♠ Posted by Aryni Ayu in Human
Menjadi
orang lain, bukan jawaban atas kebahagiaan. Tetapi menjadi diri sendiri adalah
hal yang patut diperjuangkan, apapun bidangnya, kita semua sama, manusia!
Menjadi
seorang wanita sukses, cerdas, dan kepribadian tentu menjadi dambaan setiap
insan. Siapa yang tidak ingin dipuji, diagungkan, dan namanya selalu
diperbicangkan oleh semua orang? Tentu hampir semua mengimpikannya. Jika orang
tua sebagai orang terdekat kita terkadang tidak bosan-bosannya memberi wejangan
bahwa kita harus sukses, tidak peduli apa yang menjadi keinginan kita. Terkadang,
disitulah nilai dari seorang manusia mulai hilang, digantikan oleh seorang
robot. Yang akan selalu berusaha menyenangkan orang lain, menuruti perintah
bahkan jika perintah itu menghilangkan identitasnya sama sekali.
Tidak
ada yang salah memang tentang keinginan tiap-tiap orang untuk sukses. Di dalam
ajaran agama pun diajarkan agar seseorang memiliki kemampuan rohani dan
intelektualitas yang seimbang. Dalam ilmu psikologis, manusia selaku insani
memiliki delapan kecerdasan yang masing-masing tidak sama antar satu dengan
lainnya. Maka, manusia dituntut untuk mampu menghadapi berbagai tantangan, dan
terus maju kearah kesempurnaan. Tentu hal tersebut harus didukung oleh para
rekan terdekat seorang manusia. Tetapi, sangat jarang orang tua ataupun orang
terdekat kita yang mengajarkan tentang pentingnya menjadi diri sendiri. Bagaimana
mengolah keterampilan diri dengan tanpa dan harus menjadi orang lain. Bukankah manusia
adalah mahluk nyata, berperasaan, logis, juga cerdas? Jadi untuk apa menjadi
bayangan orang lain?
Bahkan
anak kembar berfisik sama, tak pernah memiliki tingkah, pola, dan pemikiran
yang sama. Hari ini, seorang ibu dari seorang temanku ‘Stephani’ sedang
bercerita tentang betapa suksesnya anak rekannya yang menjadi seorang
pramugari. Dia seorang wanita 24 tahun dengan pacar yang selalu berganti-ganti,
dari dokter, manajer hotel, sampai direktur sebuah perusahaan. “Ibu sangat
bangga nak dia mampu membiayai biaya umroh untuk kedua orang tuanya, tabungannya
150 juta”, ujar ibunya pada Stephani. Bla..bla...bla, begitulah Stephani
mendengar ibunya berbicara, yag sejak duduk di bangku sekolah dasar selalu
membicarakan kehebatan anak orang lain. Dia tahu bahwa dirinya bukanlah
seseorang yang bisa menyamai kehidupan anak dari rekan ibunya. Karena Stephani
bukan orang yang sama, memiliki kehidupan sama seperti orang lain, atau mencoba
melakukan imitasi berlebihan sampai merugikan dirinya sendiri hanya untuk menuruti
gengsi.
Mungkin tidak hanya Steph saja yang
mengalami hal seperti ini. Di berbagai belahan dunia lainnya, seseorang begitu
menderita karena mencoba menjadi bayangan orang lain. Bagi Steph, pekerjaannya sebagai
pengajar sudah membuat dirinya bahagia, meski harus perlu perjuangan panjang. Menjadi
orang lain, bukan jawaban atas kebahagiaan. Tetapi menjadi diri sendiri adalah
hal yang patut diperjuangkan, apapun bidangnya, kita semua sama, manusia!