Bumi dan Manusia

♠ Posted by Aryni Ayu in

 Bergerilya dengan fantasi – fantasi di masa lalu, beranalisis dengan logika, dan aku tahu akhirnya, manusia – manusia itu bukan sahabatku lagi. Mereka sudah lupa pada buminya.

            Alangkah baiknya jika bumi ini penuh dengan penjabaran – penjabaran logika yang dapat dimengerti. Bumi yang dihuni oleh Tuhan yang Maha Esa dan manusia yang terkadang tak meng-esa-kan Tuhan – Nya. Alangkah baiknya pula bila bumi ini tak penuh dengan kesundalan manusia. Kadang berhenti pada titik A dan titik B sebagai perantauan akal yang tak sehat. Begitulah manusia, terkadang apa yang dia rasakan harus dirasakan pula oleh manusia lainnya, tentu bukan rasa yang bagus. Entahlah apa yang harus dijelaskan, penuh dengan logika, mengalahkan magis. Lingkungan di sekitarku, dihiasi manusia – manusia masa lalu yang telah berubah wujud. Dulu, manusia – manusia itu memang sahabat. Laki – laki dan perempuan itu yang dulu menyapaku, menghiburku dengan tulus, tak mengenal suatu pamrih, dan tak mengerti arti material. Kini, berubah. Dulu, dulu, dan dulu yang indah, hari ini telah menghilang. Manusia – manusia yang dulu tahu arti akhirat, detik ini hanya bumi dan seisi – isinya yang mereka kenal.
            Benar – benar manusia kontaminasi. Sel – sel darah merah, otot, otak, raga serta jiwanya telah bercampur baur dengan busuknya bumi. Mereka itu sudah lupa akan buminya. Jika menurut Justin Bieber back down to earth, maka menurutku lupa kulit akan kacangnya. Tahu aku, sepertinya terbalik. Namun dibalik – balik semiring apapun tetaplah manusia – manusia itu busuk, sudah lupa akan hati nuraninya. Aku ditarik dengan kain emas, dibungkus dengan kain – kain yang indah, permata – permata menyilaukan mata,  dan kebaikan hati yang palsu. Apa yang menjadi tujuan manusia – manusia itu, tentu untuk suatu mata uang. Beruntung, akal – akalan busuk melebihi sampah itu tercium olehku. Dan aku terhindar dari lubang hitam.
            Manusia – manusia itu, di masa lalu begitu mulia. Perannya tak pernah terlupakan, sebagai pelipur lara, pelawak, hingga pembelaan sebagai seorang sahabat. Tapi waktu berkata lain, bumi beserta isinya ternyata mampu membuat manusia – manusia itu berpaling pada Tuhan- Nya. Lupa mereka kalau – kalau Tuhan tidak pernah mati. Bumi dan manusia, membuat otak senantiasa berpikir. Bergerilya dengan fantasi – fantasi di masa lalu, beranalisis dengan logika, dan aku tahu akhirnya, manusia – manusia itu bukan sahabatku lagi. Mereka sudah lupa pada buminya.

Reportase : Workshop Nasional Rekonstruksi Kurikulum Berbasis Karakter dalam Rangka Menyongsong Pemberlakuan Kurikulum 2013

♠ Posted by Aryni Ayu in


WELCOME TO MY PLACE

Benang merahnya, bangsa Indonesia selalu percaya bahwa pendidikan di kampung halamannya suatu saat, akan mengalami kemajuan jauh melampaui negara – negara lain


Pendidikan, tak ubahnya akar yang menopang sebuah pohon. Di sejumlah negara yang telah modern, arsitektur pendidikan ditingkat masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) kini, kemajuannya tak dapat diprediksikan. Dukungan arus globalisasi kian mendera, mencetak perubahan sebagai arah pasti dari sebuah prediksi. Tentu di negara – negara maju sistem ini kian berlaku, mereka berlomba – lomba memajukan bangsa, harkat dan prestisnya melalui pendidikan. Tak salah jika seorang Pramoedya Ananta Toer berpesan dalam cetakan tulisan – tulisan agungnya bahwa bangsa, yang tak pernah mau memandang pendidikan sebagai empunya, bangsa tersebut akan menjadi pelayan bagi bangsa lain (Pramoedya Ananta Toer, “Semua Anak Bangsa”, 2009). Apalagi di suatu tempat bernama dunia ketiga, pendidikan haruslah benar – benar menjadi akar, bukan sekedar benalu yang menopangkan hidupnya pada negara adidaya. Belahan dunia ketiga itu kini, dituntut untuk mampu memajukan edukasi, begitupun Indonesia.
Indonesia, negeri yang sangat dicintai rakyatnya. Adalah negeri yang tak bisa dedifinisikan. Namun mampu dirasakan sebagai tanah air yang selalu dan selalu berusaha berkembang untuk sejajar dengan negara – negara lain, di berbagai aspek. Pendidikan, menjadi bargaining position vital bagi Indonesia. Berlatar belakang dari ‘maraknya’ pergantian kurikulum, bahkan terdapat istilah trend di masyarakat “ganti menteri ganti kurikulum”. Tentu saja predikat ini cukup membuat kemajuan pendidikan di tanah air ini terbelenggu, sedikit tersesat arah dan tujuannya. Bayangkan saja ketika kita mau melihat kaca besar sejarah pendidikan, terjadi sembilan kali pergantian kurikulum. Dampaknya cukup jelas terlihat, keadaan pendidikan bangsa semakin tertaih – tatih, hanya berprinsip pada ‘gali lubang tutup lubang’ (Kompas, 18 Oktober 2012). Alasannya, karena negara ini memang membutuhkan penyempurnaan sistem pendidikan di setiap langkahnya, meski kesempurnaan itu seringkali menghasilkan keberhasilan yang ambigu. Sehingga patut diapresiasikan setiap kepedulian praktisi pendidikan untuk mensosialisasikan pemberlakuan kurikulum terbaru, kurikulum 2013.
Tertanggal 20 Desember 2012, sebuah workshop nasional tentang “Rekonstruksi Kurikulum berbasis Karakter dalam Rangka Menyongsong Pemberlakuan Kurikulum 2013″  yang diprakarsai oleh Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Jember berjalan sangat hebat dan patut diapresiasi. Pasalnya, workshop yang diikuti oleh lebih dari 1500 orang dengan pendaftar mencapai 3000  ini menghadirkan pembicara dari tim ahli pembuat kurikulum dari pusat diantaranya ; Prof. Dr. Dadang Supardan, M.Pd, dan Prof. Dr. Hariyono, M.Pd, praktisi pendidikan  ; Drs  Imam Edi Priyanto, Drs. Moch. Rifa’i, M. Pd, serta Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah, Dr. Nurul Umamah, M.Pd. Tak hanya pembicara, materi yang disajikan pun sangat relevan dan penting bagi perkembangan pendidikan Indonesia. Peserta mayoritas terdiri dari mahasiswa FKIP Universitas Jember, dan para guru dari berbagai sekolah – sekolah se – keresidenan Besuki.
CIMG0834

CIMG0836
Dibuka dengan acara hiburan melalui nyanyian tradisional hingga modern, tak lupa tarian Labako sebagai tarian daerah Jember, dan karawitan khas budaya Jawa. Rupanya menjadi simbol bahwa penghargaan terhadap budaya Indonesia sangat dijunjung tinggi dalam pelaksanaan workshop tersebut. Diskusi panel pertama, oleh Drs. Imam Edhi Priyanto, M.Pd mengenai Rasionalisasi Pemberlakuan Kurikulum 2013. Diskusi panel kedua, diisi oleh Prof. Dr. Dadang Supardan dengan judul ‘Menyongsong Kurikulum IPS 2013″, berisikan pengantar tentang kurikulum 2013, mencakup pengurangan mata pelajaran, dan penambahan jam pelajaran, pengembangan kompetensi dasar berbasis karakter, serta penjelasan di dua diskusi panel kemudian di dua sesi terakhir yang tetap relevan menyongsong pemberlakuan kurikulum 2013.
Benang merahnya, bangsa Indonesia selalu percaya bahwa pendidikan di kampung halamannya suatu saat, akan mengalami kemajuan jauh melampaui negara – negara lain. Selalu ada optimisme dari pemerintah, rakyat, dan praktisi pendidikan untuk memperbaiki ‘kesemrawutan’ pendidikan yang tengah terjadi. Terbukti akhir – akhir ini, terdengar kabar bahwa kurikulum, sebagai rencana hidup pendidikan bangsa, mulai mengalami penyempurnaan. Terbitlah keputusan untuk memberlakukan Kurikulum 2013 sebagai solusi yang diharapkan mampu menjawab berbagai problematika dunia pendidikan.

Ketika Orang Lain Berkata lain..

♠ Posted by Aryni Ayu

Berangan – angan andai aku seorang terkuat di jagat raya, betapa sudah menghilang beribu – ribu tahun lalu manusia – manusia yang buruk etikanya

.....menjadi pemimpin, tidak sederhana. Banyak hal – hal yang sederhana berubah menjadi kompleks ketika orang lain mempermasalahkan apa yang kita perjuangkan untuk mereka

Entahlah, mungkin harus aku bawa Kamus Besar Bahasa Indonesia bagi kosakata ‘buruk’ yang mereka lontarkan dibelakangku, beberapa jadwal rutinku sebagai pemimpin, dan lembaran – lembaran yang telah kususun untuk kepentingan mereka


Entah kenapa aku harus membuat judul itu. Siang bagaikan alam panas yang menusuk – nusuk badan, malam pun jadi semakin gulita karena tak kenal siang, hingga bumi kehilangan atmosfernya untuk selalu memberi napas bagi mahluk alam semesta. Seakan sudah kehilangan napas tubuh ini ketika melihat, mendengar, merasa orang lain tak mau tahu menahu tentang apa yang kita perjuangkan untuk kepentingan mereka. Rasanya sudah tuli dan buta otaknya tertutup semacam kebencian. Berangan – angan andai aku seorang terkuat di jagat raya, betapa sudah menghilang beribu – ribu tahun lalu manusia – manusia yang buruk etikanya. Benar – benar ingin kuhempaskan segala – galanya tentang pikiran – pikiran jahat dalam seorang manusia. Namun aku bukan terkuat, masih ada Tuhan, masih ada tuan – tuan pemilik hak paten kekuasaan. Tubuh ini hanya bagian terkecil dari kuasanya. Kuasa Tuhan, kuasa kaum penguasa kapital, dan kuasa seorang otoriter. Rupanya menjadi harga mati untuk sebuah pikiran jahat dapat binasa dari wajah bumi ini. Lihat saja, tak sedikit manusia berusaha memakan manusia yang lain.
Menurut Francis Bacon, manusia sama halnya seperti serigala, memakan manusia lain tanpa belas kasih. Zoon politicon sebutan bagi manusia yang suka mendekati manusia lain untuk kepentingan tertentu. Zoon econom untuk manusia bertahan hidup menggunakan mata uang, dan zoon animal untuk manusia berinsting kuat, hingga menyukai upaya ‘pencaplokan’ terhadap sejenisnya. Yang pokok dibicarakan dalam larutan tulisan ini adalah bagaimana manusia menusuk manusia lainnya demi urusan – urusannya yang pribadi, dan pemuas nafsu belaka. Nafsu dalam upaya membalaskan dendam, tak peduli apakah seorang tersebut telah banyak berbuat kebaikan padanya.
Langit malam ini masih saja gelap. Bintang bersinar hanya satu – dua seperti sepinya orang – orang ketika harus ke masjid pada waktunya dhuhur. Angin bertiup ‘seliwar seliwer’ seperti angin ‘kentut’ yang bila dihisap terus menerus, tidak akan baik bagi rongga hidung. Pun suara – suara artis hollywood yang bertengger di telingaku sungguh tak pernah berhenti menyanyi menghibur kesakitan hati yang belum juga sembuh. Hati berbentuk ‘love’ dalam ilustrasi kartun spongebob tampaknya berevolusi menjadi ‘kerupuk’ tatkala mendengar ‘slentingan – slentingan’ tak nyaman orang lain. Seperti lilin, berlusin – lusin lelahannya dikorbankan untuk menerangi orang yang bernaung dibawah cahayanya. Namun perlahan redup, gosong akibat perbuatan orang lain. Bukan karena redup sendiri, tapi memang terjadi kesengajaan untuk mematikan si lilin, karena cahayanya tak seperti lampu yang seketika terang, namun seketika juga korsleting jika dipakai. Tak ada bedanya dengan seseorang, baik seketika, jahatpun juga seketika. Benar – benar manusia yang seketika, tak punya etika.
Tak tahu bagaimana menjabarkannya. Layaknya Sujiwo Tejo, bertindaklah ngawur selama itu benar, ngawur karena benar, benar membela orang lain, benar menjadi pemimpin, dan benar – nya hingga harus menabrak pagar – pagar kenormalan yang terkadang hanya menjadi sekumpulan topeng manusia. Dan tulisan ini terbuat dari pemikiran seorang Aryni Ayu, bagaimana penatnya merasakan sesuatu hidup yang terpola berbeda dari kebiasaannya. Benar juga apa yang telah kujabarkan, kuperkenalkan pada pembaca tentang tulisan diatas. Aku tunjukkan betapa orang lain terkadang berkata lain, lain sekali hingga dia tak mengenali betapa jahat dirinya sendiri untuk mengutuki seseorang. Benar juga langit yang di malam ini gelap gulita, pas juga dengan hati, yang berubah menjadi ‘kerupuk’, namun tetap disinari oleh lilin yang mengabdikan dirinya untuk menyinari orang lain.
Aku, selama hidup hingga detik ini, tetaplah menjadi seorang pemimpin diantara manusia yang lain. ‘menjadi pemimpin, tidak sederhana. Banyak hal – hal yang sederhana berubah menjadi kompleks ketika orang lain mempermasalahkan apa yang kita perjuangkan untuk mereka. Bukanlah suatu ‘apatis’ ketika pemimpin merasa ‘tidak peduli’ dengan hal – hal yang sekiranya ‘remeh’, seperti membicarakan orang lain, ataupun sekedar mencicipi sedikit pergunjingan dari mulut manusia lain. Sungguh aku mematok diriku untuk ‘apatis’ terhadap hal – hal tak berguna itu. Namun sesegera mungkin aku mendahulukan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabku. Saat itu siang hari, bahkan hampir tiap hari, ada pihak – pihak lain yang memprotes tentang tindakan dan sikap dari para anggotaku. Entahlah, dari penampilan, kedisiplinan, hingga kebiasaan, semuanya seakan menjadi masalah. Jika bertanya masalah muka, mau taruh dimana muka ini ketika ditegur?sudah aku persiapkan ‘pantat’ sebagai tempat muka.
Berbagai sindiran, teguran aku hadapi. Jelasnya, apapun konsekuensi menjadi pemimpin aku terima. Permasalahan yang pihak – pihak lain itu sodorkan, aku bela anggotaku, dan aku selesaikan dengan caraku. Meski terkadang cara – cara itu sedikit radikal, sedikit lebih banyak kerja dibanding bicara. Aku tak peduli karena mereka telah percayai aku untuk mengayomi, memimpin, dan berbuat banyak untuk mereka. Karena, itulah aku.
Namun ironis, sedikit orang yang memiliki pendengaran, pengelihatan, dan pemikiran terbuka untuk segala yang aku perjuangkan. Akibat orang lain berkata lain tentang diri ini. Terkadang beberapa orang berprasangka – prasangka buruk tentang sikapku. Entahlah, mungkin harus aku bawa Kamus Besar Bahasa Indonesia bagi kosakata ‘buruk’ yang mereka lontarkan dibelakangku, beberapa jadwal rutinku sebagai pemimpin, dan lembaran – lembaran yang telah kususun untuk kepentingan mereka. Agar ‘mereka’ tahu bagaimana arti ‘perjuangan’ itu sendiri, demi hak mereka sebagai manusia!
Persis seperti pesan Pramoedya Ananta Toer, “seseorang pemimpin, sudah harus terpelajar sejak dalam pikiran, meski manusia lain berusaha menjegal, berkata lain, dengan cara apapun, keberanianlah yang membuatmu benar!”

WAWASAN PRODUKTIVITAS SISWA

♠ Posted by Aryni Ayu in
SOAL SUSULAN :
PETA PENYEBARAN ISLAM KE INDONESIA 

Kedatangan dan penyebaran agama Islam di Indonesia dilakukan oleh beberapa pihak, seperti bangsa Arab, bangsa Gujarat, serta Persia. Para penyebar agama Islam dari berbagai bangsa tersebut telah menempuh ribuan kilometer hingga tiba di Indonesia. Hambatan berupa alam, kondisi cuaca, dan keselamatan jiwa mengancam perjalanan mereka ke Indonesia. Apa yang mendorong kedatangan mereka (latar belakang) ke Indonesia? Semangat apa yang bisa Anda tiru dalam proses kedatangan mereka ke Indonesia? Renungkan dan Tulis pendapat kalian di kertas kerja kalian.

Terjebak Rutinitas

♠ Posted by Aryni Ayu in

Ada benarnya globalisasi itu yang berkawan dengan liberalisme. Satu kata untuk mereka, kebebasan!

Bukan gelar ‘gurunya’ yang harus dipersalahkan, tapi rutinitas!

  Seorang artis keluaran sinetron Amerika “Dont Trust B* in Apartment 23” berkata, “jika ada sesuatu hal diluar rencana hidupmu itu muncul, bukan berarti hal itu kesalahan, just catch it and changes the world!”

            Tahulah aku mengapa harus menuliskan segelumit panjang – panjang kata mengenai makna kehidupan. Pramoedya Ananta Toer mengingatkan, “sepintar – pintarnya manusia, jika tak pernah menulis, maka dirinya akan hilang dari sejarah”. Ya, aku hanya menganggukan semboyan itu sekali – sekali bilamana dibutuhkan. Detik ini juga, jemari tak bisa berhenti menorehkan huruf demi huruf, kata – kata demi kata tentang banyak hal. Apa lagi jika bukan hati dan pikiran sedang gelisah, lusuh hati, dan lusuh kemauan. Semangat yang biasanya berkoar – kobar mengalahkan terangnya matahari, dan panasnya kompor, seakan padam tanpa abu. Juga hal – hal mengenai kebebasan berkarya, kebebasan ruang waktu, pun sebebas – bebasnya keinginan, detik ini pula berhenti mendetikkan ruhnya.

            Hari berganti hari, layaknya soundtrack dari sinetron galaunya “tersanjung’, tidak juga berganti dengan nyata baru. Adanya hanya segelumit, yang selalu berputar – putar menjadi segelumit itu juga. Bagaikan waktu yang telah habis namun tak menemui suksesnya, peradaban telah runtuh. Membayangkan gemilangnya Majapahit, kuatnya maritim Sriwijaya, mewahnya peradaban Yunani – Romawi, aku terpanah, ingin menjadi seorang yang kompleks tanpa cela. Namun mimpi tetap mimpi, manusia hanya bisa mendekati. Persis seperti kata Herodotus, “Sejarah tak bisa menemui titik benarnya, hanya mendekati”, itulah diriku.

            Hingga di suatu pagi dingin, matahari melambai hangatnya, angin tak bertiup kencang. Aku berhayal, menjadi seorang superstar, selevel Avril Lavigne, Jennifer Lopes, Nickelback, dan kawan – kawan. Menepis kegelapan dalam pikiran. Melambungkan segenap imajinasi. Andai, andai, dan andai. Ya, hanya berandai – andai menghadapi realita akhir – akhir ini. Ada benarnya globalisasi itu yang berkawan dengan liberalisme. Satu kata untuk mereka, kebebasan! Segelumit kata yang benar – benar sulit tampaknya untuk digapai. Belum lagi menyesuaikan diri dengan orang lain, sesuaikan ingin dan pikir seseorang, bukan sesuatu yang pantas untuk digampangkan. Jika diri ini menginginkan pembaharuan tiap hari, kreativitas yang tak pernah mati, dan segenap kebebasan berpikir, lingkungan hanya sedikit saja mendukung.

            Bayangkan saja, dulu, semasa remaja, tak pernah ada ingin sedikit saja diriku ini untuk menjadi seorang guru. GURU! Seorang yang digugu dan ditiru. Artinya, seolah – olah tindakan guru tak boleh sedikit saja ‘ngawur’. Harus patuh, penampilan tak boleh banyak macamnya, dan tentu saja terjebak rutinitas! Hal yang sangat sangat sangat diluar kata favorit. Semestinya tak boleh lah manusia meratapi faktanya, tapi apa boleh jadi jika memang benar – benar ada dalam bayang kesuntukan. Semenjak pagi menunjukkan angka 7, pagar tertutup untuk boleh keluar masuk. Pakaian pun seragam, tanda kemonotunan telah dimulai! Harus mengikuti peraturan sekolah, sinisan guru bila sewaktu – waktu diantara kita bersalah, dan siap bercapek ria ketika sekolah membutuhkan, maklum, guru – guru praktek. Pun akhir – akhir ini batin juga merasa sangat terbebani. Bukan hanya karena menjadi pimpinan diantara guru – guru praktek itu, tapi juga harus menanggung sekompleks tanggung jawab sebagai guru. Bukan gelar ‘gurunya’ yang harus dipersalahkan, tapi rutunitas! Bahkan saat aku ingin menerapkan sesuatu yang baru, rasanya diri ini tak berhak. Bukan hanya masih bocah, tapi juga karna masih ‘muda’, mungkin. Tuhan, lepaskan semuanya dari keterbosanan. Aku tak tak mau terjadi realitas. Realitas bukanlah rutinitas. Setiap hari adalah hari baru, aku sungguh tak mau rutinitas!

            Seorang artis keluaran sinetron Amerika “Dont Trust B* in Apartment 23” berkata, “jika ada sesuatu hal diluar rencana hidupmu itu muncul, bukan berarti hal itu kesalahan, just catch it and changes the world!” well, aku mulai mengerti apa arti rutinitas, di lain hari, aku siap membuat kejutan!

Surya Majapahit

♠ Posted by Aryni Ayu

SURYA MAJAPAHIT (LAMBANG KERAJAAN)

Surya Majapahit (Matahari Majapahit) adalah lambang kerajaan Majapahit yang kerap kali ditemukan pada reruntuhan bangunan masa Majapahit. Lambang ini mengambil bentuk matahari bersudut delapan dengan bagian lingkaran di bagian tengah yang menampilkan dewa-dewa agama Hindu. Lambang ini membentuk diagram kosmologi yang disinari jurai matahari khas “Surya Majapahit”, atau lingkaran matahari dengan bentuk jurai yang khas. Karena begitu populernya lambang matahari ini, maka para ahli arkeologi menduga bahwa lambang ini berfungsi sebagai lambang Negara Majapahit.

Bentuk paling umum dari Surya Majapahit terdiri dari gambar sembilan dewa dan delapan berkas cahaya matahari. Lingkaran di tengah menampilkan sembilan dewa agama Hindu yang disebut dengan Dewata Nawa Sanga. Dewa-dewa utama di bagian tengah ini diatur dalam posisi delapan arah mata angin dan satu di bagian tengahnya. Dewa-dewa ini diatur dalam posisi : Tengah Siwa, Timur Iswara, BaratMahadewa, Utara Whisnu dan Selatan Brahma, Timur Laut Sambhu, Barat LautSangkara, Tenggara Mahesora, Barat Daya Rudra.

Dewa-dewa pendamping lainnya terletak pada lingkaran luar matahari dan dilambangkan dengan delapan jurai sinar matahari, yaitu  :
DEWA KUWERA bertahta di Utara, DEWA ISANA di Timur Laut, DEWA INDRA di Timur, DEWA AGNI di Tenggara, DEWA YAMA di Selatan, DEWA SURYA/NRTTI di Barat Daya, DEWA VARUNA di Barat, DEWA BAYU/NAYU/VAYU di Barat Laut .

Dewa Kuwera (Kuvera) dalam agama Hindu adalah dewa pemimpin golongan bangsa Yaksa atau Raksasa, meskipun demikian ia lebih istimewa dan yang utama diantara kaumnya. Ia bergelar “bendahara para Dewa” sehingga ia disebut juga Dewa Kekayaan.
Kuwera merupakan putera dari seorang resi sakti bernama Wisrawa, ia satu ayah dengan Rahwana namun lain ibu. Ia menjadi raja di Alengka menggantikan Malyawan.

Dewa Indra dalam agama Hindu adalah dewa cuaca dan raja kahyangan, oleh orang-orang bijaksana ia diberi gelar dewa petir, dewa hujan, dewa perang, raja surga, pemimpin para dewa dan masih banyak lagi sebutannya. Dia adalah dewa yang memimpin delapan Wasu, yaitu delapan dewa yang menguasai aspek-aspek alam. Dia juga pemimpin para dewa dalam menghadapi kaum raksasa, dan dikenal pula sebagai dewa yang menaklukkan tiga benteng musuhnya (Tripuramtaka). Ia memiliki senjata yang disebut Bajra (diciptakan oleh Wismakarma dengan bahan tulang Resi Dadici), kendaraannya seekor gajah-putih yang bernama Airawata, isterinya bernama Dewi Saci. Dalam agama Budha ia disamakan dengan Sakra.

Dewa Agni dalam agama Hindu adalah dewa api, dan dalam kitab suci Hindu ia disebut sebagai dewa pemimpin upacara. Dewa Agni ini digambarkan sebagai dewa yang badannya berwarna merah, rambutnya adalah api yang berkobar, berkepala dua dan selalu bersinar, berdagu tajam, bergigi emas, memiliki enam mata, tujuh tangan, tujuh lidah, empat tanduk, tiga kaki dan mengendarai biri-biri. Konon Dewa Agni adalah putera Dewa Dyaus dan Pertiwi.

Dewa Yama adalah dewa penjaga neraka dalam agama Hindu dan Budha. Dalam ajaran Hindu, Dewa Yama merupakan manifestasi dari Brahman yang bergelar sebagai Dewa Akhirat, Hakim Agung yang mengadili roh orang mati, untuk mempertimbangkan apakah suatu roh layak mendapat surga atau sebaliknya, mendapat neraka.
Dewa Yama dilukiskan sebagai seorang tua yang berkuasa di singgasana neraka, memiliki dua wajah yang tidak terlihat sekaligus. Wajah yang sangar dan menyeramkan akan terlihat oleh roh orang-orang yang hidupnya penuh dengan perbuatan salah, sedangkan wajahnya yang lembut akan terlihat oleh roh-roh yang hidupnya penuh dengan perbuatan baik.

Dewa Surya adalah dewa matahari yang diadaptasi sebagai dewa yang mengatur atau menguasai surya atau matahari dan diberi gelar Bhatara. Ia mengendari kereta yang ditarik oleh tujuh ekor kuda, memiliki kusir yang bernama Aruna saudara Garuda, putera Dewi Winata.
Dewa Surya menjadi tumpuan mahluk hidup di alam dunia ini terutama tumbuhan dan hewan. Ia juga terkenal sakti mandraguna dan menjadi salah satu dewa andalan di kahyangan. Ia juga terkenal senang memberikan pusaka-pusaka atau ajian-ajian yang dimilikinya kepada orang-orang yang dipilihnya.

Dewa Varuna (Baruna) adalah manifestasi Brahman yang bergelar sebagai dewa air, penguasa lautan dan samudra. Menurut kepercayaan Hindu, Baruna menguasai hukum alam yang disebut Reta. Ia mengendarai mahluk yang disebut Makara (setengah buaya setengah kambing). Isterinya bernama Baruni, yang tinggal di istana mutiara. Oleh orang bijaksana, Dewa Baruna disebut juga sebagai Dewa Langit, Dewa Hujan dan dewa yang menguasai hukum.

Mantra untuk Dewa Baruna  :
AGNUM SU TUBHYAM VARUNA SVADHAVO
HRDI STOMA UPASRITAS CID ASTU SAM NAH KSEME SAM U YOGE NO ASTU
YUYAM PATA SVASTIBHIH SADA NAH.

Artinya  :
Semoga pujaan ini berkesan pada-mu, O Waruna yang bebas
Semoga kami selamat dalam beristirahat, semoga kami selamat dalam bekerja,
Lindungilah kami dengan berkahmu,

Dewa Bayu adalah dewa utama yang bergelar sebagai Dewa Angin yang merupakan salah satu unsur dari Panca Maha Bhuta, lima elemen dasar dalam ajaran agama Hindu. Ia bertempat tinggal di Khayangan Panglawung, ditugaskan untuk mengatur serta menguasai angina. Pada jaman  Treta Yuga, Bhatara Bayu menjadi guru Hanoman agar kera tersebut menjadi sakti. Pada jaman Dwapara Yuga, Bhatara Bayu menurunkan Wrekudara (Bima), cirri dari murid ataupun keturunannya adalah memiliki “kuku pancanaka”. Ia mempunyai tunggangan berupa Antilop.

Dewa Siwa adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu, ia merupakan dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang telah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya (Panca Maha Bhuta). Ia memiliki ciri-ciri khusus yaitu : bertangan empat masing-masing memegang trisula, cemara, tasbih/gnitri dan kendi, bermata tiga (trinetra), pada hiasan kepalanya tedapat ardha Chandra (bulan sabit), ikat pinggangnya dari kulit harimau, hiasan di lehernya dari ular kobra, kendaraannya lembu andini. Ia memiliki putera Dewa Kumara, Dewa Kala dan Dewa Ganesa, memiliki empat isteri yaitu Dewi Parwati, Dewi Uma, Dewi Durga dan Dewi Kali.

Hiasan Surya Majapahit ini dapat ditemukan pada langit-langit Candi Penataran di bagian Garbhagriha (ruangan tersuci), dan candi-candi lainnya seperti Candi Bangkal, Candi Sawentar dan Candi Jawi, dan juga diketemukan pada batu-batu nisan yang berasal dari Majapahit di wilayah Trowulan.

The Old Kingdom : Hindu and Buddiest Kingdom's

♠ Posted by Aryni Ayu in
Kompetensi

Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan pemerintahan pada masa Hindu-Budha, serta peninggalan-peninggalannya.

Setelah mempelajari program ini peserta didik dapat :
  1. Mendekripsikan proses masuk dan berkembangnya Hindu-Budha di Indonesia
  2. Menunjukan pada peta daerah yang dipengaruhi unsur Hindu-Budha di Indonesia sampai abad ke-15
  3. Menyusun kronologi perkembangan kerajaan Hindu-Budha ke berbagai wilayah di Indonesia
  4. Mengidentifikasi peninggalan-peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Budha di berbagai daerah
Pendahuluan

Peta Letak Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia

Materi

Proses masuk
PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA HINDU-BUDHA DI INDONESIASejak awal masehi telah terjalin hubungan perdagangan antara Asia Timur (Cina) dan Asia Selatan (India) yang melintasi kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Indonesia merupakan daerah yang strategis dalam pelayaran dan perdagangan internasional. Hal inilah yang menyebabkan pengaruh Hindu-Budha yang berkembang di India menyebar sampai ke Indonesia. 
Proses masuknya pengaruh Hindu-Budha di Indonesia ada 2 pendapat :
  1. Pertama: Hindu-Budha dibawa oleh orang-orang India ke Indonesia dan masyarakat Indonesia hanya bersikap pasif.
  2. Kedua : masyarakat Indonesia telah bersikap aktif yakni dengan pergi ke India untuk mempelajari Hindu-budha dan menyebarkannya kembali ke wilayah Indonesia.
Proses masuk dan berkembangnya Hindu-budha ke Indonesia didukung oleh  beberapa teori yang masing-masing mempunyai alasan. Teori yang menyatakan pembawa atau yang menyebarkan Hindu-Budha di Indonesia adalah :
  1. Teori Brahmana
  2. Teori Ksatria
  3. Teori Waisya
  4. Teori Arus Balik
Teori Brahmana
Teori ini dekemukakan oleh J.C Van Leur yang menyatakan bahwa agama dan kebudayaan Hindu-Budha yang datang ke Indonesia dibawa oleh golongan Brahmana (golongan agama) yang sengaja diundang oleh penguasa Indonesia.
Teori ini mempertegas kembali bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia hanya golongan Brahmana yang mempunyai hak dan mampu membaca kitab Weda (kitab suci agama Hindu) sehingga hanya kasta Brahmana yang memahami ajaran Hindu secara utuh dan benar. Selain itu beberapa prasasti yang ditemukan di Indonesia menggunakan berbahasa Sansekerta. Di India bahasa itu hanya digunakan dalam kitab suci dan upacara keagamaan dan hanya golongan Brahmana yang mengerti dan menguasai penggunaan bahasa tersebut. Kontak penguasa Indonesia dengan penguasa India terjadi berkat hubungan dagang.
Teori Ksatria
Teori ini dikemukakan oleh Prof.Dr.J.L. Moens yang menyatakan bahwa agama dan kebudayaan Hindu-Budha dibawa oleh orang-orang dari India dari kasta Ksatria, dengan alasan bahwa di India sekitar abad ke-4 hingga abad ke-6 sering terjadi peperangan sehingga kasta Ksatria yang terdiri dari kaum bangsawan dan prajurit  ada yang mengalami kekalahan dan melarikan diri mencari daerah baru antara lain hingga ke Indonesia.
Teori Waisya
Teori ini dikemukakan oleh Prof. Dr.N.J.Krom yang menyatakan bahwa golongan Waisya (pedagang, petani, pemilik tanah) merupakan golongan terbesar yang berperan dalam menyebarkan agama dan kebudyaan Hindu-Budha. Para pedagang yang sudah terlebih dahulu mengenal Hindu-Budha datang ke Indonesia selain untuk berdagang mereka juga memperkenalkan Hindu-Budha kepada rakyat Indonesia. Para pedagang ini adakalanya menetap sementara waktu dan bahkan ada yang menetap dan tinggal di Indonesia dan menikah dengan penduduk setempat.

Teori Arus Balik

Teori ini dikemukakan oleh F.D.K.Bosch yang menyatakan bahwa pada mulanya golongan agama menyebar ke berbagai negara melalui jalur yang dilalui oleh para pedagang. Dibeberapa tempat mereka berusaha menjalin hubungan yang baik dan memperkenalkan Hindu-Budha. Pada perkembangan selanjutnya orang Indonesia sendiri datang ke India untuk mempelajari Hindu-Budha setelah memperoleh ilmu yang banyak mereka kembali lagi ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran Hindu-budha.

Daerah yang dipengaruhi
DAERAH-DAERAH YANG DIPENGARUHI HINDU BUDHA DI INDONESIA 

Perkembangan kerajaan
PERKEMBANGAN KERAJAAN HINDU-BUDHA DI BERBAGAI WILAYAH DI INDONESIA
KERAJAAN KUTAI

Zaman sejarah di Indonesia dimulai dengan ditemukannya tulisan di daerah Kutai Kalimatan Timur diperkirakan letaknya disekitar aliran sungai Mahakam. Para ahli memperkirakan ini merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia dan menyebutnya Kerajaan Kutai sesuai dengan nama daerah penemuannya.
Melihat letaknya yang berada di jalur perdagangan India (di barat) dan Cina (di Timur), banyak pengaruh dari luar yang masuk ke kerajaan Kutai. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya benda-benda dari kedua wilayah tersebut. Barang-barang seperti keramik, arca dewa Trimurti, serta arca Ganesha, kemungkinan merupakan bagian dari perlengkapan upacara keagamaan selain untuk kehidupan sehari-hari.
Kerajaan Kutai diperkirakan berdiri pada abad ke-5 Masehi, ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah Yupa (prasasti berupa tiang batu) yang ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta yang berasal dari India yang sudah mengenal Hindu. Yupa mempunyai 3 fungsi utama, yaitu sebagai prasasti, tiang pengikat hewan untuk upacara korban keagamaan, dan lambang kebesaran raja.
 Dari tulisan yang tertera pada yupa nama raja Kundungga diperkirakan merupakan nama asli Indonesia, namun penggantinya seperti Aswawarman, Mulawarman itu menunjukan nama yang diambil dari nama India dan upacara yang dilakukannya menujukan kegiatan upacara agama Hindu. Dari sanalah dapat kita simpulkan bahwa kebudayaan Hindu telah masuk di Kerajaan Kutai.


KERAJAAN TARUMANEGARA

Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan Hindu tertua di pulau Jawa. Kerajaan ini berdiri sekita abad ke-5. Keterangan tentang keberadaan negara Tarumanegara dapat diketahui dari prasasti yang ditemukan menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta serta sumber berita Cina. Prasati yang merupakan peninggalan Taruamanegara adalah : Prasasti Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu, dan Cidangiang.
Raja Purnawarman adalah raja terkenal yang memerintah Tarumanegara selama 22 tahun. Ia dianggap penjelmaan Dewa Wisnu. Masyarakat Tarumanegara selain bercocok tanam sebagian juga hidup dari perdagangan, antara lain gading gajah, cula badak, dan kulit penyu.

KERAJAAN KALING
 Kerajaan Kaling terletak di Jawa Tengah. Berdasarkan berita Cina dketahui bahwa Kerajaan berdiri sekitar abad ke-6 M dan bercorak Budha. Kerajaan Kaling cukup kaya karena tanahnya subur, rakyatnya hidup makmur, tentram dan damai. Kegiatan ekonomi masyarakat diantaranya menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading.
 Sekitar tahun 664 datang pendeta dari Cina yang bernama Hwining dan sempat tinggal selama tiga tahun. Atas bantuan pendeta Janabadra dari Kaling, Hwining berhasil menterjemahkan kitab suci Tripitaka dari bahasa sansekerta kedalam bahasa Cina.


 Pada tahun 674 Masehi, kerajaan Kaling diperintah oleh seorang ratu yang bernama Sima. Pemerintahannya terkenal sangat keras dan berdasarkan kejujuran serta keadilan. Hal ini dibuktikan ketika putra mahkota menyentuh pundi-pundi emas di jalan yang bukan miliknya maka ia dijatuhi potong kaki. Ini berarti hukum yang diberlakukan berlaku untuk penduduk Kaling (letak kerajaan Kaling lihat peta kerajaan Tarumanegara).
KERAJAAN MATARAM KUNOKerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah bagian selatan pada abad ke-8 dengan pusatnya di lembah Sungai Progo yang meliputi Dataran tinggi Magelang, Muntilan, Sleman,dan Yogyakarta. Daerahnya subur dan banyak air sehingga pertanian maju dan ekonominya berkembang. Mataram pernah diperintah oleh dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Sailendra. Pengetahuan mengenai kedua wangsa diperoleh dari prasasti Canggal 732 M dan prasasti Balitung.
  1. Dinasti Sanjaya Diantara raja-raja yang berkuasa dari Dinasti Sanjaya adalah Sanjaya, Rakai Panangkaran , Rakai Pikatan dan lain-lain. Raja Sanjaya menganut agama Hindu. Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan agama Hindu-Budha berkembang dengan damai di Mataram. Peninggalan dari Dinasti ini antara lain berupa candi di komplek Dieng dan Gedung Songo.
  2. Dinasti Saelendra Raja-raja Dinasti Sailendra beragama Budha yang pernah memerintah antara lain Samaratungga,  Pramudhawardhani. Pada masa Pemerintahan Samaratungga dibangun candi Budha, yakni Borobudur pada abad ke 9, Mendut, dan Pawon. Samaratungga mempunyai dua putra, Pramudhawardhani dan Balaputradewa. Pramudhawardhani menikah dengan keturunan keluarga dinasti Sanjaya yaitu Rakai Pikatan. Terjadi perebutan kekuasaan antara Rakai Pikatan dan Balaputradewa, Pertikaian ini dimenangkan oleh Rakai Pikatan dan Balaputradewa lari ke Sumatra dan menjadi raja kerajaan Sriwijaya.
    Pada abad ke 10 pusat pemerintahan Mataram di Jawa Tengah berakhir dan muncul pemerintahan Mataram di Jawa Timur dengan rajanya yang pertama Mpu Sendok (abad ke 10). Raja lainnya yang berkuasa dan terkenal adalah Dharmawangsa Teguh (abad 10) dan Raja Airlangga (abad 11).
KERAJAAN SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha terbesar terletak di Sumatra. Menurut para ahli pusat kerajaan Sriwijaya berada di Palembang dan diperkirakan berdiri sekitar abad ke-7. Sumber berita tentang adanya kerajaan Sriwijaya antara lain berasal dari :
  1. Berita dari Cina
    Pendeta I-Tsing tahun 671 Masehi menyatakan bahwa Ia pernah singgah di Sriwijaya dan belajar bahasa Sansekerta. Para pendeta Cina dianjurkan sebelum belajar agama Budha di kerajaan ini. Pada waktu itu di India mereka terlebih dahulu belajar di Sriwijaya .
  2. Prasati
    Prasasti yang ditemukan menceritakan tentang keberadaan kerajaan Sriwijaya antara lain, Prasasti Kedukan bukit, Talang Tuo, Karang Berahi, Telaga Batu.

KERAJAAN KEDIRI
Lahirnya kerajaan Kediri berkaitan dengan adanya pembagian kekuasaan di kerajaan Mataram yang berkedudukan di Jawa Timur. Tujuan Airlangga membagi Mataram menjadi dua yakni menghindari perang saudara akibat perebutan kekuasaan diantara anak-anaknya. Mpu Baradah membagi kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Panjalu dengan ibu kota di Daha dan Janggala dengan ibukotanya di Kahuripan.
Raja Kediri yang terkenal antara lain Jayabaya, dan raja terakhirnya Kertajaya. Pada masa kejayaanya hadir pujangga kraton yang menciptakan kakawin antara lain Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dengan gubahannya Bharatayudha, Hariwangsa, Gatotkacaswara.
Peta wilayah kerajaan Kediri
KERAJAAN SINGOSARI
Kerajaan Singosari adalah kerajaan bercorak Hindu. Pendiri kerajaan Singosari adalah Ken Arok tahun 1222. Ia dinobatkan oleh para Brahmana dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Ken Arok merupakan pendiri Dinasti Rajasa atau Girindra yang menurunkan para penguasa di kerajaan Singosari dan Majapahit. Sebelum menjadi raja Ken Arok memangku jabatan Akuwu (semacam bupati) Tumapel setelah menyingkirkan Tunggul Ametung.
Kerajaan Singosari merupakan kerajaan yang penuh dengan perebutan kekuasaan diantara keluarga raja antara lain dengan cara tipu muslihat, pemberontakan juga pembunuhan.
Kerajaan Singosari mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Kertanegara (1268-1292). Kertanegara berusaha memperluas wilayah kekuasanya dengan menaklukan kerajaan-kerajaan di luar Jawa, antara lain pada tahun 1275 ia mengirim ekspedisi Pamalayu ke kerajaan Melayu dan berhasil menaklukannya.
Sebagai kerajaan yang mempunyai wilayah cukup luas Singosari mendapat ancaman, baik yang datang dari luar dan dalam Singosasr.i Dari luar, berasal dari kerajaan Mongol pada masa Kubilai Khan dan dari dalam berasal dari Jayakatwang yaitu seorang keturunan kerajaan Kediri. Ketika Kertanegara sedang dalam penyerbuan ke Melayu, Singosari memperkuat pasukanya Melayu,Singasari diserang Kubilai Khan, akibatnya Singasari dapat ditaklukan, kekuatan pasukan di Singosari sendiri lemah. Hal ini dimanfaatkan oleh Jayakatwang dengan membunuh Kertanegara dan para Brahmana yang sedang melakukan upacara. Raden Wijaya (menantu Kertanegara) berhasil melarikan diri dan kelak ia menyerang dan menghancurkan Jayakatwang dengan bantuan tentara Mongol yang sudah diperdayainya.



KERAJAAN MAJAPAHIT

 Setelah Raden Wijaya berhasil mengalahkan pasukan Mongol selanjutnya. Ia mendiami wilayah sekitar hutan Tarik yang berada disekitar sungai Brantas (Mojokerto) kemudian mengubah menjadi Majapahit atas bantuan Arya Wiraraja. Raden Wijaya (1293-1308) dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Ia menikahi keempat putri Kertanegara yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri.
 Raden Wijaya memerintah dengan baik dan bijaksana. Pada awal pemerintahannya ia memberi imbalan kepada orang/panglima yang  membantunya dulu mendirikan Majapahit seperti Arya Wiraraja, Nambi, Lembu Sora, Ranggalawe dan Kebo Anabrang.
 Pengganti Raden Wijaya adalah Jayanegara (1309-1328). Pada masa pemerintahannya terjadi banyak pemberontakan, antara lain yang dilakukan Juru Demang (1313), Gajah Biru (1314), Nambi (1314), Semi (1318) dan Kuti (1319). Ketika terjadi pemberontakan Kuti, Jayanegara terdesaK dan mengungsi di Badander disana diselamatkan oleh pasukan pengawal raja (Bhayangkari) dibawah pimpinan Gajah Mada.
Atas jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Kahuripan. Tahun 1328 Jayanegara dibunuh oleh Tanca tabib istana dan digantikan oleh Tribhuwanatunggadewi.
 Pada masa pemerintahn Tribhuwanatunggadewi terjadi beberapa kali pemberontakan antara lain yang dipimpin oleh Sadeng dan Keta.  Pemberontakan tersebut kembali dapat ditumpas oleh Gajah Mada sehingga dirinya diangkat menjadi Mahapatih atau Perdana Mentri. Pengganti Tribhuwanatunggadewi adalah putranya yaitu Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahanya ia dibantu Gajah Mada,  Majapahit mencapai puncak kejayaanya. Wilayah kekuasaanya meluas keseluruh nusantara dan Asia Tenggara.
 Setelah Hayam Wuruk wafat tidak ada penggantinya yang cakap, akibatnya terjadi perang saudara (Perang Paregreg), yaitu perang antara Bhre Wirabumi dan Wikrama Wardhana. Beberapa faktor yang menjadi penyebab Majapahit runtuh selain perang saudara adalah banyaknya negara bawahan yang berusaha lepas dari Majapahit dan mulai mundurnya sektor perdagangan.
Peninggalan-peninggalan
Peninggalan-peninggalan sejarah Kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Budha di berbagai daerah
Peninggalan sejarah yang bercorak Hindu-Budha dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah Indonesia kecuali di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
1. Prasasti
2. Candi
3. Patung Arca (dari batu, logam)
4. Kitab
Prasasti  (batu bertulis)
Disetiap kerajaan yang ada di Indonesia memiliki peninggalan berupa prasasti. Prasasti  (batu bertulis)yang di temukan diantaranya ada yang berhuruf pallawa berbahasa sansekerta,berbahasa Jawa kuno dan Melayu kuno. Contonya antara lain:
  1. Prasasti huruf pallawa bahasa Sansekerta :
    Yupa, prasasti Muarakaman (Kerajaan Kutai), prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, Tugu, Cidanghiang (Kerajaan Tarumanegara), Prasasti Tuk Mas (Kerajaan Holing), Prasasti Canggal, Mantyasih, Wanua Tengah III, Sojomerto, Sangkhara, Kalasan,Klurak (Kerajaan Mataram Kuno).
  2. Prasasti huruf pallawa bahasa Melayu Kuno :
    Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Kota Kapur, Karang Berahi, Telaga Batu (Kerajaan Sriwijaya)
  3. Prasasti huruf Pranagari dan Bali kuno bahasa Sansekerta :
    Prasasti Sanur (Kerajaan Bali)
CANDI
Istilah candi berasal dari salah satu nama untuk Dewi Durgha (dewi maut) yaitu Candika, ini ada kaitannya dengan fungsi candi sebagai tempat untuk memuliakan raja yang telah wafat. Yang disimpan di candi bukan mayat/abu jenazahnya namun benda-benda seperti potongan-potongan logam, batu-batuan dan sesaji yang ditempatkan dalam wadah (pripih). Pripih inilah yang ditanam di dasar candi.
Candi dalam agama Hindu berfungsi sebagai makam, sedangkan dalam agama Budha candi sebagai tempat pemujaan tidak ada pripih. Didalam candi Budha tidak ada arca yang jadi perwujudan Dewa.
Pengelompokan candi yang terdapat di pulau Jawa erat kaitannya dengan alam pikiran dan susunan masyarakatnya. Candi di Indonesia ada yang dibangun berdiri sendiri dan ada yang berkelompok. Contoh candi yang berdiri sendiri adalah Borobudur dan candi yang berkelompok adalah candi Prambanan.
Candi-candi di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 jenis :
  1. Jawa Tengah bagian Utara (Candi-candi di komplek Dieng dan candi-candi di Gedung Songo)
  2. Jawa Tengah bagian Selatan (Candi Kalasan, candi Mendut, candi Pawon, dan lain-lain)
  3. Jawa Timur (contoh candi Panataran) termasuk didalamnya candi yang ada di Bali dan Sumatra Tengah (Muara Takus)


Bersamaan dengan pembuatan candi, berkembang pula keahlian seni ukir, dapat dilihat pada pahatan batu pada dinding candi. Pahatan yang sering ditemukan antara lain berupa makhluk ajaib, tumbuh-tumbuhan, daun-daunan, sulur-sulur, bunga teratai (baik yang kuncup maupun yang mekar). Beberapa candi diantaranya:
ARCA/PATUNGArca (patung dewa) berhubungan erat dengan agama Hindu/Budha. Arca ada yang terbuat dari batu contohnya arca Airlangga (dari kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur), Kertarajasa Jayawardhana patung perwujudan raja pendiri kerajaan Majapahit , Prajna Paramitha perwujudan Ken Dedes dari kerajaan Singosari,  dan lain-lain. Selain dari batu ada pula yang terbuat dari logam (emas, perunggu, perak). Umumnya berukuran kecil namun ada arca Budha dari perunggu yang ukurannya sebesar manusia bahkan ada.
SENI BANGUNANBentuk peninggalan Hindu-Budha berupa bangunan terdiri dari seni bangunan yang menunjang kegiatan keagamaan , misalnya candi, serta bangunan yang tidak berkaitan dengan kegiatan keagamaan, antara lain berupa reruntuhan keraton, petirtaan, dan gapura. Peninggalan seni bangunan bercorak Hindu-Budha di Indonesia :
  1. Keraton : rumah tempat tinggal raja atau ratu beserta keluarganya. Misalnya keraton kuno Majapahit  diperkirakan terletak didaerah Trowulan, Mojokerto.
  2. Gapura : bangunan yang berupa pintu gerbang ada yang beratap serta berdaun pintu dan ada yang menyeruai candi yang terbelah dua. Misalnya gapura, Wringin Lawang di Trowulan.
  3. Wihara : tempat tinggal para biksu.
  4. Petirtaan : tempat pemandian suci yang sering digunakan oleh kalangan istana kerajaan. Misalnya petirtaan di Jolotondo dan Tirta Empul di Bali
KITAB
Hasil kebudayaan selain prasasti, candi, arca/patung ada pula yang berupa karya sastra yang berupa kitab. Beberapa kitab yang dihasilkan diantaranya :
  1. Kerajaan Kediri:
    Bratayudha (Mpu Panuluh dan Mpu Sedah), Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa), Smaradhahana (Mpu Darmaja), Writasanjaya dan Lubdhaka (Mpu Tanakung), Kresnayana, Bhomakavya.
  2. Kerajaan Majapahit :
    Pararaton (berisi riwayat raja-raja Singosari dan Majapahit) , Negara Kertagama (Mpu Prapanca), Sutasoma dan Arjunawijaya (Mpu Tantular), Sorandaka (cerita pemberontakan Sora), Ranggalawe (cerita pemberontakan Ranggalawe), Panjiwijayakrama (cerita riwayat Raden Wijaya) dan Usana Jawa (cerita penaklukan Bali oleh Gajah Mada).

Ied Holiday : Situbondo Beach

♠ Posted by Aryni Ayu


     Hari itu, ya hari itu. Tertanggal dua puluh dua agustus 2012, tanda abad globalisasi kian panjang umurnya. Manusia semakin ragam, ketidakmenentuan menjadi prediksi. Begitu juga yang terjadi dalam perayaan Idul Fitri, sebuah momen besar bagi kaum muslim. Tak peduli warna kulit, adat – istiadat negara mana, ataupun tanggal perayaan yang kadang beda sehari dua hari. Idul fitri tetaplah idul fitri. Perayaan tiada henti, besar – besaran bagi kaum kebanyakan. Silahturahmi ala islam, menjadi tujuan utama. Ketupat, liburan, hingga pulang kampung, menyusul sebagai adat. Tak begitu beda dengan keluarga kami. Tahun ini, tak ada rencana mudik terlalu jauh. Biasanya pergi ke kota B (Banyuwangi), mungkin karena mati kebosanan. Tiap tahun selalu kesana dan terlalu banyak pengeluaran keluar tak semestinya, maka arah menunjukkan kota S (Situbondo) sebagai kunjungan kali ini.

            Pagi hari, show time! Kacang – kacangan, kue – kue kering, permen, buah anggur, minuman, tas berisi : samsung notebook, nokia E 63, buku – buku pendidikan, make up, sunglasses, parfum, dan uang tentunya, siap dibawa. Layaknya perbekalan seorang keluarga raja, semua – semua dibawa, maka berangkatlah kami. Menyusul keluarga baru yang ingin ikut, istri dan anak baru pakdeku, rupa – rupanya turut memeriahkan liburan kali ini.



            Menit lebih lima, atau separuh jam, perjalanan ini menemui jalannya. Mobil bergerak menerobos ramainya lalu lintas pagi itu. Mentari bersinar dengan teriknya, pohon yang melambai – lambai di sepanjang jalan, orang juga sibuk bersalam – salaman, apalagi kendaraan berbadan besi, tak capek berputar – putar diatas aspal. Benar – benar ramai. Namun tak satu batang hidung pun polisi yang nampak. Mungkin karena mereka sedang cuti dari jalanan, ingin juga bersantap kue lebaran bersama masing – masing keluarga. Mata ini juga sedang sibuk membaca, menterjemahkan halaman demi halaman, mengerutkan kening memikirkan makna yang ditulis penulisnya, atau sekedar mengetikkan ide – ide besar didepan laptop baru, ya, itulah yang kulakukan diatas mobil. Menikmati perjalanan sembari tak ingin kehilangan waktu sedetikpun untuk menggapai sebongkah mimpi besar.


            Jalanan yang mulai miring, berliku – liku. Berpasang – pasang anak muda yang juga ingin ke S, menikmati indahnya pantai. Batinku, wah, anak muda semuda itu, apalagi seumurku, sudah banyak yang menikah. Tuhan, aku bahkan tak sempat memikirkan akan seberapa tuanya diri ini melajang, but I dont care! Kulihat lagi keluargaku di dalam mobil sangat ceria, bercanda tawa, kemudian mulai mengantuk. Kupasang suara Avril Lavigne, Katy Perry, Owl City, Carly Ray Jepsen di telinga, sungguh lagu yang menginspirasi. Entah kapan aku terakhir mencintai lagu sendiri, Indonesia, rasanya tak nyaman ditelinga. Biar yang lain tertidur, mata ini tetap terjaga. Dan menit sekitar 120 lebih, akhirnya kami sampai di pemandangan indah yang pernah ada. Pasir berwarna putih, bau ikan yang menyengat hasil tangkapan para nelayan giat. Benar – benar panorama yang indah, meski lokal namun tak kalah dengan Hawai. Andai penghargaan semua orang tentang aset lokal benar – benar tinggi, mungkin pantai ini bisa masuk dalam liputan National Geographic. Ah, lagi – lagi menghayal.

            Sampai di pintu masuk, papa mulai membayar semuanya. Sang penjaga pintu menunjuk – nunjukkan jarinya menghitung kami, ya, harga per kepala ternyata dua belas ribu rupiah. Benar – benar kurang ajar bukan main, batinku, tertulis di papan pengumuman per kendaraan, tapi? Aih, dasar kapitalis kecil. Lalu kami masuk. Tak ada penampilan terlalu mencolok disana. Pemandangan indah, look good! Orang – orang yang memang khas indonesia, kekeluargaan, pakaian tertutup, konsumerisme, dan tentu saja berbondong – bondong, I mean that its so big family, mereka ramah.

Ketika kami memarkirkan mobil, hey, ada satu rombong turis disana. Tentu aku hafal sekali, tak mungkin tujuan mereka hanya berpariwisata, tapi juga meneliti kearifan lokal yang ada di pantai itu. Kamera DSLR, sekedar bercakap – cakap dengan turis lokal, melihat – lihat pantai. Pasti mereka penasaran apa – apa yang menjadi adat – istiadat penduduk disana. Apa yang dilakukan orang Indonesia ketika di pantai, tentu akan sangat berbeda dengan pantai – pantai di negara barat sana. Seandainya orang Indonesia melakukan hal yang sama, pasti penghargaan ke tanah air sendiri bakal tinggi, dan tak perlu tolah – toleh ke Hollywoodnya Amerika, atau K-Pop-nya Korea, kita bisa punya identitas sendiri.

Lagi – lagi aku melamun. Tuhan, kenapa kepala ini selalu berisi hal – hal yang tinggi, aku harap bisa mencapainya. Menit lebih lima, kami segera berlari. Papa, adik, pakde dan anaknya berlari ke pantai. Sedang aku, mama, dan bude berjalan – jalan di sekitar tempat penjualan oleh. Wah, ini baru yang dinamakan pariwisata. Ada tempat pembelian oleh – oleh, mungkin juga tempat penginapan, dan tentunya tempat makan, mungkin restauran suatu hari, meski sekarang hanya depot biasa. Pasti yang aku kunjungi dulu orang penjual accesoris, that’s my favorit! Aku beli sebuah gelang yang memang benar – benar bagus, dan di toko harganya bisa berlipat – lipat. Ada juga baju – baju, aku tertarik, tapi mahal! Kalau mama tak tertarik, I say yes too, karena mama yang punya uang. Andai aku yang jadi kapital position, punya rupiah secukupnya, pasti aku beli.

Lalu kami berjalan lagi. Disana toko – toko berjajar, begitupun orang – orang berjalan – jalan memakai pakaian yang memang khas Indonesia, gaya kas pemuda Indonesia. Ada yang terpelajar, hemat, konsumerisme, atau sekedar bergaya tapi tak memiliki rupiah yang cukup untuk membeli – belikan pujaan hatinya sesuatu, atau juga ada yang memang benar – benar terlihat chic menurutku, alias look good, penampilan yang cocok dengan suasana pantai. Ada pula yang memakai baju berwarna hitam, bagus, khas terbaiknya mungkin. Tapi sayang, itu busana untuk pesta malam. Juga beberapa orang lagi berpenampilan busana muslim lengkap seperti akan ada acara halal bihalah di suatu kantor. Oh my god, benar – benar jadi pengamat fashion aku hari itu. Dan aku sendiri, memakai baju hijau panjang, accesoris etnic, sunglasses warna cokelat. Aku rasa benar – benar chic untuk ke pantai. Buktinya, banyak yang melihatku dari bawah ke atas, dari atas ke bawah, entahlah, aku rasa itu cocok.

Selesai berbelanja, kami mengunjungi papa, adik, pakde, dan anaknya di pinggir pantai. Mereka berenang, tertawa terbahak – bahak sembari menyirat – nyiratkan air ke muka – muka manusia yang lain. Aku pun juga tertawa berbahak, apalagi ada orang gila di pinggir pantai. Entahlah dia gila atau sekedar menatap pinggir pantai sembari berjongkok juga ikut tertawa – tawa saat kami tertawa. Hihi. Orang gila yang tak punya pikiran apa – apa selain santai, berjongkok, menatap indahnya dunia sambil tak pernah pusing memikirkan apa beratnya hidup, benar – benar membikin orang yang waras iri. Kami pun juga berfoto – foto ria disana. Layaknya selebriti hollywood yang sedang difoto paparazi, pura – pura tak ada kamera, dan kami terlihat keren, haha!

Puas berfoto, kemudian mandi, membeli mie serta sate, dan makanan kecil lain untuk dilahap. Duduk bersantai di dekat pantai bersama keluarga. Rasanya, tak pernah ingin pulang. Disanapun ada ‘topeng monyet’, tradisi milik Indonesia yang tak pernah hilang ditelan modernnya dunia. Aku memotretnya, sayang tak bagus.

Selesai semuanya bersantai. Tentu kami segera pulang. But, Tuhan, ada kecelakaan sewaktu baru saja keluar dari gerbang. Semua orang seakan terlihat kaget, menutup tangan, dan mencoba menolong keduanya. Antara mobil berkecepatan tinggi yang agak ‘ngawur’ menyetir dengan sepeda yang menyebrang untuk menikmati indahnya pantai. Aku harap it will be okey. Kami meneruskan perjalanan menuju wilayah lain di Kota S, hingga terlalu kebablas hingga taman nasional Baluran, God! But its okey, we were happy. Kami semua senang ada dalam liburan hari itu. Semoga ini menjadi momen yang tak pernah kiamat makna dan kesenangannya. Benar – benar bahagia hari itu.


♠ Posted by Aryni Ayu

Etika (Politik) Jawa: Amung Lamis?



John Pamberton dalam buku On the Subject of “Java” (1994) mengisahkan kegagalan administrasi-politis untuk melakukan riset pada tahun 1980-an tentang hubungan budaya dan politik Jawa dengan rezim Orde Baru (Soeharto). Tema itu diajukan untuk membaca Jawa dalam pemilu 1982. Kegagalan prosedural justru mengantarkan Pamberton pada studi unik untuk membaca Jawa sebagai konstruksi implikatif terkait dengan pelbagai konteks politik, seni, ekonomi, spiritualitas, dan kultural. Jawa pun terpahami dalam tanda petik karena menjadi tanda penting dalam perpolitikan Indonesia tapi tidak terbuka utuh. Jawa selalu mengandung tabir rahasia untuk minta terjemahan atau penafsiran mutakhir sesuai arus jaman.
Kisah kecil dari Pamberton itu patut jadi fragmen awal untuk membaca etika (politik) Jawa saat ini menjelang pemilu. Pamberton penasaran dengan politik semantik Orde Baru dalam memaknai pemilu sebagai “pesta demokrasi”. Pengartian itu adalah ritualisasi politik dengan melibatkan elemen-elemen lahir batin dari rakyat Indonesia. Pemilu di Jawa pun dimaknai dengan pelbagai laku dari jagad batin (sakral) sampai jagad politik (profan).

Laku politik memang membuat sekian orang jadi repot ketika ingin masuk panggung sebagai aktor (caleg). Mereka mesti membuat sekian pertaruhan: pamrih politik, etika, kalkulasi ekonomi, harga diri, status sosial, atau pengabdian. Pertaruhan itu tampak dalam keramaian wajah dan jargon politik di jalan, televisi, koran, radio, rumah, atau ruang publik. Aktor-aktor politik membuat taktik untuk bisa merasa hadir di dalam kehidupan publik. Mereka ingin kehadiran representatif dalam spanduk, poster, baliho, atau iklan menjadi komunikasi intim dengan calon publik pemilih.

Amung lamis?
Pertanyaan pelik: “Bagaimana implikasi laku aktor-aktor politik itu dalam ranah etika politik dan etika Jawa?” Kampanye dengan tebar foto wajah dan jargon politik adalah kelumrahan dalam pasar politik. Sistem dan medium untuk kampanye itu ingin mencapai pada kalkulasi maksimal untuk pemerolehan simpatik dari publik pemilih. Kampanye pun diimbuhi dengan iklan-iklan menggoda dan melenakan di media massa. Kampanye dalam model-model itu memang mengandung spirit demokratis tapi menyimpan dilema etis.

Barangkali orang-orang mahfum bahwa kehadiran foto wajah dan jargon politik dari aktor-aktor politik itu hampir homogen. Mereka minta doa restu dan dukungan. Mereka pun tak lupa memberi janji indah dan melenakan entah demi apa dan siapa. Mereka tanpa sungkan memuji diri sendiri sebagai aktor politik pilihan. Wajah sebagai representasi dalam pengertian E. Levinas adalah makna kehadiran tak terelakkan. Kalimat permintaan dan janji politik adalah tegangan pamrih dan etika politik. Pamrih politik dalam kasus perpolitikan mutakhir kerap menundukkan etika politik. Janji tinggal kenangan ketika kursi sudah tercapai. Etika jadi “amung lamis”. 

Perbedaan kecil tampak dari aktor-aktor politik dalam membuat pola komunikasi dengan pendekatan kejawaan. Beberapa aktor melakukan komunikasi politik melalui instrumen-instrumen Jawa dengan pemanfaatan bahasa Jawa, ikon-ikon Jawa, seni, dan ritual Jawa. Pemanfaatan bahasa Jawa hendak membuka dialog intim dengan nuansa dan politik rasa. Bahasa Jawa mungkin jadi alat untuk membuat aktor dan publik pemilih ada dalam dunia kolektif kejawaan. Rasa politik dengan bahasa Jawa itu kental terasa dalam iklan di radio dan televisi lokal.

Pemakaian ikon-ikon Jawa kerap tampak dalam pakaian, wayang, relief, bangunan, atau motif-motif benda. Ikon-ikon itu menjadi juru bicara untuk mempengaruhi publik atas pencitraan dari aktor politik. Kejawaan jadi komunikasi efektif dan efisien untuk mendekatkan aktor dengan latar kultural Jawa. Foto aktor dalam pakaian khas Jawa tentu menebarkan sihir atau imaji Jawa dengan sekian polesan dan estetisasi untuk meminta perhatian publik. Ikon-ikon Jawa memang dengan mudah dihadirkan aktor politik untuk menjadi spirit dalam merebut suara dari pemilih.

Seni sebagai alat politik sudah memiliki sejarah sejak masa lampau. Pemakaian seni sebagai komunikasi politik di Jawa tampak dalam pertunjukkan wayang, kethoprak, karawitan, campursari, tayuban, dan lain-lain. Seni khas Jawa itu pun kental denga pesan politik untuk kepentingan aktor politik. Pilihan seni sebagai jalan komunikasi cenderung dengan pemahaman ada inklusivitas dan resepsi terselubung dalam relasi aktor politik dan publik. Seni jadi pertaruhan politik dengan embel-embel “nguri-nguri seni” atau seni sebagai pengabdian tanpa pamrih.

Komunikasi politik pun masuk dalam ritual-ritual Jawa. Intervensi itu terjadi dengan dalih memberi spirit atau antusiasme etnis. Ritual sebagai laku lahir-batin untuk nilai-nilai sakral mengalami kebangkrutan dengan intervensi langsung atau tak langsung dari aktor politik. Ritual pun kerap dipakai sebagai legitimasi atau pengesahan melalui mekanisme lain di luar prosedur politik konvensional. Ritual seperti jadi lambaran politik.

Laku Politik
Laku politik dari aktor-aktor politik itu dalam tataran tertentu rentan dengan penabrakkan etika politik dan etika Jawa. Frans Magnis-Suseno dalam Etika Politik (1991) mengartikan etika politik sebagai lambaran etis dalam dimensi kehidupan politis manusia. Etika politik adalah legitimasi untuk laku politik. Pengertian itu bisa dijadikan acuan untuk membaca laku politik dengan pelbagai wajah dan jargon politik. Representasi dan pencitraan diri dalam poster, spanduk, baliho, atau iklan adalah pola politik modern. Pola ini cenderung sebagai narsisisme politik. Politik memusat pada pemujaan individu atas pelbagai hal dari, oleh, dan untuk diri sendiri.
Narsisisme politik itu tentu menjadi peringatan atas etika politik. Aktor politik dengan narsisisme itu bisa sekadar memanfaatkan publik untuk legitimasi politik dengan mengorbankan lambaran etis sebagai juru bicara kepentingan rakyat. Etika dalam narsisime politik ini jadi virus ganas dalam politik dan kehidupan publik dalam anutan etika Jawa. 

Laku politik memang rentan dengan fenomena konflik atau harmoni. Narsisisme politik bisa jadi titik kritis atas nasib politik demokrasi. Etika tentu mungkin jadi kontrol dan kritik untuk laku dan risiko politik. Etika Jawa sebagai anutan dalam politik mengajarkan relasi individu dan publik dengan nilai-nilai untuk harmoni atau keselarasan. Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa (1984) mengingatkan bahwa etika Jawa menganut pada paham rukun dan hormat. Realisasi prinsip-prinsip itu ada dalam pelbagai sisi kehidupan masyarakat Jawa dari kehidupan keluarga sampai kehidupan politik. 

Bisakah etika Jawa jadi anutan dalam politik? Pertanyaan ini pelik ketika dihadapkan dengan realitas politik hari ini. Orang Jawa sebagai aktor politik terkadang lupa atau mengabaikan etika Jawa karena kalkulasi politik praktis dan pragmatis. Aktor politik terkadang menganggap ertika Jawa justru menjadi halangan karena susah dijadikan sebagai spirit untuk pertarungan politik. Pemahaman keliru ini semakin jadi dalih untuk para aktor politik menabrak etika demi lakon politik. Aktor politik dengan implisit dan eksplisit terus melakukan pencitraan diri dengan risiko menantang atau menyaingi aktor lain. Pola persaingan tanpa lambaran etika (politik) Jawa ini mungkin jadi titik awal untuk pemunculan “lakon politik tak etik”.

Dimuat di Suara Merdeka (1 Februari 2o12)