Niezya’s Dyri, 31 Desember 2011 (Catatan Hati seorang Aryni Ayu)

♠ Posted by Aryni Ayu in
Kisah Akhir Tahun, sebuah Teriakan Dariku

Aku terus berusaha mencari cara untuk bisa membuat hidupnya lebih baik lagi. Tapi ketika orang yang benar – benar ingin aku anggap ‘baik’ itu ingin pergi dariku, aku hanya berharap aku bisa kembali ke jalanku. Aku hanya bisa terisak – isak di depannya. Menghapus air mata yang tak pernah surut. Hari itu aku benar – benar trauma.

Dear Diari,
Sebuah teriakan keras dari mobil – mobil sibuk, lengkingan sepeda motor yang berdecit, dan wajah – wajah penuh histeris mengelilingiku. Mereka berusaha memanggil – manggil namaku dengan sebutan A, B, C, D. “Nak…adek kecil..ndok, ayo bangun, kamu sudah aman…” Badanku serasa sakit sekali, barang – barangku berserakan menghiasi jalanan, untung warna darah yang merah itu tak terlihat.

Ada yang berkejar – kejaran sambil berteriak “kembalikan handphone anak itu…” Seakan aku masih linglung dan terlelap. Benarkah aku masih ada di atas daratan ataukah Tuhan telah memanggilku untuk menghadap? Seingatku, aku berjalan sambil menggumamkan secarik doa “Tuhan, tolong jatuhkan aku, supaya aku tak bisa melihatnya lagi..”

Kemarin, benda beraspal itu dipenuhi oleh rintik – rintik hujan. Benda – benda besi pun ikut kalang kabut menyambut hadirnya hujan. Namun hal itu tak berlaku bagiku. Rasanya, guyuran air dari indera pengelihatanku jauh lebih menyakitkan. Entah apa yang terjadi, aku terus berpikir dan berpikir, layaknya Socrates yang diperintahkan untuk meminum racun saat harus membela panji kebenaran. Aku lebih memilih menjadi dirinya. Ketika cinta lebih rasional daripada kebenaran, aku sakit.
Ku terus berpikir. Apakah aku ini benar – benar manusia yang hina?seakan harus mengorbanan segalanya, termasuk logikaku. Seakan dunia ini memutarku terbalik. Selama ini aku selalu berada dalam posisi menang. Tak pernah sekalipun aku berada dalam posisi ‘angkat topi’ sambil membawa ‘bendera putih’ di depan orang yang aku anggap sebagai ‘kekasih’. Nyanyian ngeri itu terus menggenangi pikiranku. Berjalan seakan tanpa arah, sakit, dan pilu rasanya tak pernah setajam ini. Tuhan, aku tak pernah berharap untuk melarikan diri darimu. Tapi cinta seakan – akan membuatku lupa. Apakah tuhan masih ada?

Seakan ada ruangan besar dalam hatiku. Di sana, ada malaikat – malaikat merah dan putih yang sedang bersidang. Berusaha memutuskan apakah orang berjenis kelamin pria itu pantas mendampingiku? Sidang ini telah dimulai sejak pertama kali aku menerimanya, sebagai pelengkap serpihan hatiku. Berulang kali kupanjatkan doa dan tahajudku untuk Tuhan, sembari mencari – cari jawaban apakah dia benar – benar orang yang baik?
Jauh didalam lubuk hatiku, Tuhan ternyata memberikan jawaban YA. Dengan satu syarat, tujuan utamaku memberinya hati untuk berbagi adalah demi kebenaran. “Cintailah dia dengan syarat, perbaiki hidupnya”. Aku terbangun dari mimpi, rasa kagetku memuncak. Sungguh ini menjadi tantangan terberat buatku.

Sebenarnya, banyak partner yang mendekatiku. Dari fotografer, pengusaha, penulis, bahkan satu dua sarjana yang baru saja lulus dan bekerja di sebuah perusahaan, tak berhenti berlalu lalang untuk mendapatkan cintaku. Sayang hatiku masih tertutup, masih ada tujuan yang belum ku capai, dan karena aku telah berjanji pada Tuhan.

Janjiku mulai berjalan. Telah berpuluh – puluh kali bagiku untuk mencoba membuatnya bangkit. Sekedar beristirahat sebentar dari sikap ke-apatis-annya. Melipat sekecil mungkin kelemahan, dan menggandakan sebanyak mungkin kelebihan yang aku miliki, hanya demi kebaikan. Sungguh tak pernah terpikir olehku untuk membuatnya terluka, bahkan berteriak – teriak, membuang segala amarahku didepannya, sungguh ini tak semuanya buruk. Mungkin dalam hati kecilnya berkata, satu kelemahanku berpotensi besar untuk menghancurkan hidupnya. Mungkin dirinya begitu trauma melihat caraku meluapkan emosi. Ya, inilah kelemahanku yang diberikan oleh Tuhan. Aku berusaha melipatnya sekecil mungkin, tapi maaf jika emosi itu akhirnya meledak.

Tangisan, ratapan, dan frustasi, tak jarang menemaniku. Aku berusaha mencari cara lagi untuk bisa membuat hidupnya lebih baik lagi. Tapi ketika orang yang benar – benar ingin aku anggap ‘baik’ itu ingin pergi dariku, aku hanya berharap aku bisa kembali ke jalanku. Aku hanya bisa terisak – isak di depannya. Menghapus air mata yang tak pernah surut. Hari itu aku benar – benar trauma.

Memang tak mudah menjadi sebuah pohon kelapa yang tinggi dan siap diombang – ambing oleh angin, daripada harus menjadi rumput yang siap diinjak – injak kapan dan oleh siapapun. Walau sakit, sedih, bahkan tak tahu akan jadi apa dirinya nanti? Aku merasa tanggung jawabku harus berhenti sampai disini. Aku ingat kalau aku masih punya Tuhan, yang tak pernah lelah memberiku tugas – tugas yang lebih mulia lagi.

Seketika itu juga aku terbangun. Wajah – wajah misterius masih saja menatapku dengan rasa iba. “bagaimana keadaanmu ndok, sudah baikkan? Namamu siapa? Barang – barangmu sudah kami ambil di tengah jalan tadi.” Sungguh aku baru teringat jika aku terjatuh di jalanan dan terlempar begitu saja di atas aspal, saat pikiranku sedang tak sehat. Saat kebenaran harus terkalahkan oleh cinta…..

Kisah Liberalisme

♠ Posted by Aryni Ayu in

Seandainya Karl Marx masih hidup, mungkin dirinya akan mengirimkan pesan singkat kepada Presiden Obama, “Sungguh tak pernah terpikir olehku bahwa ramalan – ramalanku akan meleset tepat di pertengahan abad – 20. Kaulah yang kini harus bertanggung jawab atas banyak kehancuran di Timur Tengah”.

Pendahuluan
Pada akhirnya, sejarah akan dikuasai oleh pihak – pihak yang menang. Pihak yang kalah akan hancur, dan tak tahu kapan dirinya harus bangkit lagi. Ya, seperti itulah isme – isme dewasa ini. Mungkin tak pernah terpikir oleh Karl Marx, Lenin, ataupun Hitler bahwa pada suatu hari cita – citanya akan hancur, dan tak pernah lagi hidup hingga kini. Dengung – dengung isme – isme yang mereka pidatokan di depan umat manusia nyatanya hanya bertahan di abad – 19 hingga abad – 20, sisanya hanyalah kebebasan yang sanggup menjadi merajai dunia. Bahkan Patung Liberty yang ada di Amerika pun kini bisa tersenyum kian lebar saat tahu bahwa negaranya adalah pemenang dari persaingan ketat isme – isme dunia. Seandainya Karl Marx masih hidup, mungkin dirinya akan mengirimkan pesan singkat kepada Presiden Obama, “Sungguh tak pernah terpikir olehku bahwa ramalan – ramalanku akan meleset tepat di pertengahan abad – 20. Kaulah yang kini harus bertanggung jawab atas banyak kehancuran di Timur Tengah”.

Di Timur, Barat tetap berkuasa. Liberalisme tua yang dulu hanya berprinsip pada kebebasan, semata – mata hanya untuk melepaskan diri dari kekuasaan gereja, kini Liberalisme modern berubah menjadi penguasa dunia. Bahkan CIA harus menanggung malu yang luar biasa saat salah satu dokumennya mengalami kebocoran di sebuah situs bernama wikileaks. Sebuah situs yang menyajikan berbagai macam kebobrokan para pemimpin dunia beserta anak asuhnya.

Di dalam dokumen tersebut kalimat pertama tertulis “..no freedom, independent, and glory for the third world. Like a sh*t when we look at you to be a first world..”. Dapat diartikan bahwa hanya sebuah buaian yang menjijikan ketika negara – negara di dunia ketiga (negara – negara berkembang termasuk Indonesia harus melesat hebat sejajar dengan negara – negara maju. Jika sudah begini, lalu apa yang harus diperbuat para sejarawan beserta politikus kita? Haruskah negara – negara itu tetap duduk dalam lingkaran besar persaingan para kapitalis, atau bagaimana jika isme – isme yang lain turut bangkit kembali untuk membendung mereka (kaum kapitalis)?

Latar Belakang
Gagasan liberalisme tak ubahnya sebagai reaksi atas trauma yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Berawal dari gerakan liberalisme pimpinan kaum borjuis di Inggris saat pemerintahan Ratu Victoria. Di Romawi bahkan Martin Luther mengeluarkan kritikan tajamnya kepada pihak gereja, semacam Reformasi Gereja, hingga akhirnya berpengaruh terhadap negara – negara di Eropa, dan Amerika.

Latar Keagamaan
Sekali lagi, tumbuh – kembang liberalism untuk pertama kalinya terjadi akibat kesewenang – wenangan kaum gereja. Ajaran Kristen yang saat itu mengalir begitu derasnya dalam jati diri masyarakat, tiba – tiba harus disambut penuh dengan ke-skeptisan dan kekecewaan. Raja yang dulunya di saat Romawi masih berjaya dirasa sangat adil untuk bisa memberikan kebebasan kepada rakyatnya baik dalam hal berbudaya, seni, pengetahuan, ataupun di bidang keagaaman, kini berbanding terbalik. Raja justru memproklamirkan bahwa dirinya adalah utusan perwakilan Tuhan (son of God), para pejabat gereja memiliki hak istimewa sama halnya dengan para bangsawan, undang – undang dasar yang dulunya dibuat berdasar kesepakatan rakyat, berubah menjadi undang – undang dasar gereja, serta gereja yang seharusnya hanya sebatas keagamaan justru memiliki prajurit layaknya kerajaan. Ditambah lagi, surat pengakuan dosa yang dijual secara serampangan kepada masyarakat menggambarkan betapa penyimpangan besar para kaum gereja. Tak seharusnya lembaga keagamaan yang ada berkembang menjadi sebuah kerajaan sesat bagi rakyatnya. Semua fakta tersebut kemudin menjadi trauma sejarah bagi kebanyakan bangsa Eropa, bahkan seorang Prancis berkata bahwa agar dapat menjalankan kebebasan selayaknya manusia, hendaknya harus membuang pemikiran agama jauh – jauh dari kehidupan manusia. Maka jangan heran jika hingga hari ini gereja – gereja di daratan Eropa dan Amerika hanya dihuni saat ada acara seremonial saja, sisanya akan tampak sepi.

Latar social – ekonomi – politik
Untuk latar social – ekonomi – politik, hal ini memang sengaja digabungkan karena memang tak gampang memilahnya satu per satu dari suatu kejadian sejarah yang saling berhubungan. Kita mulai dari latar politik terlebih dahulu, saat pemerintahan Romawi memutuskan untuk memberi hak – hak istimewa pada kaum gereja dan para bangsawan. Berupa penguasaan terhadap tanah, serta hak untuk mengeluarkan suatu undang – undang, dan gereja diijinkan untuk membuat suatu institusi bernama “inkuisisi” yang didalamnya terdapat paus sebagai raja, pangeran, pejabat – pejabat, serta para prajurit, inilah awal dari kegelapan bangsa Eropa. Secara social – ekonomi, masyarakat Eropa saat itu sebagian masih berkiblat pada system perekonomian agraris, belum ada kemajuan sedikitpun mengenai perkembangan tekhnologi. Mereka pun masih cenderung dipekerjakan sebagai buruh oleh para penguasa tanah (feodal), termasuk para pejabat gereja. Barang siapa yang berbeda dengan gereja maka mereka akan dihukum. Maka dapat disimpulkan, rakyat memberikan rumah untuk para penguasa, dan rakyat mendapatkan gubuk dari penguasa.

Latar Iptek
IPTEK mulai berkembang di abad – 17 – 18, dari sinilah kekuasaan mutlak kaum gereja mulai di skeptiskan. Segala putusan, undang – undang dasar yang didasarkan pada bibble (kitab suci) perlu dibuktikan berdasarkan metoda ilmiah, dan empiris.

Perkembangan
Liberalisme berasal dari kata liber yang artinya kebebasan, dan isme merupakan suatu ideologi. Setelah melalui beberapa latar belakang, akhirnya seorang Marthin Luther memutuskan untuk melakukan koreksi gereja, dirinya mengeluarkan sebuah tulisan berisi kritikan pedas bagi para kaum gereja. Dan dari sinilah tsunami kebebasan mulai mendapatkan angin segar. Koreksi gereja yang dilakukan Martin Luther memberi keberanian para kaum borjuis (kaum kelas tengah) dari beberapa negara untuk maju melawan keabsolutan seorang raja dan otoriter berlebihan sebuah gereja. Sebut saja John Locke dari Prancis dengan pemikiran demokrasinya, Immanuel kant dari Prusia dengan pemikiran besar Negara dan hukum, Thomas Jefferson yang berhasil membawa Amerika kearah kemerdekaan di tahun 1776, serta gerakan Liberalisme di Inggris tahun 1837—an di masa Ratu Victoria. Menjadi bukti bahwa besarnya pengaruh Liberalisme saat ideologi tersebut berusaha lahir dari rahim induknya, dan diperjuangkan atas dasar “kebebasan”. Liberalisme era klasik pun dimulai.

Banyaknya protes yang diajukan oleh rakyat dengan kaum borjuis sebagai pimpinannya, serta dibantu oleh Gerakan Renaissance yang kemudian berkembang pesat di Eropa membuat kekuasaan Gereja secara bertahap hancur. Kini, Liberalisme dengan asas – asas kebebasan dengan meliberalisasi tiga aspek kehidupan yakni agama, hukum, serta perekonomian mulai digalakkan. Kebebasan agama yang nantinya melahirkan sosok atheism, negara sekuler. Kebebasan hukum serta system pemerintahan yang menciptakan sebuah demokrasi untuk pertama kalinya secara modern dikembangkan di Amerika. Kebebasan ekonomi yang jelas menghasilkan sederet perekonomian Kapitalis yang nantinya juga terpecah - pecah dalam produk kapitalisme modern seperti neoliberalisme, serta Keynesian.

Pecahan dari liberalisme ini nantinya akan menorehkan sejarahnya sendiri – sendiri di berbagai negara abad 19 – 20 menggantikan imperialism kuno yang bersifat feodalistik. Di Inggris misalnya, Kapitalisme berkembang hebat, Demokrasi di Amerika yang benar – benar sudah dewasa di satu sisi, serta Turki dengan negara sekulernya sekali sebagai bentuk liberalisasi di bidang agama.

Bahkan di Indonesia pun tak ketinggalan, pengaruh Ideologi Liberalisme begitu besar mempengaruhi sejarah nasional. UUD’s 50 dengan wajah Indonesia yang sempat terbelah – belah menjadi negara federal tampaknya cukup menjadi bukti. Dua perang besar dunia nyatanya, juga membuktikan betapa pertarungan ideologi cukup kuat menancapkan hegemoninya, dan Liberalisme sebagai pemenang tunggal hingga hari ini.

Pendidikan Indonesia di Tengah Kepungan Besar Globalisme

♠ Posted by Aryni Ayu in

Masih berkeliaran tangan – tangan jahil yang siap menancapkan hedonismenya di dunia pendidikan Indonesia. Jadilah esensi pendidikan Indonesia yang carut marut.

Pendahuluan
Dunia semakin sempit. Tak seluas dulu saat Herodotus (seorang sejarawan barat) berhasil membuat peta dunia. Antara Timur dan Barat yang dulunya sangat berbeda, kini mulai terlihat sama. Pasar internasional sudah mulai bebas, informatika telah mengalami kecanggihan tinggi di berbagai aspek, sehingga tak ada sekat tebal sedikit pun yang mampu menutupi kehidupan dibalik dinding besar negara – negara di berbagai belahan dunia. Saat keadaan mulai mengglobal, manusia dituntut untuk serba bisa, serba cerdas. Negara – negara yang dulunya sempat menjadi korban isme – isme dunia, hingga hari ini pun terus – menerus menyempurnakan ideologi Liberal mereka. Kapitalistik telah menjadi zaman popular. Inilah globalisme, yang kini begitu nyata di hadapan dunia, membuat penghuninya begitu memantapkan diri untuk berubah kearah kemajuan di berbagai aspek kehidupan. Negara - negara di Timur dan Barat telah banyak menyelenggarakan kerjasama internasional menyangkut hampir semua aspek. Dari perekonomian, hukum, perdagangan, kesehatan, terutama pendidikan cukuo menjadi perhatian besar para elit dunia.
Tentunya mereka yang terlibat dalam kerjasama ini harus memiliki nilai tawar (bargaining position). Begitupun Indonesia. Tak mungkin para investor berani menanamkan sahamnya secara besar – besaran, sedangkan hanya segelintir orang Indonesia yang siap menerima berbagai profit dan resiko dari penanaman saham – saham tersebut. Apalagi di bidang pendidikan, mutlaknya menjadi tonggak dan benang merah dari kemajuan bangsa realitanya masih diterapkan tak sesuai dengan esensinya. Masih berkeliaran tangan – tangan jahil yang siap menancapkan hedonismenya di dunia pendidikan Indonesia. Jadilah esensi pendidikan Indonesia yang carut marut.

Problematika
Esensi pendidikan Indonesia di tengah kepungan besar Globalisme adalah mempersiapkan anak didik sesuai dengan tuntutan zaman. Anak didik bermental baja, cerdas, siap bersaing di hadapan negara – negara maju serta dilengkapi dengan tiang agama sebagai filter untuk menghadapi berbagai kebudayaan universal, kebudayaan asing nyatanya jauh dari adat – istiadat ketimuran bangsa Indonesia. Namun pada faktanya, esensi ini masih harus bercampur baur dengan kepentingan penguasa. Elit – elit politis yang menginginkan status quo (kekuasaan) cenderung mempergunakan pendidikan bukan sebagai cita – cita yang seharusnya dijunjung tinggi, melainkan hanya sebagai kedok dari kebrobokannya. Atas nama pendidikan, biaya APBN yang seharusnya 20% total dipergunakan untuk membiayai anggaran pendidikan bangsa, selalu dan selalu berliku – liku di kantong para koruptor.
Desentralisasi yang seharusnya bisa mendorong terlaksananya esensi pendidikan secara murni, hanya melahirkan raja – raja kecil yang gagap dan tak mampu menerima berbagai bentuk rupa globalisme. Alhasil, sarana – prasana pendidikan pun tak secara maksimal bisa dijangkau oleh rakyat. Menggambarkan ketidakbenaran dan ketidaksiapan secara maksimal untuk mempersiapkan esensi pendidikan di tengah kepungan besar globalisme. Inilah esensi pendidikan yang carut marut.

Rekomendasi
a.Pemerintah serta pihak – pihak penyelenggara pendidikan diharapkan tidak tambal sulam untuk mempersiapkan esensi pendidikan menghadapi kepungan besar globalisme
b.Perlu adanya kejujuran berbagai pihak menanggapi kebijakan dari pemerintah tentang pendidikan.
c.Moralitas anak didik yang tak boleh tertinggal.