♠ Posted by Aryni Ayu in Persatuan Bangsa
Bayangkan saja Indonesia masa Orde baru. Rakyat terngiang - ngiang dengan kata sentralistik, lembaga - lembaga fnrmalitas dan Pers yang ‘Bungkam’. Karena hal tersebut membuat rakyat hanya menjadi penonton
Akibat dari semua itu, masyarakat mengalami proses alienasi, yang kemudiah membawa implikasi yang sangat jauh, yaitu terbantuknya sentiment kedaerahan yang berlebihan, sebagaimana dialami sekarang dalam pemerintahan daerah di Indonesia.
Yang harus dilakukan oleh banyak pihak adalah kesadaran baru yang progresif, bahwa bangsa ini dibangun diatas pilar Bhinneka Tunggal Ika
Untuk dunia yang begitu dinamis dan
modern. Tak pernah terbayangkan negara Negara di setiap detail belahannya
memiliki rakyat dengan kultur, bahasa, dan keyakinan yang ragam. Pun secara
politik dan ekonomi dengan kepentingan yang berbeda - beda , kemajuan suatu negara
memiliki pencapaian masing - masing. Entah sudah berapa kali dunia ini mengalami
pergantian zaman. Dari pra aksara jadi aksara, Dari kerajaan menjadi republik
dan republik menjadi global. Sekat setiap zaman memiliki ceritera tersendiri.
Ada yang mengalami pencapaian sangat maju, ada pula sebaliknya. Padahal umur bumi
ini sama bagi seluruh negara.
Bedanya terletak pada mekanisme.
Duverger menyebutkan bahwa Negara maju tidak suatu negara terletak pada
teknologi sebagai determinisme awal, perekonomian, kemudian social budaya yang
mengalami kemajuan, selaras dengan pengurangan konfllik dalam msyarakat di suatu
negara (The Study of Politic 1982). Sudah dapat dipastikan tak seluruhnya
Negara mencapai kemajuan yang sama. Para pakar dunia membagi pakar dunia ke
dalam sebutan dunia pertama, dunia kedua, dan
dunia ketiga. Di lantai pertama terdapat negara maju, kaya dan memiliki
penyelesaian lagi yang sudah tuntas, sebut saja AS dan Cina. Lantai kedua
dihuni oleh Negara Negara sedang dengan pendapatan perkapita yang juga sedang .
Adapun di lantai dunia yang terakhir, Dunia ketiga. Diisi oleh Negara Negara
berkapita rata rata rendah, disparitas teknologi, dan rentan terhadap konflik.
Pencapaian yang memang tidak pernah sama di setiap dunia, tiap negara, beserta
kondisi rakyatnya. Inilah yang dimaksud Pramoedya Ananta Toer sebagai jarak
sejarah. Tampaknya memang sedang dialami Indonesia sebagai dunia ketiga.
Ketika itu tahun 1950-an. Dunia
berada dalam transisi zaman. Sebutan itu masing masing negara pun telah terbit.
Itulah abad ke 20 mengalami sesuatu yang baru dalam sejarah. Munculnya gerakan
- gerakan keras ideologis yang mau menghapus bersih tatanan tradisional
masyarakat, untuk diatas reruntuhannya membangun suatu tatanan baru total,
murni atas dasar ideology masing masing. Apakah ideologi - ideologi itu berada
fasis, komunis, ataupun liberal, tidak mengubah prinsip yang mereka pakai : masyarakat harus ditata baru dari dasar –
dasarnya karena kamilah yang memiliki ajaran benar tentang masyarakat. Tak ada
kompromi antara kebenaran dan kepalsuan, tatanan baru itu seperlunya harus
dipaksakan, atas nama mereka yang tidak mau. Namun fasis hancur, tinggalah
komunis dan liberal yang diwakili oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Tepat
seperti perkataan Daniel Estulin bahwa ketika ada 2 raksasa dunia menghendaki A
dan B,maka manusia yang lebih kecil turut
terbelah ke dalam A dan B. Tak peduli seberapa rumit kondisi Internal
manusia (Baca: social dan ekonomi). Legitimasi dua raksasa itu terus bergerak
massif (The Bilderberg Group, 2006).
Sehingga apa dampaknya? Elite - elite
dari berbagai pelosok dunia tanpa memperhitungkan korban rakyatnya untuk
membangun Negara demi terciptanya ‘Masyarakat sempurna’. Merupakan salah satu
pandangan mengerikan di abad 20. Indonesia bagaimana? Tak luput. Negara Kesatuan
Republik Indonesia saat itu adalah bangsa pluralistrik yang baru saja mengalami
kemerdekaan. Awal kepemimpinan Presiden Soekarno menegakan Indonesia pada National Building. Sebuah Negara
kebangsaan dengan Falsafah Ideologi Pancasila ditengah bangsa yang Bhinneka.
Bagaimanapun caranya Indonesia Harus Menerapkan Demokrasi. Perpolitikan
nasional ketika itu sungguh tak lepas dari pengaruh komunis ataupun liberal.
Sehingga ketika Presiden Soekarno memproklamasikan Demokrasi terpimpin dan
mendukung Partai Komunis Indonesia masyarakat tidak mempunyai peluang
mewujudkan aspirasinya demokrasi terpimpin menjadi nama lain dari
otoritarianisme. Pengaruh Ideologis antar dua Negara raksasa itu rapanya masih
berjalan. Kehadiran Jenderal Soeharto dengan Orde Baru , Syarat dengan dominasi
tentara / militer dalam kehidupan politik nasional, membawa dampak yang sangat
luas bagi disintegrasi bangsa di masa depan.
Bayangkan saja Indonesia masa Orde
baru. Rakyat terngiang - ngiang dengan kata sentralistik, lembaga - lembaga formalitas
dan Pers yang ‘Bungkam’. Karena hal tersebut membuat rakyat hanya menjadi
penonton. Pemerintah berlomba - lomba membangun Negara untuk citra di mata
dunia tanpa melihat penderitaan rakyat mereka. Secara singkat , terjadilah (1)
Disparitas pembangunan , yang saat itu lebih terpusat di kota kota besar , dan
Jawanisasi, perasaan - perasaan masyarakat yang merasa dikucilkan, dan nantinya
menjadi konflik berkepanjangan di masa depan. (2) Pemimpin kepala daerah
bukanlah amanat rakyat, di periode ini jabatan - jabatan penting diisi oleh
militer tanpa memperhatiikan sipil. (3) Rakyat tanpa aspirasi akibat seluruh
kegiatan rakyat saat itu dimonitori oleh pemerintah, mereka semakin asing akan
‘kreativitas’ dan pemanfaatan daerah terbengkalai, ditambah lagi DPRD dan pers
sebagai penyambung lidah rakyat bungkam, maka kepenatan rakyat semakin
bertambah (Syaukani dkk , “Otonomi daerah: 2002”).
Akibat dari semua itu, masyarakat
mengalami proses alienasi, yang kemudiah membawa implikasi yang sangat jauh,
yaitu terbantuknya sentiment kedaerahan yang berlebihan, sebagaimana dialami sekarang
dalam pemerintahan daerah di Indonesia.
Sekedar beristirahat sejenak dari
‘Kepenatan’ yang terjadi di Indonesia di abad 20an. Kini dunia tengah memasuki
era globalisasi, zaman dimana komunisme telah runtuh, teknologi berjalan kian
canggih, dan disini masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge Based Society).
Suatu bentuk tatanan masyarakat ‘Cerdas’ akan IPTEK yang menuntut pencapaian
tinggi, bargaining position yang
menguntungkan dari setiap Negara dan budaya global. Manusia yang saling
ketergantungan (interdependency) satu sama lain, dan kerap mengalami perubahan.
Tak salah kemudian Negara Negara dunia ketiga ‘mau tak mau harus mengikuti
arus’ termasuk Indonesia. Masyarakat Indonesia yang saling ketergantungan (interpendency)
satu sama lain dan kerap mengalami perubahan.
Meski
telah melewati masa – masa yang melelahkan dari transisi Orba menuju Reformasi,
Indonesia tetaplah negara multikulturalistik, dikenal sebagai negara
bersemboyan ‘berbeda – beda tapi tetap satu (Bhinneka Tunggal Ika)’ berdasar Pancasila
sebagai paham dengan wawasan nusantara sebagai ketahanan nasional tentu harus
dipahami oleh setiap warga negara Indonesia untuk tetap melestarikan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Predikatnya
sebagai negara pluralistic bermusabab oleh ragamnya suku, bahasa, agama, dan
budaya. Gugusan kepulauan yang membentuk suatu konfigurasi territorial sebagai
Nusantara. Indonesia yang berjajar dari Sabang hingga Merauke, dengan ragam
budaya terdiri dari 2500 suku bangsa dan 500 bahasa daerah yang tersebar di
Archipelago State menjadi saksi kuatnya kemajemukan bangsa (Wahono Puji,
Laporan Penelitian : Wawasan Nusantara sebagai Suatu Konsep Strategis dalam
Upaya Mewujudkan Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional, hlm. 5 : 1989, Univ.
Jember). Bahkan jika hal ini ditarik hingga garis historisnya, masyarakat
Indonesia telah lama hidup berdampingan dengan kekhasan, keragaman, dan
keberbedaan (diversity) masing – masing.
Ironis,
Indonesia sempat tertatih – tatih di abad 20, akibat benturan ideologis, dan
politis notabene emmperlambat kemajuan bangsa. Seperti yang sudah – sudah pada
penjelasan sebelumnya, hal ini menjadi keterpurukan yang tak pernah usai. Pun
ketika Indonesia dihadapkan pada masa transisi reformasi, otonomi daerah
(desentralisasi) yang diselenggarakan berdasar UU No. 22 tahun 1999 dan UU No.
25 tahun 1999, masih mendapatkan pemahaman yang “keliru” bahwa otonomi adalah
segala – galanya, yang menyeragamkan masyarakat lain yang berbeda,
etnosentrisme berlebihan yang merasa kelompoknya adalah yang paling benar,
serta kebebasan kekuasaan oleh raja – raja kecil (baca : kepala daerah). Hingga
hari ini, konflik – konflik yang terjadi tak pernah lepas dari penderitaan
rakyat di masa lalu.
Determinisme globalisasi rupanya juga
menjadi sebab. Meski dituntut untuk memenuhi knowledge based society, namun
globalisasi menyangkut nilai dan pola hidup. Lewat dirinya, gagasan – gagasan
seperti : hak asasi manusia, demokrasi, ekonomi pasar, tetapi juga cara – cara
produksi, pola – pola konsumsi, dan kebiasaan – kebiasaan rekreatif tertentu,
disebarkan dan diminati dimana – mana. Realitas ini serupa dengan apa yang
disampaikan oleh Franz Magnis Suseno (2006), bahwa peran dominan nilai – nilai
perelasasian diri dan kesejahteraan materiil yang berkaitan dengannya (globalisasi)
di satu pihak mengakibatkan berkurangnya makna bentuk – bentuk social –
tradisional dengan symbol – symbol relijius. Di pihak lainnya, memajukan
otonomi manusia (HAM, demokrasi, pluralism), namun dampaknya ada pada krisis
identitas. Kelompok relijius – tradisonal harus dan mau menjadi follower
kelompok global. Akibatnya, kelas – kelas bawah mengikuti dan dengan menanggapi
konflik kekerasan. Seakan menemui faktanya, hal ini terjadi selama hampir
Indonesia berdiri diatas panji Reformasi, sebelum itu nampaknya bangsa
tertumpah pada satu tujuan sama ditengah keperbedaan. Masih ingatkah saat para
pemuda terdahulu notabene berasal dari ragam suku bersatu membentuk Sumpah
Pemuda tertanggal 28 Oktober 1928. Mereka tidak lagi melihat bangsa Jawa,
bangsa Sunda, ataupun bangsa Batak, yang ada hanya bangsa Indonesia. Iniah
kebhinekaan sesungguhnya. Sangat disayangkan beberapa kepemimpinan hingga hari
ini, iklim pluralistic masyarakat menunjukkan angka kerawanan yang cukup
tinggi, terdapat 143 daerah menjadi daerah rawan konflik social (Tvone, 8 Mei
2012).
Konflik antar etnis yang terjadi di
tanah Papua akibat diskriminasi, akibat tidak menyamakan hak dan kewajiban
warga dengan saudara – saudara mereka yang ada di tanah Jawa, otomatis masalah
keterbelakangan tak mendapat jawaban, dan pertumpahan darah berkepanjangan
terjadi hingga hari ini (Kompas, 22 Juni 2012). Perseteruan antar golongan
agama, sebagai konflik keagamaan radikalistik juga kian mendapat tempat,
seperti yang terjadi pada kasus GKI Yasmin. Konflik kepentingan yang
berlangsung secara vertical antara pihak berwenang ataupun berwajib melawan
kegrariaan. Dalam keadaan seperti ini, ada segmen mayoritas meminggirkan
minoritas, umat tidak seagama, tidak sesuku dianggap orang asing yang harus
dihapuskan. Memang begini adanya, konflik ideology baik secara terbuka ataupun
tertutup ingin mencederai makna keluhuran Ideologi Pancasila, dan kerekatan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dua pilar penting negara.
Jika hal tersebut benar adanya
terjadi, sebagai akibat masa lalu dan dampak tak langsung globalisasi, maka
pluralistic bangsa tinggalah kenangan. Keberbedaan semacam ini menuntut
perpisahan, harusnya keragaman (pluralis) mendapat penghormatan. Memang
Indonesia ruoanya masih berada diambang usia muda demokratisasi, tak menutup
kemungkinan besar didera oleh konflik berkepanjangan, namun pilar kebangsaan
harus tetap berdiri. Benang merahnya, sektarianisme diatas keperbedaan harus
teralienasi dari seluruh pihak.
Yang harus dilakukan oleh banyak
pihak adalah kesadaran baru yang progresif, bahwa bangsa ini dibangun diatas
pilar Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa ini wajibnya dapat mengingat setiap saat,
dimana saja, secara benar bahwa diversity adalah kekayaan, pluralistic menjadi
symbol kemajemukan bangsa, berbeda – beda namun tetap satu jua menjadi semangat
untuk menjunjung tinggi keragaman demi kesatuan bangsa.