♠ Posted by Aryni Ayu in PROSA at 08.33
Titik Jenuh
Saturday, 9 March 2013
Aku aku dan aku. Aku kenal siapa
diriku yang dulu, Aryni. Seorang yang keras, berani, kreatif, ambisius, dan cepat
bertindak untuk menghadapi segala isi dunia. Terbiasa mengelola kebosanan, menjadi
sebuah pekerjaan. Seorang pemimpin yang sering memimpin kehidupan orang. Selongsong
semangat yang tak pernah habis oleh rapuhnya jaman selalu ada di setiap
gerakku. Hingga, diri ini banyak dijadikan tolak ukur sekaligus musuh bagi
banyak orang. Toh, orang cerdas mana yang tak punya musuh? Jika kau tidak punya
musuh, artinya kau tidak berkompeten.
Aku ingat detik – detik disaat orang
meminta beberapa kesibukan dariku, untuk sekedar mengurangi rasa bosan yang tak
pernah kualami. Aku juga tak pernah lupa, kalau – kalau selalu maju untuk
menghadapi orang tak punya moralitas. Dari perdebatan yang dilakukan terhadapku
oleh seorang lektor untuk membela mahasiswa kesayangannya. Mengambil resiko
besar untuk mencintai orang yang salah. Dan berani menentang aktivis gila yang
membikin kekacauan di sebuah organisasi pers. Kemudian. Menghakimi beberapa
orang yang berusaha menjatuhkanku saat aku memimpin mereka di sebuah organisasi
sekolah. Bisa kau duga, orang lebih banyak memusuhiku. Ya, itulah diriku yang
dulu, taking risk!
Ironis, akhir – akhir ini seakan
mengalami penghabisan. Kau tahu, meski hari selalu melewati tiap detiknya, aku
merasa tetap berada di tempat. Lingkungan sekitar yang dulu lima langkah jauh
dibelakangku, kini mulai berjalan cepat. Jika sebelum itu orang terbiasa
menggunakanku sebagai tempat mengadu, kini giliranku yang mengadu. Kebodohan
tampaknya mulai menjajaki kehidupanku. Menggerogoti seni – seni kecerdasan yang
ada dalam tubuhku. Rasa – rasanya, aku sudah tak mau tahu lagi berurusan dengan
birokrasi rumit, sekedar menentang orang yang berbeda dengan kemauanku. Tugas
akhir yang aku ajukan sejak 30 agustus tahun lalu, belum juga menemui titik
prestasinya. Kemana jiwaku pergi? Sungguh, rasanya aku tak kenal diriku
sendiri. Apakah aku sedang berada di titik jenuh atau sedang ingin beristirahat
dan bersenang – senang disaat orang lain sedang serius mengejar cita - citanya?
Kau tahu betapa menderitanya hal ini?
Waktu dimana kau merasa dibuang, malas, dan berjalan di tempat. Titik jenuh,
rasanya, dari sekedar mendapat cercaan dari dunia, lebih dari pengemis yang
berjalan setengah hari mengitari kampus dan hanya mendapat recehan se sen dua
sen, belum lagi olok – olok orang dalam hati, rasanya, kejenuhan melebihi
segalanya..
Tuhan, kumohon, lenyapkan titik jenuh
ini. Agar diriku menjadi berguna lagi seperti dulu...
0 komentar:
Posting Komentar