Vacuum of Power (Studi Kasus : Indonesia dan Vietnam)

♠ Posted by Aryni Ayu in at 21.06
-Day One-
June, 10 2011


Vacuum of power, ya mungkin Anda membayangkan sebagai sebuah yang “wah” dalam legitimasi kekuasaan. Sebuah pembersih ruangan, ups salah itu kan vacuum cleaner (Becanda). Seraya menikmati music ala Avril Lavigne, Ke$ha, Linkin Park, Daugthry, Ketty Perry, bahkan seorang gila seperti Lady Gaga dan secangkir kemelut cinta yang ada dalam pikiran saya, saya mencoba menghadirkan secercah tulisan di hari pertama ini berjudul “Vacuum of Power”.
Kekosongan kekuasaan, memang sebuah rentang waktu yang istimewa bagi pihak – pihak terkait untuk segera memanfaatkannya dalam kepentingan – kepentingan tertentu. Termasuk di zaman kemerdekaan, vacuum of power tak lekang dari intervensi antara pihak penjajah dengan pihak penuntut kemerdekaan. Kita simak saja saat Jepang yang baru saja bermetamorfosa dari ketradisionalannya saat terisolasi oleh sekat – sekat Tokugawa (yakni masa dimana Jepang menutup diri pada dunia luar) selama 250 tahun berubah menjadi sebuah negara modern yang tentu saja akan diiringi oleh rasa imperialisme, secara menabjubkan keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia 1, dan berhasil memborbardir Pearl Harbour. Ingat kan saat kita menonton film Pearl Harbour? seraya memukul – mukulkan kepalan tangan, membanting remote tv mungkin sangking serunya perang yang sedang terjadi. Ya itulah sebagian besar kejadian sejarah yang dipentaskan kembali dalam segulung kaset rol film. Namun secara spesifik, tulisan ini lebih menekankan momen – momen saat Imperialisme Jepang di negara – negara Asia Tenggara terutama Indonesia dan Vietnam mengalami keruntuhan. Disinilah vacuum of power membuat sejarahnya.
Bak gunung merapi yang akan meledak, seraya magma yang ada didalam perutnya ingin mengeluarkan bara api ke permukaan bumi, disaat itulah Presiden Amerika meledak kemarahannya mendengar Perl Harbour, pelabuhan yang begitu vital bagi warga Amerika di bombardir secara “tiba – tiba” oleh pihak Jepang. Penyebab vital dari pemborbardiran ini salah satunya adalah akibat keinginan Jepang untuk menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Orang – orang bermata sipit ini menganggap bahwa Amerika hanya sebagai batu penghalang yang harus segera dimusnahkan dari jalanan cita – cita mereka. Tepat di sekitar tahun 1942, Jepang yang sebelumnya memang sudah meneliti sejak awal tentang negara – negara di Asia Tenggara, mencoba memanen hasilnya yakni dengan jalan menjajah. Apa yang dijajah disini?tentu akan sedikit berbeda tujuannya dengan negara – negara barat lainnya. Jika imperialis lainnya menginginkan pendudukan yang lebih lama dan sedikit memodernkan negara jajahannya , tidak untuk Jepang. Imperialis Asia ini hanya ingin seonggokan sumber daya alam dan sumber daya manusia sebagai penghasil bahan baku perang. Mengapa harus selalu terlibat perang?karena Jepang ingin menunjukkan eksistensinya sebagai negara modern. Jadi dapat dianalisis bahwa Jepang tidak bisa modern tanpa Asia Tenggara,benar kan?begitu juga dengan imperialis lainnya.
Lanjut ya? nah, di tahun 1942 saat elit – elit, serta tentara – tentara Jepang berbondong – bondong melakukan pendudukan di Asia Tenggara yang tentu harus menggeser structural penjajahan lama negara – negara barat di tanah kolonial, disaat itulah kondisi rakyat telah mengalami modernisasi ditandai dengan adanya kaum radikalisme, yakni kaum pelajar. Otomatis, mereka akan mengerti bagaimana nasionalisme dilakukan. Apakah menggunakan cara – cara pertempuran atau diplomasi?bahkan kedua – duanya pun harus dipersatukan. Pendudukan Jepang di Indonesia secara de facto selama 3,5 tahun saja, dan di Vietnam hal senada pun diungkapkan para sejarawan. Jadi antara negara – negara di Asia Tenggara utamanya Vietnam dan Indonesia, kolonialisme – imperialism (dampak penyakit dari adanya Revolusi Industri Abad – 17 di Eropa) serta vacuum of power berjalan secara hampir berbarengan dan saling terkait. Jepang boleh – boleh saja memperkerjakan rakyat tanpa upah alias kerja rodi di Indonesia, melawan para komunis di Vietnam, serta memerintah jauh lebih kejam dibanding imperialism lain. Namun bak kebakaran jenggot saat mereka kalah dalam perang pasifik, bahkan Perang Dunia II hasil kerjasama antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, ditandai dengan hangusnya dua kota vital yakni Hirosima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Jepang gatot alias gagal total, ditambah lagi dia harus menyerahkan daerah – daerah kolonialnya kepada pihak sekutu.
Sekali lagi saat Jepang disibukkan dengan jadwal perang yang padat, dari Perang Pasifik hingga Perang Dunia II. Disaat itulah kaum terjajah di Indonesia dan Vietnam yang tentunya terdiri dari kaum konservatif dan kaum radikalisme awalnya bertentangan dengan masalah perjuangan kemerdekaan, akhirnya berhasil mengisi suatu vacuum of power. Perlu dicermati disini bahwa vacuum of power (kekosongan kekuasaan) intinya merupakan suatu rentang waktu ketika pemerintahan kolonial mulai mengendurkan pengawasannya terhadap gerak – gerik kemerdekaan di tanah jajahan, begitu pula dengan kepemimpinannya.
Di Indonesia sendiri vacuum of power terjadi sekitar bulan April hingga Agustus 1945. Ketika itu perjuangan kaum muda dibawah pimpinan Bung Tomo, Tan Malaka, dan Sutan Sahrir lebih menitikberatkan perjuangan mereka melalui jalan anti – diplomasi dengan para penjajah. Tak lupa bahwa pada zaman itu juga telah dikenal komunikasi yang sedikit canggih meskipun jumlahnya sangat terbatas, mereka menggunakan radio sebagai media untuk menyuarakan semangat – semangat keras rakyat tentang kemerdekaan. Sebagai penyeimbangnya, kaum konservatif memilih memperjuangkan kemerdekaan dengan cara berunding satu meja dengan para penjajah dibawah kepemimpinan oleh seorang Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Agus Salim. Kedua aliran ini sebenarnya saling bertentangan namun tetap dengan tujuan yang sama yakni Kemerdekaan Republik Indonesia. Maka jangan heran jika peristiwa Rengasdengklok yang terdapat dalam buku – buku sekolah dicap sebagai penculikan para golongan tua (kaum konservatif) demi pembuatan serta penandatanganan naskah kemerdekaan.
Vacuum of Power di Vietnam, tentunya juga tak jauh beda dengan Indonesia. Ada tokoh pejuangnya antara dua pihak yang saling bertentangan, yakni antara Ho Chi Min dengan para pimpinan partai Demokrasi, ada rentang saat kekosongan kekuasaan terjadi. Kekosongan kekuasaan ini tentu terjadi saat masa transisi kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Ho chi Min sebagai pendiri Partai Komunis Vietnam (PKC) semaksimal mungkin memanfaatkan kekosongan waktu tersebut dengan cara merangkul kaum proletar untuk segera ikut dalam perjuangan kemerdekaan dibawah bendera komunis. Deklarasi kemerdekaan mereka tepat 2 bulan setelah Indonesia mengadakan upacara kemerdekaan mereka yang pertama yakni di tanggal 17 Agustus 1945. Namun yang jadi perbedaan disini adalah kemerdekaan Vietnam berada di bawah bendera komunis, dan apa yang terjadi?tentu saja saat Amerika datang, kemerdekaan mereka diusik dan tidak diakui. Ingat bahwa Amerika menjalankan Doktrin Truman, yakni pembendungan Komunis. Akibatnya, rakyat Vietnam harus dua kali memperjuangkan kemerdekaannya post dan pasca perang Vietnam berlangsung.
Begitulah vacuum of power begitu memainkan peranan penting bagi para pejuang kemerdekaan rakyat terjajah untuk membuat sejarahnya.

0 komentar:

Posting Komentar