Intrik Politik Era Istanasentris

♠ Posted by Aryni Ayu in
Kini, cara tersebut tidak ditinggalkan begitu saja, bahkan dikembangkan lebih canggih melalui strukturisasi jabatan

14098790731048657797
Sangkakala era modern menandai dimulainya waktu hidup manusia untuk selalu rasional. Tidak sedikit anak muda jaman sekarang sudah mulai ‘lupa’ akan identitas bangsanya, juga pikun ketika ditanya sejarah bangsanya. Ketika kebesaran Majapahit dan Sriwijaya diceritakan kepada mereka, tak pelak seperti ‘dongengan’ masa kuno yang bisa menyebabkan kantuk. Hanya sedikit diantara anak muda, antusias mendengar berbagai kisah raja-raja yang dianggapnya terselubung. Padahal politik masa kini yang demikian rumit itu merupakan warisan dari raja-raja kuno, kepemimpinannya pun tak jauh beda, bahkan tanpa handphone, siaran teleisi, foto-foto terpajang di berbagai sudut kota pun, raja di masa kuno itu sanggup mengontrol daerah-daerah di Nusantara yang jauh ‘mblusuk’ sekalipun. Pergantian tahta yang menyebabkan pertumpahan darah dalam Perang Paregreg1, juga peninggalan ‘mereka’ di masa kini yang selalu mengorbankan banyak orang. Tak dipungkiri, intrik politik tak pernah surut dimakan jaman, apalagi kekuasaan selalu menggiurkan. Benarkah warisan politik di masa kini seluruhnya merupakan peninggalan di masa kuno? Lihatlah, karena sejarah selalu berbicara.
Sang Bhatara Kertajaya di singgasananya terlihat sangat lunglai, geram mendengar kepemimpinan Bhre Tunggul Ametung di Tumapel. Dirinya sebagai penguasa Daha sungguh tidak ingin disaingi, apalagi ada seseorang yang lebih sakti mulai menguasai rakyat. Warisan Maharaja Airlangga (raja Kahuripan) terdiri dari Daha dan Tumapel, dengan luas tepatnya dari Surabaya hingga Lumajang sekarang, harus seluruhnya menjadi kuasa Kertajaya. Wataknya yang serba keras dan sombong membuatnya berunding dengan para Dhyaksa2, Resi, dan para penasehat kerajaan untuk segera menyingkirkan Bhre Tunggul Ametung. Tidak hanya Kertanegara saja yang ingin menghabisi nyawa sang Tunggul Ametung, tetapi Ken Arok yang dulunya hanya seorang anak selir dan tinggal di hutan karena dibuang oleh kerajaan. Kini, dirinya pun ingin merebut Tumapel beserta istrinya Sang Tunggul Ametung, Ken Dedes. Konspirasi dimulai.
Ken Arok dengan lincahnya berkenalan dengan penguasa Tumapel, kemudian melirik Ken dedes yang menurut Kitab Pararaton diceritakan sangat cantik, gemulai, yang menarik hati Ken Arok. Ken dedes diperistrinya yang juga kemudian memperistri Ken Umang sebagai [2]selirnya nanti saat akan mendirikan kerajaan Singasari. Tidak ada yang mengetahui darimana asal Ken Umang. Tapi yang jelas, perempuan ini membantu Ken Arok untuk membunuh Sang Bhre Tunggul Ametung dengan keris Mpu Gandring. Tumapel pun tumbang dibawah kuasa Ken Arok. Begitupun Daha pimpinan Kertajaya, ikut dihabisi pula oleh Ken Arok yang nantinya dirombak menjadi Kerajaan Kadiri3. Demi kekuasaan, kesewenangan pun harus dilakukan, persis seperti yang dipesankan oleh Karl Marx.
Intrik-intrik seperti itu tidak saja terjadi di satu kerajaan, bahkan Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan penyatu nusantara kedua setelah Sriwijaya pun pernah melakukannya. Seperti saat Hayam Wuruk memberikan tanah lungguh kepada Mahapatih Gajdah Mada seluas wilayah Probolinggo, yang juga sebagai tempat tinggal terakhirnya, tidak lain bertujuan untuk mengusir Mahapatih Gadjah Mada dari singgasana Keraton Majapahit selepas perang Bubat. Disinyalir, mahapatih membuat kecewa Hayam Wuruk karena telah bersekongkol membunuh calon pengatinnya, yakni Dhyah Pitaloka, putri dari Prabu Siliwangi4. Intrik Politik kerajaan kuno yang terorganisir. Kini, cara tersebut tidak ditinggalkan begitu saja, bahkan dikembangkan lebih canggih melalui strukturisasi jabatan. Jabatan diberikan atau dicabut tergantung pada titah sang penguasa, atau pihak yang ingin berkuasa. Hingga para elit pun sudah mulai ‘pikun’ ingin membela rakyat atau pemimpin. Maka, belajar bijaklah dari Sejarah.


[1] Perang Paregreg, perang perebutan tahta antara keturunan Majapahit
2 Dhyaksa, pejabat hukum masa kerajaan
3 dalam Buku “Sejarah Kerajaan Singasari”, 2014
4 dalam Buku “Tafsir Kitab Negakretagama”, 2007

Opendeur Politiek 1870, Embrio Kapitalisme Nusantara.

♠ Posted by Aryni Ayu in

Jadilah Nusantara sebagai ladang kapitalisme besar-besaran, yang memeras tenaga rakyat secara habis, untuk hasilnya dinikmati para pemodal asing


            Kala itu masih jaman kalabendu, belum ada mbah google, instagram, atau kicauan burung ala twitter, tempat dimana manusia memfungsikan dirinya sebagai ratu atau pangeran dengan foto jepret sana-sini yang siap diekspos kapan saja. Jaman Kalabendu, atau jaman edan kata resi pandhita era tahun 18-an, yang digambarkan manusia penuh kesenangan ala duniawi tanpa pikir panjang lagi tentang keberadaan Tuhan. “Barang siapa tidak ikut edan, dia tidak akan dapat apa-apa!” salah satu isi dari serat Kalatidha karya Ranggawarsito. “Tanah Jawa diramalkan akan rusak kala ‘balung wesi’ sudah menghiasi sebagian besar kehidupan kaum inlander!”, begitu pula ramalan Jayabaya, sang Raja dari Kediri. Balung wesi digambarkan sebagai kehidupan yang mulai modern, permesinan dari kereta-kereta, otomobil kuno, dan pabrik-pabrik industri mulai didirikan menghiasi kehidupan tanah Jawa yang menandai dimulainya sifat-sifat manusia yang juga modern, tanpa komando dari Tuhan, tepat sejak tempo 1870. Disinilah pemiskinan besar-besaran terjadi sepanjang sejarah Nusantara, bahkan hingga waktu yang tidak ditentukan.
            Tahun 1850, kaum liberal tengah duduk di singgasana parlemen Eropa bersaing dengan kaum konservatif, semacam golongan tua dan golongan muda dalam versi Indonesia. Dua kaum ini sedang ‘bersendiko gusti’ memperjuangkan nasib negaranya yang konon sedang gencar menikmati Revolusi Perancis 1799. Sebuah revolusi yang mampu mengubah pemikiran orang-orang Eropa tentang betapa pentingnya mereka melepas penjajahan kuno, alias gold, glory, apalagi gospel (perluasan jajahan karena agama) dianggap sudah tidak penting lagi bagi mereka, karena Tuhan sudah dianggap tidak campur tangan dlama urusan politik. Apalagi raja bukan lagi perwakilan Tuhan yang bisa dengan seenaknya menerapkan sistem merkantilisme, yakni hasil kerja keras rakyat harus diberikan kepada raja. Revolusi ini menjadi trending topic dan segera saja menyebar di kalangan penjajah Eropa. Imperialisme Kuno sudah berlalu.
Kaum liberal, menginginkan kebebasan di bidang ekonomi harus segera dilaksanakan, pemerintah tidak diperkenankan mencampuri urusan perekonomian negaranya termasuk di daerah jajahan. Orang-orang berpemikiran bebas dan sangat gemar kapitalis ini kemudian memenangkan peradilan di parlemen, dan membuat dinasti penjajahan baru berjudul “Imperialisme Modern”. Apalagi Nusantara yang saat itu tidak tahu menahu urusan politik pemerintahan Belanda, yang mereka tahu hanyalah bekerja terus menerus sampai tulang tinggal kulit, bekerja sebagai kuli di tanah sendiri, nyatanya tanah pribumi segera dibuka untuk umum di tahun 1870, alias penjajahan massal mulai disahkan diatas Bumi Nusantara yang dinamakan sebagai “Opendeur Politiek” atau “Politik Pintu Terbuka (ekonomi liberal)”.
Negara-negara berideologi kapitalis dipersilakan masuk menuju pintu gerbang “Pulau Harta Nusantara”, dengan fasilitas penanaman modal di Indonesia di kepulauan mana saja seenak jidat sang Penjajah, diantaranya Sumatera (swarnadwipa), Jawa (Jawadwipa), Borneo (Kalimantan), Bali, dan Sulawesi. Amerika Serikat, Belgia, Inggris, Jerman, Denmark, dkk, diperbolehkan menanam modal untuk panen rempah-rempah yang digunakan untuk perusahaan farmasi dan industri di Eropa, kemudian emas, tembaga, dan bahan lainnya, diperbolehkan untuk dikembangkan. Tentu saja Belanda sebagai tuan rumah Nusantara tetap mempekerjakan paksa pribumi untuk memuaskan keuntungan ekonomis yang besar bagi kekuatan industri Eropa. Bahkan, kumpeni telah menetapkan Agrarist Wet (penggunaan tanah rakyat untuk pemodal), Poenale Sanctie (kerja paksa kontrak), dan Koeli Ordonantie (hukuman bagi pelanggar kerja paksa), untuk mengikat rakyat Indonesia agar tidak lepas dari pemerasan paling modern sepanjang abad-21. Importir barang kebutuhan rakyat yang dilakukan oleh Belanda seperti : kain Eropa, alat-alat Industri, dan kebutuhan hidup sehari-hari bagi rakyat yang tinggal di pedesaan, mengakibatkan usaha lokal pribumi tidak berkembang, dan mengakibatkan kemerosotan perekonomian sebesar 80% di tahun 1895.

Jadilah Nusantara sebagai ladang kapitalisme besar-besaran, yang memeras tenaga rakyat secara habis, untuk hasilnya dinikmati para pemodal asing. Tidak jauh berbeda dengan keadaan pribumi yang sekarang menjadi bangsa, dari kepulauan Sumatera hingga Irian Jaya tidak dapat dipungkiri telah memiliki berbagai saham milik asing sebesar 600 saham tercatat dari berbagai negara. Benarkah sejarah yang telah dilakukan para ‘kompeni’ berulang kembali bahkan oleh ‘kompeni lokal?’ Satu hal penting yang tanpa disengaja menawarkan pintu masuk pada kapitalisme, benarkah semuanya berasal dari sejarah? Ataukah generasi hari ini yang sulit sekali melawan lupa pada sejarah? Anda yang memutuskan!