Folklor Di Indonesia

♠ Posted by Aryni Ayu in at 14.38
PENGERTIAN FOLKLOR DI INDONESIA

MASA DAHULU

Pemerintah colonial Belanda telah mendirikan Panitia Kesusastraan Rakyat, dengan maksud untuk mengumpulkan dan menerbitkan kesustraan tradisional, yang banyak terdapat di Indonesia, namun sampai pada masa itu belum dapat diperoleh oleh umum. ( baca Teeuw, 1967 : 13 ).

Para sarjana yang telah meneliti bahan-bahan folklor Indonesia adalah dari disiplin-disiplin filologi, musikologi, antropologi budaya, teologi, pegawai pamong praja klonial Belanda.
Nama para sarjana filologi itu diantaranya G. A. J. Hazeu ( 1897 ), J.Karts ( 1923 ), H. Kern ( 1887 ), R.M. NG. Poerboatjaraka( 1940 ), Tjan Tjoe Siem (1923 ).
Nama para sarjana musikologi diantaranya Jaap Kunts (1959), suami istri C. dan J. Hooykas (1941). Nama sarjana antropologi budaya antara lain B. J .O. Schrieke ( 1921 dan 1922 ) W. H. Rassers (1959). Nama para Teologi antara lain C. Poensen ( 1870 ), J. Kreemer ( 1888 ). Nama para sarjana ilmu tari yaitu K. E. Mershon ( 1971 ) dan I Made Bandem ( 1972 ) Sarjana dan pelukis antara lain Walter sepies ( 1939 )

Kebanyakan mereka itu adalah orang Eropa, berkebangsaan Belanda hasil karya mereka banyak seperti kita baca dalam buku Bibliography of indonesian people and Cultures 1962. Kita dapat memperoleh kesimpulan bahwa pecinta folklor pada masa silam telah menghasilkan pekerjaan yang sangat berharga, karna dapat dijadikan bahan dasar untuk mengembangkan ilmu folklor Indonesia pada masa kini, sayangnya mereka bukan ahli folklor.
Sebagai contoh George Alexander wilken telah menerapkan Teori Efolosi Religi dalam menganalisa kepercayaan Rakyat Indonesia.


1
Kesimpulanya bahwa kepercayaan orang Jawa tentang padi mempunyai jiwa dan adat memangur gigi adalah bekas peninggalan yang tetap masih hidup (suvival) dari jaman animisme dahulu. (Wilken, 1912 ;III, 1-278;IV, 1-36).

W. H. Rassers & J. P. B de Josselin mempergunakan teori strukturalis sosial dalam menganalisis folklor Indonesia. Rassers misalnya menunjukan adanya kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari legenda, upacara dan struktur sosial Jawa. Ia telah menganalisa hal itu, yaitu dalam disertainya Wayang Suaisme, Budisme, legenda & keris Jawa ( Rassers 1959 ).

Josselin de Jong mempelajari mitologi Indonesia berkesimpulan bahwa di dalam sistem kepercayaan orang Indonesia ada 2 sampai 3 macam dewa. Peratama mewakili kebajikan dan kehidupan, kedua mewakili kejahatan dan kematian. Sepasang dewa ini mempunyai sifat berlawanan karena keduanya merupakan aspek-aspek dewa, ketiga dewa tertinggi atau pencipta. Dewa yang memiliki keburukan dan kematian mempunyai sifat dualistis. Disatu pihak ia dihubungkan dengan kematian dan kejahatan sehingga di anggap mendekati sifat manusia yang dapat mati namun dipihak lain ia adalah dewa sehingga dianggap luhur dan baik. Di Jawa sifat dualisme ini dimanifestasikan dalam diri seseorang dewa, yang merupakan penghubung diantara manusia dan para dewa. Dewa ini oleh Josselin De Jong disebut dengan julukan de Godelijk Bedrieger atau dewa penipu ( Josselin de Jong, 1929 ).

H.B Sarkar menggunakan teori Solar Mythology dalam menganalisa legenda Jawa Timur. Ia berkesimpulan bahwa tokoh legendaris Panji sebenarnya melambangkan matahari yang menunggang kuda yang senantiasa memburu kecintaanya, sang bulan yang selalu menghilang. Menurutnya cerita panji adalah mite alam dan tidak ada hubungannya tetomisme dan eksogami ( Sarkar, 1934 :356 ).

L.H. Coster-Wijsman telah mempergunakan teori defusionisme untuk membandingkan mengenai tokoh penipu dalam dongeng Indonesia terutama daerah Pasundan, Jawa Barat. Menurutnya cerita Kabayan berasal dari Turki-Arabia ( Coster-Wijsman 1929 ).
2
Di dalam buku-bukunya yang berjudul Het Sprookje Van Sterke Hans in Indonesia ( dongeng tentang si kuat hans di Indonesia ), telah membuktikan pentingnya penelitian dongeng di Indonesia karena di dalam terkandung banyak sekali motif cerita ( tale motif ) yang juga terdapat di Eropa. Indonesia dan Eropa merupakan adaptasi yang berdiri sendiri dari motif cerita yang sama. Defries menganotasikan dongeng Indonesia dengan mempergunakan Tale Tipe Index dari Antti Aarne dan Stith Thompson.

Philip Frick McKean, seorang menganut eclecticisme meneliti tokoh penipu hewan, sang kancil, telah mempergunakan berbagai macam teori dan metodologi seperti difusionisme dan aliran Finlandia dan strukturalisme. Menurutnya pendekatan strukturalis yang telah dikembangkan Alan Dundes dalam menganalisa dengeng Jawa diungkapkan dimensi penting sistem nilai budaya Indonesia.

Kesimpulanya dari penelitian tokoh sang kancil, McKean berpendapat bahwa orang Jawa selalu mendambakan keselarasan keadaan dan menghargai sifat cerdik yang tenang ( Cool Intelegence ) seperti yang dimiliki sang kancil !

Para ahli Antropologi Belanda pada masa itu, seperti G. A. Wilken, A. C. Kruyt, J. P.B. de Josselin de Jong telah banyak melakukan penelitian folklor demi perkembangan ilmu Antropologi Indonesia kecuali Jan de Vries tidak melakukan penelitian. Hal tersebut berhubungan dengan pendapat di Negeri Belanda pada masa itu yang menganggap bahwa folklor adalah kebudayaan petani, desa Eropa dan bukan kebudayaan orang primitif seperti orang Indonesia pada masa itu. Jan de Vries menjadi penting dalam sejarah perkembangan folklor Indonesia karna ia adalah ahli folklor berkebangsaan Belanda satu-satunya yang mempelajari folklor indonesia.

MASA KINI
Dalam rangka mencari identitas bangsa, pada beberapa tahun ini di pusat maupun di daerah telah timbul kegairahanuntuk mengumpulkan folklor Indonesia. Pada umumnya pengumpulan atau inventarisasi folklor ada 2 macam yakni :

3
Pemgumpulan semua judul karangan ( buku dan artikel ) yang pernah ditulis orang mengenai folklor Indonesia untuk kemudian diterbitkan berupa buku bibliografi folklor Indonesia.
Pengumpulan bahan-bahan folklor langsung dari tutur kata orang-orang anggota kelompok yang empunya folklor dan hasilnya kemudian diterbitkan atau diarsipkan.

Metode pengumpulan untuk inventarisasi macam pertama adalah penelitian di perpustakaan ( Lebrary research ) sedangkam macam kedua adalah penelitian ditempat ( Field research ).
Mengenai tujuan inventarisasi yang pertama ada 2 macam yakni :
a.Menghasilkan bobliografi biasa, yakni buku yang hanya memuat daftar judul-judul karangan mengenai folklor, yang juga mengandung nama pengarang, tempat terbit, tanggal terbit, penerbit, judul karangan saja tanpa diberi anotasinya ( ringkasan isi karanagan )
b. Menghasilkan bibliografi yang beranotasi, yakni buku yang bukan saja mengandung daftar judul-judul karangan mengenai folklor, isi karangan, dan penilaian.

Inventarisasi dengan tujuan membuat bibliografi folklore Indonesia pada masa sebelum tahun 1970, yang mengandung banyak karangan mengenai folklore Indonesia.
Buku yang paling terkenal adalah hasil karya Raymond Kenedy (1962). Dan diperluas oleh Tomas W. Maretzky dan H. Th. Fischer termasuk salah satu buku bibliografi yang terlengkap mengenai karangan-karangan tentang kebudayaan Indonesia sebelum tahun 1960.
Dengan diterbitkanya buku bibliografi beranotasi mengenai folklore Jawa oleh Jemes Panandjaja (1972). Kemudian diturutjejaki sarjana lainya seperti I.G.Ng.Arinton Puja (1973) mengenai folklore Bali, Sugiarto Dakung (1973) mengenai golklor Sunda, dan A.A.M. Kalangie Pandey (1978) mengenai pengobatan rakyat Indonesia.

Setelah perang kemerdekaan Indonesia, dan pihak pemerintahan seperti terbitan-terbitan Lembaga Sejarah dan Antropolofi (d.h. Lembaga Adat Istiadat dan Cerita Rakyat) Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen P dan K, yang berbentuk buku-buku yang berjudul Cerita Rakyat, empat jilid diterbitkan Balai Pustaka (1963-1972).

Di luar negeri koleksi folklore Indonesia dari perpustakaan Universitas Leiden (Pigeid, 1967) terdiri dari kepercayaan, upacara, cerita, prosa rakyat (mite, legenda, dongeng) teater rakyat, musik rakyat. Di Indonesia Arsip semacam itu yang paling menarik adalah koleksi dari Gedong Kirtya di Singaraja, Bali. Arsip ini menarik karena terdiri dari naskah-naskah yang diukir di atas lontar. Gedong Kirtya asalnya yayasan Kirtya Liefrinck-Van der Tuuk (1928) dengan maksud untuk mengumpulkan dan mengarsipkan folklore Bali. Naskah lontar adalah penurunan naskah-naskah lontar yang ada di sana adalah penurunan naskah-naskah lontar asli milik para bangsawan kraton atau merupakan rtanskripsi lansung dari bahan-bahan folklore yang diperoleh tutur kata para informan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali Jawa atau bahasa Bali dan huruf yang digunakan adalah hanacaraka.

Naskah-naskah lontar yang ada di Bali pada umumnya adalah dari jaman sekatang, karena sampai saat ini naskah lontar masih dibuat orang disana. Bahan folklore yang dikumpulkan dalam arsip Gendong Kirtya itu antara lain adalah tentang prosa rakyat seperti satwa, tantri, dan kepercayaan rakyat. Sayangnya pengumpulan ini kurang disertai konteks seperti latar belakang kebudayaan, dan sosial. Yang menurut metode pengumpulan folkor modern mutlak harus dikumpulkan bersama-sama. Departemen P dan K di Jakarta telah mengadakan pengumpulan lagu-lagu rakyat Bugis dari sulawesi Selatan, Ona Niha dari pulau Nias, dan Cirebon dari Jawa Barat. Diantara tahun 1972 dan 1973 di bawah pimpinan James Danandjaja telah diadakan pengumpulan folklor bagi pengarsipan dari beberapa suku bangsa di Indonesia terutama Bali dan Sunda. Pengumpulan ini dilakukan dalam rangka Proyek Tahun Buku internacional yang disponsori oleh pemerintah RI dan UNESCO.

5
Metode tang digunakan Danandjaja sama dengan yang dipergunakan oleh Prof. Dr. Alan Dundes dari Universitas Kalifornia di Berkeley bagi program folklor dan arsip folklornya di sana, yaitu bagi setiap folklor yang dikumpulkan harus disertai dengan keterangan mengenai kontek kebudayaan serta interpretasinya dan juga pendapat informanya mengenai bentuk folklor yang diberikan. Dari pihak pemerintah daerah yang kini telah mempunyai arsip folklor ádalah Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dengan koleksi folklor Betawi.

Dalam rangka Proyek Study Kebudayan Melayu, yang pada tanggal 28-31 Mei 1973 diadakan Seminar Inventarisasi dan Dokumentasi folklor Indonesia yang bersifat nasional di Jakarta, dan di ketuai oleh J. Danandjaja. Salah satu keputusan yang penting adalah usul yang diajukan kepada pemerintah agar secepat mungkin mendirikan pusat folklor Indonesia di Ibu kota RI. Tugas pusat itu adalah mengkoordinasi penelitian folklor di Indonesiayang mencakup pengumpulan, dokumentasi / pengarsipan dan analisa. Seminar yang ke dua diadakan tujuh tahun kemudian yaitu bulan Juli 1980, tujuan seminar itu adalah persiapn untuk mendirikan pusat penelitian folklor. Seminar ke-3 diadakan 2-4 Maret 1982 di Jakarta, bertema menggali dan menyebar luaskan folklor dalam rangka menunjang pembinaan dan pengembangan budaza nasional.

Pada masa setelah kemerdekaan usaha pengumpulan folklor material semakin diintensifkan. Di Ibu kota usaha itu berupa museum-museum folklor, dan yang paling menarik usaha yang dilakukan Yayasan Harapan Kita di bawah pimpinan Ibi Tien Soeharto, yaitu berupa sebuah museum alam terbuka di pasar Rebo Jakarta. Taman mini itu terdiri dari kompleks-komplek rumah adat dari seluruh nusantara dalam bentuk dan ukuran sebenarnya, bahkan ada yang asli hasil pindahan dari daerah asalnya. Bangunan-bangunan itu lengkap diisi dengan perabotan serta alat-alat perlengkapan lainya yang asli yang diambil dari daerah asalnya. Setiap hari selalu diusahakan agar ada kegiatan dibeberapa kompleks rumah adat daerah tertentu, yaitu berupa kesenian atau demonstrasi pembuatan kerajinan tangan tertentu.



6
Museum-museum folklor material lainya yang Sangat penting bagi pengebangan ilmu folklor di Indonesia adalah yang didirikan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Koleksi musiem itu adalah golek cepak Cirebon, wayang golek purwa, wayang golek pakuan, wayang kulit Jawa Tengah, dan Yogyakarta, wayang golek kraton yang berusia 300 tahun dan lain-lain.

KEGUNAAN PENELITIAN FOLKLOR INDONESIA

Sebelum kita mendalami masing-masing bentuk folklore Indonesia, perlu kiranya kita mengetahui dahulu sebab-sebabnya mengapa kita perlu meneliti folklor lisan dan sebagian lisan Indonesia. Sebab utamanya adalah bahwa folklore mengungkapkan kepada kita secara sadar atau tidak sadar, bagimana folknya berpikir. Selain itu folklore juga mengabadikan apa-apa yang dirasakan penting (dalam suatu masa) oleh folk pendukungnya, contohnya adalah pribahasa orang Minangkabau yang berlaku pada suatu masa, dan kita dapat mengetahui norma-norma hidup mereka pada waktu itu.

Hal ini berbeda dengan suatu etnografi, karna suatu etnografi (monografi) lebih merupakan hasil rekonstruksi kebudayaan suatu suku bangsa orang peneliti di tempatnya, sehingga apa yang diabadikan sebenarnya adalah apa yang dianggap penting untuk disoroti dan penelitinya dan bukan yang dirasakan penting untuk disajikan pendukung kebudayaan itu sendiri.

Fungsi itu menurut William R. Bascom, seorang guru besar Emeritus dalam ilmu folklor di universitas Kalifornia di Berkeley yang telah almarhum, ada empat yaitu
a.Sebagai system proyeksi yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif.
b.Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
c.Sebagai alat pendidikn anak.
d.Sebagai alat pemaksa dan dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

0 komentar:

Posting Komentar