarinya. Tentu, sebagai jabatan profesional yang tak kenal lelah untuk mendidik para generasi bangsa guru dituntut untuk senantiasa menyajikan pembelajaran menarik. Meskipun terkadang harus berbingung massal dengan terbitnya kurikulum yang selalu berganti-ganti rupa, tetapi tidak boleh ada kata “menyerah” dari hati seorang guru.
            Tugas kita sekarang adalah, berusaha mendengarkan apa yang ‘diingini’ dan ‘dibutuhkan’ oleh anak didik agar mereka bersedia mematrikan cita-citanya melalui pendidikan. Bukan menjadi teman mereka, tetapi berusaha menjadi teman bagi mereka tanpa meninggalkan profesionalisme. Kelak, ini penting bagi perjalanan karir seorang guru. Salah satu cara yang biasa dilakukan kebanyakan para pendidik adalah membagikan kertas kosong kepada murid, apalgi jika bukan untuk diisi berbagai kritik, saran, kesan, dan pesan. Tidak peduli bagaimana hasilnya, hal itu dapat menjadi evaluasi sosial yang membentuk komunikasi antara guru dan murid sehingga hasil pembelajaran bersifat demokratis dan profesional. Bukankah ini esensi dari pendidikan yang sebenarnya?
            Beberapa hari ini, penulis pun melakukan hal serupa, yakni berusaha menilai pembelajaran bukan dari diri sendiri tapi dari pandangan para peserta didik, berikut cuplikannya :


  
Kelebihan :
  • -          Cara mengajar sudah menarik dan materi mampu diterima oleh siswa
  • -          Banyak motivasi
  • -          Tidak monotun, lucu
  • -          Santai tapi serius
  • -          Nilai tidak pelit
  • -          Teliti

Kelemahan :
  • -          Ketegasan perlu ditambah dosisnya
  • Perhatian pada semua siswa
  • -          Jangan suka mencubit (hahaha)
  • -          Lebih sabar lagi


Dari cuplikan diatas, sangat menunjukkan emosional siswa yang ditekankan lewat tulisan bahwa mereka sangat menyayangi guru mereka. Seorang filosof Prancis berkata “jika kau mencintai seseorang, maka rasa sakit, kecewa, dan bahagia juga akan ikut didalamnya”. Begitu juga dengan murid-muridku, mereka menuliskan rasa sayangnya melalui dualisme sikap, mendukung dan mengkritik karena itulah bagian dari pembelajaran. Terimakasih murid-muridku.