One Mistake Like Thousand !

♠ Posted by Aryni Ayu in
Satu Kesalahan=Seribu Kesalahan



Ah, memangnya dimana letak kesalahan bisa ditambahkan jika tidak di mulut manusia? Yang salah kecil menjadi tambah salah, yang sudah salah besar bisa menjadi benar! Benarkah ini pertanda jaman edan?

“Tidak ada manusia yang sempurna, dewa pun juga bisa salah”, ungkap Ares, sang dewa Perang Yunani. Setiap mahluk insani, tidak pernah barang secacat pun tidak berbuat kesalahan. Manusia diciptakan memang untuk berbuat kebenaran juga kesalahan. Baik diingini atau tudak, manusia yang ingin sukses harus mau dulu dicekal kesalahan. Meski itu terkadang membuat hati tak berdaya, hati terluka, manusia pun tak berhenti melakukan kesalahan dan mensalahi manusia yang lain. Apalagi di Jaman Edan ini (menurut Serat Centhini Majapahit), barang siapa tak melakukan salah, bisa disalahkan, benar kan?
            Di suatu musim dingin, seorang mahasiswa sedang melakukan tugas ujian akhirnya. Dilihat sederet biografi yang ia miliki, mahasiswa ini berprestasi, keras kepala, susah diatur, namun tak pernah melakukan curang kepada siapapun, apalagi kepada mahadewa guru. Pernah dirinya memberikan contekan kepada beberapa mahasiswa hanya sekedar untuk mengajari bahan yang akan dibuat untuk ujian matakuliah. Tetapi kabar itu bocor, sang mahadewa guru marah dan menyuruh semua anak didiknya di kelas itu untuk mengaku, jika tidak, ujian tidak akan dilaksanakan. Detik berlalu, kelas hening, teman-temannya yang ikut melakukan curang juga diam dalam kesalahan. Tapi sang mahasiswa berdiri, dan mengaku di depan kelas bahwa dirinya melakukan kesalahan. Dialah yang mengajari beberapa mahasiswa lainnya. “Maafkaan saya, telah bersalah, saya siap dihukum apapun!”. Kelas semakin senyap, mereka berdecak kaget bercampur kagum. Mana ada maling yang mengaku? Untung sang Mahadewa Guru bersifat objektif, sehingga tetap memberikan nilai ‘A’ kepada sang mahasiswa, karena sifatnya yang kesatria.
            Tetapi kali ini lain, tugas akhir yang ia lakoni harus segera selesai. Seperti biasa, sifat ambisiusnya selalu muncul setiap kali dia menemukan ‘berkah’ atau ‘tugas’ yang harus diselesaikan. Berlari kesana kemari untuk mencari sumber-sumber tepat, narasumber yang baik, dan tekanan dari beberapa Mahadewa Guru, membuatnya harus segera mengakhiri tugas tersebut. Di tengah perjalanan, tugasnya mulai selesai lima puluh persen. Namun disaat yang sama, sang mahasiswa mendapat tawaran pekerjaan dari dua agency. Satu dari bidang pendidikan dan satu lagi bidang jurnalistik, dua hal yang sangat dia senangi. Bekerjalah ia di bidang pendidikan, sebagai seorang tentor dan pendidik. Dua pekerjaan sekaligus harus ia lakoni, belum lagi tugas akhirnya. Ya, itu sangat menguras tenaga dan bisa saja menghasilkan kesalahan.
            Benar saja, di musim dingin berikutnya, sang mahasiswa melakukan kesalahan. Mungkin fatal bagi beberapa orang. Ya, memalsukan tanda tangan seorang pegawai administrasi, agar ujian akhirnya segera dilaksanakan. Semua orang lalu mulai membicarakannya! Baik di dunianya sebagai mahasiswa, maupun di tempatnya bekerja. Banyak mulut berbicara tidak sesuai dengan fakta. Banyak mulut mencibir kepribadian sang mahasiswa. Dan banyak mulut menjadi berbusa karena membesar-besarkan kesalahan. Belum lagi fitnah yang diterima dari koleganya untuk menjatuhkan sang mahasiswa. Ah, memangnya dimana letak kesalahan bisa ditambahkan jika tidak di mulut manusia? Yang salah menjadi tambah salah, yang sudah salah besar bisa menjadi benar! Benarkah ini pertanda jaman edan?
            Sebagai akibat, dirinya harus memformat ulang ujian yang telah dijalani. Tidak pernah sepintas pun terpikir olehnya bahwa tiga hal sekaligus tidak bisa dicapai secara bersama-sama. Hanya satu kesalahan, namun karena tingkah polah manusia, bisa berubah menjadi seribu kesalahan. Dirinya juga tak pernah menduga jika sang Mahadewa-Mahadewa guru yang dulu sering memujinya, kini berbalik membecinya, bahkan memberinya prasangka yang tak pernah dia buat. “kamu adalah orang yang tidak bisa dipercaya, jika menjadi orang besar kamu akan melakukan korupsi, itu terlihat dari rona wajah kamu yang penuh kerakusan!”, begitulah sang mahadewa guru menguncang sang mahasiswa.
Memang, mahasiswa tersebut melakukan satu kesalahan fatal, bahkan berkat tambahan mulut manusia diatas kesalahannya, kini dia harus dituduh melakukan banyak kesalahan. Dari soal naskah ujian yang dicap tidak bagus, pasti dipalsukan data-datanya, dan segudang hujatan lainnya. Sang mahasiswa hanya bisa terdiam mendengar dan melihat kerja kerasnya selama ini tidak dihargai. Dirinya selalu berkata pada dirinya sendiri, “Aku bukan narapidana yang layak kalian injak, aku bukan pencuri uang, dan aku tidak peduli meski kalian malas melihatku, suatu hari akan datang seorang pembesar kepada kalian yang pernah kalian injak-injak, yaitu Aku! Terimakasih Anda-Anda telah mendidikku menjadi seorang petarung yang siap bertarung demi kemajuan!"
Bukankah menjadi seorang tokoh haruslah mau dihujat dan dihujani berbagai cobaan dan rintangan? Karena dengan cambuk, seseorang bisa berlari cepat menuju cita-citanya. Seorang Einstein pun juga begitu!



Ukiran diatas Kertas, dari Muridku!

♠ Posted by Aryni Ayu in

Masyarakat berpendidikan akan lebih mudah diatur, karena pendidikan adalah biangnya kemajuan. Dan guru adalah kuncinya

            Mungkin anda pernah mendengar ungkapan Confusius yang berbunyi “jika kau akan tinggal disuatu tempat untuk selamanya, ingin maju bersama dengan budayanya, maka mulailah mendidik manusianya”. Ungkapan Confusius mengisyaratkan bahwa pendidikan bukanlah hal untuk disepelekan, tetapi masa depan bagi semua umat manusia. Lihatlah Restorasi Meiji-nya Jepang yang hanya membutuhkan waktu 50 tahun untuk bisa menjadi negara maju dengan cara mengadaptasi segala ilmu dari Barat. Declaration of Independent Amerika di tahun 1776, berhasil menorehkan demokrasi modern pertama didunia berkat bidang pendidikan yang dijunjung tinggi oleh para pemikir dan guru-guru disana. Dan Indonesia, yang baru-baru ini berusaha mengangkat derajat para pendidik untuk kemajuan bangsa, apalagi yang tidak penting dari pendidikan?
            Hal paling penting yang harus dimiliki seorang pendidik adalah hati dan pikiran, mencakup kemampuan akademis bernama Intellegency Quentation, serta kemampuan emosional bernama Emotional Intellegency. Karena menurut Goleman (1980), kemampuan emosional dibarengi dengan kemampuan akademis, akan membuat seorang  pendidik bersemangat dalam mengolah keterampilan yang dimilikinya, baik itu keterampilan logika, nalar, maupun jiwa. Dari sinilah anak-anak bangsa tidak akan lagi mengenal kata “bodoh” yang mungkin akan dilontarkan oleh lingkungan sosialnya di kala dirinya melakukan kesalahan.
Bayangkan apabila guru hanya mengajar dengan kemampuan pikirnya saja tanpa menggunakan hati, atau hanya masuk dan keluar kelas hanya untuk memberi tugas tanpa komunikasi. Dapat dijamin anak-anak didikannya hanya kenal kata-kata “ya, tidak, benar, dan salah” seperti robot, tanpa tahu makna dari pembelajaran yang pernah dipelajarinya. Tentu, sebagai jabatan profesional yang tak kenal lelah untuk mendidik para generasi bangsa guru dituntut untuk senantiasa menyajikan pembelajaran menarik. Meskipun terkadang harus berbingung massal dengan terbitnya kurikulum yang selalu berganti-ganti rupa, tetapi tidak boleh ada kata “menyerah” dari hati seorang guru.
            Tugas kita sekarang adalah, berusaha mendengarkan apa yang ‘diingini’ dan ‘dibutuhkan’ oleh anak didik agar mereka bersedia mematrikan cita-citanya melalui pendidikan. Bukan menjadi teman mereka, tetapi berusaha menjadi teman bagi mereka tanpa meninggalkan profesionalisme. Kelak, ini penting bagi perjalanan karir seorang guru. Salah satu cara yang biasa dilakukan kebanyakan para pendidik adalah membagikan kertas kosong kepada murid, apalgi jika bukan untuk diisi berbagai kritik, saran, kesan, dan pesan. Tidak peduli bagaimana hasilnya, hal itu dapat menjadi evaluasi sosial yang membentuk komunikasi antara guru dan murid sehingga hasil pembelajaran bersifat demokratis dan profesional. Bukankah ini esensi dari pendidikan yang sebenarnya?
            Beberapa hari ini, penulis pun melakukan hal serupa, yakni berusaha menilai pembelajaran bukan dari diri sendiri tapi dari pandangan para peserta didik, berikut cuplikannya :


  
Kelebihan :
  • -          Cara mengajar sudah menarik dan materi mampu diterima oleh siswa
  • -          Banyak motivasi
  • -          Tidak monotun, lucu
  • -          Santai tapi serius
  • -          Nilai tidak pelit
  • -          Teliti

Kelemahan :
  • -          Ketegasan perlu ditambah dosisnya
  • Perhatian pada semua siswa
  • -          Jangan suka mencubit (hahaha)
  • -          Lebih sabar lagi


Dari cuplikan diatas, sangat menunjukkan emosional siswa yang ditekankan lewat tulisan bahwa mereka sangat menyayangi guru mereka. Seorang filosof Prancis berkata “jika kau mencintai seseorang, maka rasa sakit, kecewa, dan bahagia juga akan ikut didalamnya”. Begitu juga dengan murid-muridku, mereka menuliskan rasa sayangnya melalui dualisme sikap, mendukung dan mengkritik karena itulah bagian dari pembelajaran. Terimakasih murid-muridku.