Pilar-pilar Demokrasi Indonesia, masihkah?

♠ Posted by Aryni Ayu in
Masyarakat sadar bahwa kepentingan politik atau vested interest telah dicapai dengan menghalalkan segala cara; menabrak wilayah moralitas nilai. Pertumbuhan demokrasi sangat ditentukan oleh pilar-pilarnya; partai politik yang sehat, tegaknya hukum, adanya penghormatan terhadap keragaman dan kemajemukan masyarakat, dan adanya sistem pembagian kekuasaan yang saling mengontrol antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tak kalah penting ikut menentukan pertumbuhan demokrasi ke depan adalah dihormatinya hak asasi manusia dan adanya kemerdekaan setiap warga masyarakat untuk menyalurkan aspirasi politik dalam pemilihan umum dan proses-proses politik lain. Dalam praktik demokrasi, dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur -- kita sudah mengalami beberapa eksperimentasi. Yaitu Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Presidensial, dan Demokrasi Pancasila. Dari eksperimentasi demokratisasi itu, kini menggumpal tiga kesadaran masyarakat, terutama setelah melihat perbedaan antara janji dengan realisasi, idealisasi demokrasi anggota-anggota DPR dengan perilaku politik mereka. Kini pun jurang antara moralitas politik sebagai basis nilai tindak politis dengan politik uang makin dalam. Posisi-posisi strategis politis bisa mereka menangkan berkat uang, entah itu "uang gelap" atau "setengah gelap". Semua terlihat jelas karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkannya ke panggung cita-cita dan wujud pemerintahan bersih dari korupsi. Tiga kesadaran itu, pertama, masyarakat sadar bahwa politik tanpa moralitas sama saja dengan penghancuran bangsa dalam bernegara. Maka, pidato tentang cita-cita pun akan berbuah cibiran, ketidakpercayaan atau distrust. Masyarakat sadar bahwa kepentingan politik atau vested interest telah dicapai dengan menghalalkan segala cara; menabrak wilayah moralitas nilai. Nilai-nilai itu dimanipulasi dan dikhianati karena ingin memenangkan posisi-posisi kekuasaan, baik di politik, ekonomi, atau kebudayaan. Antara pidato dengan pelaksanaannya tidak menyentuh sama sekali dengan derita dan kesengsaraan masyarakat kecil. Kedua, kini ada kesadaran masyarakat untuk membuka tabir-tabir selubung kepentingan antara kelompok-kelompok parpol dengan cendekiawan, dengan mencarikan solusinya. Perbedaan kepentingan di antara berbagai kelompok itu harus dicarikan titik temunya. Bagi DPR, muaranya adalah kepentingan konstituen. Intinya; rakyat butuh pangan, rakyat tidak ingin perutnya lapar. Karena itu, rakyat butuh pekerjaan. Kesadaran ketiga adalah kedewasaan para pecinta Republik ini untuk merangkum refleksi perjalanan pilar-pilar demokrasi. Etos politik generasi 1908 dan generasi 1928 jelas-jelas menjadi contoh kesaksian sejarah bangsa ini bahwa politik tanpa moralitas adalah praktik hukum rimba. Kini pilar-pilar demokrasi kita sedang redup dan mendung. Meski demikian, masih tetap ada jalan terang untuk demokratisasi di Indonesia!

Entah : (Aku) Estafet – lah Wanita Modern!

♠ Posted by Aryni Ayu in
Entahlah bagaimana pemikiran wanita – wanita sebayaku sekitarku, yang aku tahu merdeka. Tapi katrok! Orangnya modern memang, tampilannya. Tahu lah isi otaknya(?), jangan kalah sama tahu isi! Lama tidak menulis, entah seperti apa rasanya. Dunia serasa berputar arah ke medan yang paling gelap. Jika kemarin hanya berputar – putar di angkringan politik, bertarung diantara sesama rekan intelektual, kini berada di pertautan kehidupan, antara dendam, melupakan seorang brengsek, mencari cinta membuang cinta dan menemukan seorang pangeran. Taulah apa itu hidup kini! Dulunya hanya seorang gadis bergelar preman, acak – acakan. Ditengah, melawan arus menjadi seorang pendiam, pura – pura lugu dan pura – pura anti social, demi kesempurnaan! Entahlah gadis seperti apa aku dulu, aku tak kenal. Aku yang kenal aku sekarang adalah sosok yang bebas, independen, cerdas, dan tak terlalu agamis. Entahlah bagaimana prosesnya, yang aku tahu, nilai – nilai agama terkadang sudah terlalu lamban, kolot, dan kuno. Ah, tapi aku tetap jadi diantara mereka, tetap menghormati mereka. Oh, untuk apa membahas ini, bikin kisruh! Tahu kan Indonesia itu seperti apa? (!) Yang paling dirasakan gadis penyuka Avril ini, justru kegundahannya! Gundah tujuan hidup, gundah arah, dan gundah lelaki. Masalahnya, tujuan yang dinamis itu sulit. Tak semudah dengan tujuan monotun. Bisa saja sewaktu – waktu tujuan kolot itu sampai duluan di garis finish, dan lagi – lagi, monotun tapi! Ah, aku bukan orang seperti ini pikirku. Aku lebih suka ada diantara banyak tujuan, banyak tantangan hidup, tapi aku takut disalip orang – orang yang punya tujuan monotun? Estafet makanya! Cepat! Lagi soal arah, aku rasa sudah pada kiblatnya, kearah kemajuan. Kemajuan wanita, kemajuan karir, kemajuan intelektual, bukan kemajuan rumah tangga, idih! Entahlah bagaimana pemikiran wanita – wanita sebayaku sekitarku, yang aku tahu merdeka. Tapi katrok! Orangnya modern memang, tampilannya. Tahu lah isi otaknya(?), jangan kalah sama tahu isi! Entah, yang kutulis hanyalah sepenggal murka, sepotong harapan, tanpa asa yang putus. Point ketiga, gundah lelaki, ya, aku memang selalu bodoh dalam hal ini. Bagaimana si persetan telah lama mengiang di pikiranku, dijiwaku, hingga tak kenal cinta. Tapi mulai sekian detik, persetan itu mulai hilang, digantikan percintaan. Oalah, ketawa ngakak! Mungkin sudah menemukan pangeran gadis ini, terimakasih cinta! (kata bang Afgan). Asal ingat aja, cinta tak boleh meruntuhkan modernitas wanita! Berentah – entah hingga mabuk. Inilah hidupku. Tanpa ‘entah’, tak bakal ada harapan, tak ada reka – reka, dan tak ada usaha. Melalui ‘entah’, ekspresi jiwa seakan tertahan sekian detik, lalu mengalir selamanya. Orang akan mulai menemukan mimpinya, tujuannya, arah hidupnya, dan cintanya. Larinya wanita modern, tak lain dan tak boleh diharamkan (selain Gaga) adalah estafet. Wanita harus berdaya menghadapi ini. Tak mudah memang memakai kata ‘entah’ untuk suatu idealisme, ditengah orang – orang berotak monotun, maka ESTAFET – lah wanita modern!
♠ Posted by Aryni Ayu
Ketegangan Baru China-Filipina : Upaya Indonesia
"Kemenangan China sangat berisiko mengundang kehadiran kembali pangkalan militer AS di Asia Tenggara" Setelah saling unjuk kapal di sekitar Kepulauan Spratly, China dan Filipina sama-sama menyatakan siap menyelesaikan sengketa wilayah itu secara damai, kini eskalasi malah meningkat dengan saling tuduh melanggar wilayah yang dipersengketakan (SM, 18/04/12). Apakah persoalan itu bisa mereka selesaikan dan kita bisa tenang? Sengketa wilayah Laut China Selatan itu melibatkan China, Taiwan, dan empat negara anggota ASEAN, yaitu Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Lokasi yang dipersengketakan berbatasan dengan wilayah Indonesia, yaitu di sekitar Kepulauan Natuna. Kenyataan itu membuat kita harus waspada. Bukan hanya karena empat saudara serumpun terlibat melainkan terlebih karena lokasi sengketa berbatasan dengan kita. Jika sampai terjadi konflik bersenjata, kita terkena imbasnya. Banyak kapal perang lalu-lalang yang mungkin juga masuk ke wilayah RI, dan berarti kedaulatan kita terganggu juga mengganggu kelancaran ekspor-impor. Belum lagi kerusakan lingkungan laut. Seandainya sengketa itu berakhir pun, Indonesia harus terus mewaspadai siapa pemilik wilayah itu. Jika pemenangnya Vietnam, Indonesia dan negara ASEAN tak perlu terlalu khawatir. Jika China menjadi pemenang maka Indonesia dan ASEAN harus siap menghadapi perubahan besar geopolitik dan geostrategi. Ada tiga negara mengklaim kepemilikan wilayah itu secara utuh, yaitu China, Taiwan, dan Vietnam, adapun Malaysia, Brunei, dan Filipina mengklaim sebagian. Dengan demikian yang kemungkinan menjadi pemenang penuh hanya China atau Vietnam. Kemenangan Vietnam tidak akan terlalu banyak mengubah peta wilayah. Lain halnya bila China, peta wilayah bisa berubah drastis, salah satunya China akan memiliki hak untuk disebut bagian dari negara Asia Tenggara. Di sini masa depan ASEAN dan terutama kepemimpinan Indonesia di dalamnya bisa menghadapi pesoalan serius. Eksistensi China secara permanen di wilayah ini tidak akan dibiarkan oleh negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat. Hal itu berkaitan dengan perebutan pengaruh global dan posisi strategis untuk mobilitas kekuatan militer. Dengan kata lain, kemenangan China berisiko mengundang kehadiran kembali pangkalan militer AS di Asia Tenggara. Artinya, cita-cita membangun perdamaian di wilayah ini akan sirna. Upaya Indonesia Indonesia memang tidak tinggal diam. Sebagai negara yang berprinsip bebas aktif dalam politik luar negerinya, sekaligus pemimpin informal ASEAN, Indonesia telah lama mengurai masalah tersebut. Sejak 1989 telah menjadi pemrakarsa, tuan rumah, dan pengelola pertemuan para pihak yang mengklaim wilayah itu. Selama 10 tahun kegiatan yang dikenal dengan sebutan diplomasi jalur dua itu dilaksanakan dengan dana dari Kanada. Ketika kontrak dengan Kanada berakhir, Deplu kita kesulitan mendapatkan sumber dana baru. Akhirnya sumber dana dan pengelolaan pertemuan itu diambil alih China. Akibatnya, Indonesia kehilangan legitimasi untuk terus melibatkan diri secara mendalam. Parahnya, kenyataan itu seolah-olah memberi kemenangan awal kepada China. Sejak semula mereka menolak pembahasan sengeketa Laut China Selatan pada level multilateral. Bahkan terhadap prakarsa Indonesia yang menyelenggarakan diplomasi jalur dua itu pun China kurang bisa menerima.