Determinisme Bhinneka Tunggal Ika

♠ Posted by Aryni Ayu in

Bayangkan saja Indonesia masa Orde baru. Rakyat terngiang - ngiang dengan kata sentralistik, lembaga - lembaga fnrmalitas dan Pers yang ‘Bungkam’. Karena hal tersebut membuat rakyat hanya menjadi penonton
Akibat dari semua itu, masyarakat mengalami proses alienasi, yang kemudiah membawa implikasi yang sangat jauh, yaitu terbantuknya sentiment kedaerahan yang berlebihan, sebagaimana dialami sekarang dalam pemerintahan daerah di Indonesia.
Yang harus dilakukan oleh banyak pihak adalah kesadaran baru yang progresif, bahwa bangsa ini dibangun diatas pilar Bhinneka Tunggal Ika



Untuk dunia yang begitu dinamis dan modern. Tak pernah terbayangkan negara Negara di setiap detail belahannya memiliki rakyat dengan kultur, bahasa, dan keyakinan yang ragam. Pun secara politik dan ekonomi dengan kepentingan yang berbeda - beda , kemajuan suatu negara memiliki pencapaian masing - masing. Entah sudah berapa kali dunia ini mengalami pergantian zaman. Dari pra aksara jadi aksara, Dari kerajaan menjadi republik dan republik menjadi global. Sekat setiap zaman memiliki ceritera tersendiri. Ada yang mengalami pencapaian sangat maju, ada pula sebaliknya. Padahal umur bumi ini sama bagi seluruh negara.

Bedanya terletak pada mekanisme. Duverger menyebutkan bahwa Negara maju tidak suatu negara terletak pada teknologi sebagai determinisme awal, perekonomian, kemudian social budaya yang mengalami kemajuan, selaras dengan pengurangan konfllik dalam msyarakat di suatu negara (The Study of Politic 1982). Sudah dapat dipastikan tak seluruhnya Negara mencapai kemajuan yang sama. Para pakar dunia membagi pakar dunia ke dalam sebutan dunia pertama, dunia kedua, dan  dunia ketiga. Di lantai pertama terdapat negara maju, kaya dan memiliki penyelesaian lagi yang sudah tuntas, sebut saja AS dan Cina. Lantai kedua dihuni oleh Negara Negara sedang dengan pendapatan perkapita yang juga sedang . Adapun di lantai dunia yang terakhir, Dunia ketiga. Diisi oleh Negara Negara berkapita rata rata rendah, disparitas teknologi, dan rentan terhadap konflik. Pencapaian yang memang tidak pernah sama di setiap dunia, tiap negara, beserta kondisi rakyatnya. Inilah yang dimaksud Pramoedya Ananta Toer sebagai jarak sejarah. Tampaknya memang sedang dialami Indonesia sebagai dunia ketiga.

Ketika itu tahun 1950-an. Dunia berada dalam transisi zaman. Sebutan itu masing masing negara pun telah terbit. Itulah abad ke 20 mengalami sesuatu yang baru dalam sejarah. Munculnya gerakan - gerakan keras ideologis yang mau menghapus bersih tatanan tradisional masyarakat, untuk diatas reruntuhannya membangun suatu tatanan baru total, murni atas dasar ideology masing masing. Apakah ideologi - ideologi itu berada fasis, komunis, ataupun liberal, tidak mengubah prinsip yang mereka pakai : masyarakat harus ditata baru dari dasar – dasarnya karena kamilah yang memiliki ajaran benar tentang masyarakat. Tak ada kompromi antara kebenaran dan kepalsuan, tatanan baru itu seperlunya harus dipaksakan, atas nama mereka yang tidak mau. Namun fasis hancur, tinggalah komunis dan liberal yang diwakili oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Tepat seperti perkataan Daniel Estulin bahwa ketika ada 2 raksasa dunia menghendaki A dan B,maka manusia yang lebih kecil turut  terbelah ke dalam A dan B. Tak peduli seberapa rumit kondisi Internal manusia (Baca: social dan ekonomi). Legitimasi dua raksasa itu terus bergerak massif (The Bilderberg Group, 2006).

Sehingga apa dampaknya? Elite - elite dari berbagai pelosok dunia tanpa memperhitungkan korban rakyatnya untuk membangun Negara demi terciptanya ‘Masyarakat sempurna’. Merupakan salah satu pandangan mengerikan di abad 20. Indonesia bagaimana? Tak luput. Negara Kesatuan Republik Indonesia saat itu adalah bangsa pluralistrik yang baru saja mengalami kemerdekaan. Awal kepemimpinan Presiden Soekarno menegakan Indonesia pada National Building. Sebuah Negara kebangsaan dengan Falsafah Ideologi Pancasila ditengah bangsa yang Bhinneka. Bagaimanapun caranya Indonesia Harus Menerapkan Demokrasi. Perpolitikan nasional ketika itu sungguh tak lepas dari pengaruh komunis ataupun liberal. Sehingga ketika Presiden Soekarno memproklamasikan Demokrasi terpimpin dan mendukung Partai Komunis Indonesia masyarakat tidak mempunyai peluang mewujudkan aspirasinya demokrasi terpimpin menjadi nama lain dari otoritarianisme. Pengaruh Ideologis antar dua Negara raksasa itu rapanya masih berjalan. Kehadiran Jenderal Soeharto dengan Orde Baru , Syarat dengan dominasi tentara / militer dalam kehidupan politik nasional, membawa dampak yang sangat luas bagi disintegrasi bangsa di masa depan.

Bayangkan saja Indonesia masa Orde baru. Rakyat terngiang - ngiang dengan kata sentralistik, lembaga - lembaga formalitas dan Pers yang ‘Bungkam’. Karena hal tersebut membuat rakyat hanya menjadi penonton. Pemerintah berlomba - lomba membangun Negara untuk citra di mata dunia tanpa melihat penderitaan rakyat mereka. Secara singkat , terjadilah (1) Disparitas pembangunan , yang saat itu lebih terpusat di kota kota besar , dan Jawanisasi, perasaan - perasaan masyarakat yang merasa dikucilkan, dan nantinya menjadi konflik berkepanjangan di masa depan. (2) Pemimpin kepala daerah bukanlah amanat rakyat, di periode ini jabatan - jabatan penting diisi oleh militer tanpa memperhatiikan sipil. (3) Rakyat tanpa aspirasi akibat seluruh kegiatan rakyat saat itu dimonitori oleh pemerintah, mereka semakin asing akan ‘kreativitas’ dan pemanfaatan daerah terbengkalai, ditambah lagi DPRD dan pers sebagai penyambung lidah rakyat bungkam, maka kepenatan rakyat semakin bertambah (Syaukani dkk , “Otonomi daerah: 2002”).

Akibat dari semua itu, masyarakat mengalami proses alienasi, yang kemudiah membawa implikasi yang sangat jauh, yaitu terbantuknya sentiment kedaerahan yang berlebihan, sebagaimana dialami sekarang dalam pemerintahan daerah di Indonesia.

Sekedar beristirahat sejenak dari ‘Kepenatan’ yang terjadi di Indonesia di abad 20an. Kini dunia tengah memasuki era globalisasi, zaman dimana komunisme telah runtuh, teknologi berjalan kian canggih, dan disini masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge Based Society). Suatu bentuk tatanan masyarakat ‘Cerdas’ akan IPTEK yang menuntut pencapaian tinggi, bargaining position yang menguntungkan dari setiap Negara dan budaya global. Manusia yang saling ketergantungan (interdependency) satu sama lain, dan kerap mengalami perubahan. Tak salah kemudian Negara Negara dunia ketiga ‘mau tak mau harus mengikuti arus’ termasuk Indonesia. Masyarakat Indonesia yang saling ketergantungan (interpendency) satu sama lain dan kerap mengalami perubahan.

          Meski telah melewati masa – masa yang melelahkan dari transisi Orba menuju Reformasi, Indonesia tetaplah negara multikulturalistik, dikenal sebagai negara bersemboyan ‘berbeda – beda tapi tetap satu (Bhinneka Tunggal Ika)’ berdasar Pancasila sebagai paham dengan wawasan nusantara sebagai ketahanan nasional tentu harus dipahami oleh setiap warga negara Indonesia untuk tetap melestarikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

          Predikatnya sebagai negara pluralistic bermusabab oleh ragamnya suku, bahasa, agama, dan budaya. Gugusan kepulauan yang membentuk suatu konfigurasi territorial sebagai Nusantara. Indonesia yang berjajar dari Sabang hingga Merauke, dengan ragam budaya terdiri dari 2500 suku bangsa dan 500 bahasa daerah yang tersebar di Archipelago State menjadi saksi kuatnya kemajemukan bangsa (Wahono Puji, Laporan Penelitian : Wawasan Nusantara sebagai Suatu Konsep Strategis dalam Upaya Mewujudkan Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional, hlm. 5 : 1989, Univ. Jember). Bahkan jika hal ini ditarik hingga garis historisnya, masyarakat Indonesia telah lama hidup berdampingan dengan kekhasan, keragaman, dan keberbedaan (diversity) masing – masing.

          Ironis, Indonesia sempat tertatih – tatih di abad 20, akibat benturan ideologis, dan politis notabene emmperlambat kemajuan bangsa. Seperti yang sudah – sudah pada penjelasan sebelumnya, hal ini menjadi keterpurukan yang tak pernah usai. Pun ketika Indonesia dihadapkan pada masa transisi reformasi, otonomi daerah (desentralisasi) yang diselenggarakan berdasar UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, masih mendapatkan pemahaman yang “keliru” bahwa otonomi adalah segala – galanya, yang menyeragamkan masyarakat lain yang berbeda, etnosentrisme berlebihan yang merasa kelompoknya adalah yang paling benar, serta kebebasan kekuasaan oleh raja – raja kecil (baca : kepala daerah). Hingga hari ini, konflik – konflik yang terjadi tak pernah lepas dari penderitaan rakyat di masa lalu.

Determinisme globalisasi rupanya juga menjadi sebab. Meski dituntut untuk memenuhi knowledge based society, namun globalisasi menyangkut nilai dan pola hidup. Lewat dirinya, gagasan – gagasan seperti : hak asasi manusia, demokrasi, ekonomi pasar, tetapi juga cara – cara produksi, pola – pola konsumsi, dan kebiasaan – kebiasaan rekreatif tertentu, disebarkan dan diminati dimana – mana. Realitas ini serupa dengan apa yang disampaikan oleh Franz Magnis Suseno (2006), bahwa peran dominan nilai – nilai perelasasian diri dan kesejahteraan materiil yang berkaitan dengannya (globalisasi) di satu pihak mengakibatkan berkurangnya makna bentuk – bentuk social – tradisional dengan symbol – symbol relijius. Di pihak lainnya, memajukan otonomi manusia (HAM, demokrasi, pluralism), namun dampaknya ada pada krisis identitas. Kelompok relijius – tradisonal harus dan mau menjadi follower kelompok global. Akibatnya, kelas – kelas bawah mengikuti dan dengan menanggapi konflik kekerasan. Seakan menemui faktanya, hal ini terjadi selama hampir Indonesia berdiri diatas panji Reformasi, sebelum itu nampaknya bangsa tertumpah pada satu tujuan sama ditengah keperbedaan. Masih ingatkah saat para pemuda terdahulu notabene berasal dari ragam suku bersatu membentuk Sumpah Pemuda tertanggal 28 Oktober 1928. Mereka tidak lagi melihat bangsa Jawa, bangsa Sunda, ataupun bangsa Batak, yang ada hanya bangsa Indonesia. Iniah kebhinekaan sesungguhnya. Sangat disayangkan beberapa kepemimpinan hingga hari ini, iklim pluralistic masyarakat menunjukkan angka kerawanan yang cukup tinggi, terdapat 143 daerah menjadi daerah rawan konflik social (Tvone, 8 Mei 2012).

Konflik antar etnis yang terjadi di tanah Papua akibat diskriminasi, akibat tidak menyamakan hak dan kewajiban warga dengan saudara – saudara mereka yang ada di tanah Jawa, otomatis masalah keterbelakangan tak mendapat jawaban, dan pertumpahan darah berkepanjangan terjadi hingga hari ini (Kompas, 22 Juni 2012). Perseteruan antar golongan agama, sebagai konflik keagamaan radikalistik juga kian mendapat tempat, seperti yang terjadi pada kasus GKI Yasmin. Konflik kepentingan yang berlangsung secara vertical antara pihak berwenang ataupun berwajib melawan kegrariaan. Dalam keadaan seperti ini, ada segmen mayoritas meminggirkan minoritas, umat tidak seagama, tidak sesuku dianggap orang asing yang harus dihapuskan. Memang begini adanya, konflik ideology baik secara terbuka ataupun tertutup ingin mencederai makna keluhuran Ideologi Pancasila, dan kerekatan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dua pilar penting negara.

Jika hal tersebut benar adanya terjadi, sebagai akibat masa lalu dan dampak tak langsung globalisasi, maka pluralistic bangsa tinggalah kenangan. Keberbedaan semacam ini menuntut perpisahan, harusnya keragaman (pluralis) mendapat penghormatan. Memang Indonesia ruoanya masih berada diambang usia muda demokratisasi, tak menutup kemungkinan besar didera oleh konflik berkepanjangan, namun pilar kebangsaan harus tetap berdiri. Benang merahnya, sektarianisme diatas keperbedaan harus teralienasi dari seluruh pihak.

Yang harus dilakukan oleh banyak pihak adalah kesadaran baru yang progresif, bahwa bangsa ini dibangun diatas pilar Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa ini wajibnya dapat mengingat setiap saat, dimana saja, secara benar bahwa diversity adalah kekayaan, pluralistic menjadi symbol kemajemukan bangsa, berbeda – beda namun tetap satu jua menjadi semangat untuk menjunjung tinggi keragaman demi kesatuan bangsa.

Diskursus Krisis Identitas

♠ Posted by Aryni Ayu in

     Adapun di lantai terbawah, dihuni oleh ‘masyarakat’. Mereka bukan orang – orang ‘gagal’ dan ‘putus asa’, melainkan para penanggung “ekonomi rakyat” : para pengolah tanah, penangkap ikan, pekerja di perkebunan dan di pabrik – pabrik, para pegawai bawah dan pengusaha di kaki lima


      Untuk Indonesia, sebuah negara dengan keistimewaan keragaman yang kompleks. Nusantara yang plural akan etnisitas dan kultural, komunitas relijius – tradisional, serta berisi orang – orang indigenous. Tak salah memang jika banyak penulis menyebutnya ‘amazing’, “..her diversity is so amazing”, ungkap Franz Magnis Suseno. Juga tak pernah tepat sasaran jika menganggap perbedaan di Indonesia tak pernah mendapat tempat. Barangkali, ungkapan tersebut hanya melihat dari satu sisi. Relijius yang terlalu fundamentalis, sisi politis, serta ekonomis, besar kemungkinannya hanya demi pengikutan arus globalisasi. Pun sisi – sisi yang lain menjelaskan kekacauan – kekacauan bumi pertiwi. Identitas kebangsaan rupa - rupanya harus menemui tanda tanya. Memang hal ini tak pelak terbantahkan secara radikalis.    
          Indonesia. Sekali lagi sebuah negara, negara dengan keberagaman (plural) yang tak dapat menuntut keseragaman. Berbeda adalah hal biasa dalam wawasan negara – bangsa ini. Ironisnya, mozaik kekacauan mulai ‘bertingkah’ dalam kehidupan bumi pertiwi, bahkan semakin menjadi. Tak terbantahkan secara radikalis memang jika negeri ini sedang ‘kacau’, lagi – lagi karena soal sektarianisme, dan sukuisme. Nuansa disintegrasi dan tribal mulai dirasakan bangsa ini. Tentu masih lekat di pikiran masyarakat soal – soal mengenai kekerasan yang setiap hari menjadi tayangan wajib di berbagai media, cetak ataupun siaran televisi. Berbagai elemen masyarakat dari kaum marhen, intelektual, hingga elit secara vertikal memiliki problematika yang tak jauh berbeda untuk membuat krisis identitas semakin menjadi, rasa kebhinekaan pun kian merosot.
Ibaratkan sebuah gedung bertingkat yang masing – masing tingkat memiliki penghuni. Di lantai atas, ada kaum elit yang setiap harinya mampu ‘menyimpan’ milyaran atau triliunan rupiah, barangkali untuk proyek – proyek seperti Banggar, sekedar menutupi ‘Century’, ataupun menebar citra saat kelalaian terbongkar di depan publik. Di lantai dua terdapat para pebisnis berjumlah 40 juta lebih penghuni yang dapat memfasilitasi anak – anaknya sekedar bersekolah di tingkat tinggi, dan terkadang lebih memilih tak peduli pada konflik – konflik yang sedang berlaku. Adapun di lantai terbawah, dihuni oleh ‘masyarakat’. Mereka bukan orang – orang ‘gagal’ dan ‘putus asa’, melainkan para penanggung “ekonomi rakyat” : para pengolah tanah, penangkap ikan, pekerja di perkebunan dan di pabrik – pabrik, para pegawai bawah dan pengusaha di kaki lima (F.M. Suseno, 2006 : 145).
Disinilah para penghuni lantai tiga dapat menyuarakan reaksi dengan seruan – seruan ideologis praktis yang radikal terhadap elit, ketika negara sedang tak berpihak pada rakyat mudah saja bagi mereka untuk memilih kekerasan sebagai jalan keluar. Bahkan saat gaung globalisasi semakin ‘menggerus’ kedamaian para kaum tradionalis – relijius.
Dalam artian bahwa tak mungkin sebagian besar rakyat di wilayah – wilayah pedalaman indonesia akan mampu menukarkan cara – cara tradisional mereka di berbagai bidang : ekonomi, sosial – budaya, dan kultur  untuk membayar tuntutan dunia global, maka disinilah akan terjadi berbagai konflik. Masalah – masalah kontemporer (akhir – akhir ini) yang belum mendapat penyelesaian : konflik antar suku Papua (Tv.one, 10 Juli 2012), konflik agraria (mesuji), konflik fundamentalisme keagamaan, bahkan degradasi moral generasi, yakni tawuran antar pelajar yang siang hari tadi diberitakan ada dan marak terjadi (Metro tv, 16 Juli 2012). Satu hal yang akan menjadi pertanyaan besar adalah dimana identitas bangsa ini, sudah lenyapkah di tengah dentuman keras globalisasi? Apakah ini yang dinamakan krisis identitas?
Pertanyaan keras diatas seakan semakin memperkuat bahwa problematika bangsa semakin radix (mengakar), dan terjadi bukan karena sebab, ada api ada asap. Jika saat ini konflik menjadi causalitas internal, maka ada ‘globalisasi’ sebagai pihak eksternal yang turut menjadi indikator tersulutnya berbagai konflik yang mengemuka di Indonesia. Globalisasi bahkan tak hanya sekedar artian politis, namun juga mempengaruhi gaya pikir sosial, menyangkut nilai dan pola hidup kita, melalui jalan ini, gagasan – gagasan seperti : hak asasi manusia, demokrasi, ekonomi pasar, pola – pola konsumsi, kemudian disebarkan dan diminati dimana – mana. Ini hanyalah ‘bualan’ lain tentang kebebasan (David Hurvey, “Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis”, 2010 : 1).
Jika tak mampu memfilter, maka identitas bangsa akan mengalami kebingungan. Rasa ke-kitaan dan ke-kamian yang berlebihan karena adanya desentralisasi politis, banyak dari generasi kini bangga akan merek – merek luar negeri menjadi penyebab sifat konsumerisme tingkat tinggi, lalu tekanan dari pihak elit untuk menstadarkan perekonomian lokal dengan internasional agar terhindar dari resesi ekonomi macam Yunani membuat rakyat jelata serba kesusahan. Ditambah lagi struktur sosial tradisional yang mulai berbenturan keras dengan dunia global, mengharuskan mereka bertahan (survive) tanpa lelah, agar komunitas miliknya tak hilang tertelan ruang publik negara yang kian kasar, gersang, dan hambar (Kayan Swastika, “Global Paradoks, Negara Kebangsaan Indonesia, dan Pendidikan Multikultural).
Krisis identitas harusnya tak menjadi disukursus lagi. Ada Bhinneka Tunggal Ika sebagai perekat, the way of life bagi keragaman bangsa, sesanti tiada tara untuk mengatasi berbagai konflik akibat prasangka. Apabila benar – benar direvitalisasi etosnya, maka identitas Indonesia akan stabil, meski terdapat berbagai pengaruh dari yang tak sejalan dengan pandangan hidup bangsa. Meminjam istilah Benedict Anderson tentang ‘imagined communnity’ (1993), yakni seorang individual yang merasa suatu bagian dari komunitas bangsanya. Hal serupa terjadi kala seorang Indonesia memiliki rasa ‘we feeling’ dan ‘kebhinekaan’ terhadap negara – bangsanya sendiri, maka disitulah bangsa yang bermula dari ‘seorang’ akan menggambarkan adanya suatu imaged communities, dan menemukan kembali sejarahnya yang mengikat berbagai suku bangsa di dalam satu kesatuan (integrasi bangsa). 

Bocah itu, Obat Penenangku

♠ Posted by Aryni Ayu in

    “Tapi kan aku ingin bermain?sebisaku. Tolonglah ijinkan aku”

Seolah – olah ingin bukti bahwa yang cacat tak benar – benar cacat. Sebaliknya, yang tampaknya sempurna terkadang cacat.



   Sore ini, berjalan menyusuri sebuah lapang berlumuran hijau. Menikmati sajian oranyenya mentari yang berpulang, menengguk secangkir ketenangan, dan membuyarkan pikiran dangkal. Oh, benar – benar sore yang aku impikan. Andai saja aku seorang Angelina J atau Avril Lavigne, akan aku beber karpet merah ala Hollywood di pinggiran lapangan layaknya kaki lima, agar semua orang bisa memotret wajah tenang ini. Tapi sayangnya, aku mengkhayal, ketenangan yang palsu!
Inginku mendongkrak pikiran – pikiran gila tentang cinta ini, agar aku tak gila, agar aku kembali waras. Kembali menyeruput setetes dua tetes kegilaan. Melamunkan seorang pangeran datang, menggandeng tanganku, dan membawaku ke istananya, bukan untuk jadi tukang cuci piring, tapi jadi permaisuri. Lalu aku berkuda bersamanya, menyanyi bersama, atau sekedar bersendau gurau. Mendambakan dirinya sebagai belahan jiwa sekaligus guru. Ah, khayalan bodohku yang indah. Bukankah akhir dari romeo dan juliet selalu bahagia?
Kaki ini terus berjalan bagai model di catwalk. Berusaha tersenyum diantara gerumunan orang, dan semakin lebar saat kedipan kamera mengintai. Persis seperti hidupku. Lamunan yang tak terbatas, tak sadar aku telah memimpikan hal – hal muluk, tentang sang cinta. Pikiran ini memang semburat. Tahukan tempat sampah yang terurai berurai di depan rumah? Seperti itulah otakku, perlu disusun kembali. Sambil terus kosong menatap hijaunya lapang, beberapa lelaki mendadak menghampiriku. Dari paras tampan hingga hancur, dari berbudiman hingga amoral, dari pendiam sampai urakan semua serba ada. Bernar – benar toserba. Rupanya sanggup membuyarkan konsentrasiku. Wajah ini pun tersenyum sembari menatap wajah – wajah mana yang tak bertopeng.    
Langkah terus berjalan, tanpa menghiraukan dan mendadak terhenti. Kembali aku berusaha menenangkan semburat ini. Bersama lelaki – lelaki itu, aku melihat seorang kecil mendekati kawan – kawannya. Masih bocah pikirku. Tetapi ada sesuatu ketenangan disana, ada usaha yang amat sangat diusahakan dibalik kebocahannya. Aku mendekat, siapa  tahu ada obat penenang. Siapa tahu diantara laki – laki ini tahu makna yang aku lihat.
Si bocah menegosiasikan sesuatu. Terdengar gumaman dari rekan – rekan kecilnya. “Untuk apa mau bermain? Kan kau sudah ditolak di kelompok seumurmu?” “Tapi kan aku ingin bermain?sebisaku. Tolonglah ijinkan aku”. Rekan – rekannya mulai berpikir, meringsutkan keningnya. Satu menatapnya lirih. Satu tak tahu apa – apa. Yang lain, sibuk berdiskusi. Sungguh pemandangan bagus. Benar – benar menghenyakkan dan menenangkan. Andai aku bisa melukis, ingin kugambarkan sosoknya yang sempurna, sosok ideal agar dirinya tak dipandang lirih.
Tak segera bermain, cukup menunggu lama. Sebelum menemui rekan – rekan kecil itu. Rupanya, dia sedang mengayun – ayunkan tongkat kakinya. Berusaha mengambil bola saat lawan mainnya adalah bocah seusianya. Ya, aku melihat itu. Namun sayang, mungkin karena kekurangannya itu, dirinya lalu terdampar. Dikeluarkan dari kelompok. Yah, andai khayalan seorang anak kecil setinggi langit, tak bisa kubayangkan ketika dirinya mungkin sebagai Ronaldo kecil dikeluarkan dari klub besar dunia karena cacat. Betapa hancur sang harapan.
Langkah demi selangkah kudekatkan diri agar terlihat jelas drama itu. Pun lelaki – lelaki yang ada disampingku tadi, ternyata mulai menjauh. Nampaklah hanya dua tersisa. Ya, mungkin mereka tidak tahu maksudku. Jika bertopeng, maka yang tampak hanyalah pemandangan tak penting seorang wanita. Topeng – topeng itu kemudian bertanya, “sedang apa wanita yang sedang kudekati ini? Bukankah seharusnya dia memperhatikanku? Bukan menonton segerombolan bocah kecil. Wanita itu harus membuat kesan yang baik, seolah tertarik. Apa yang dia pikirkan?”
Begitu topeng – topeng itu pergi. Aku mulai tahu mereka tak pernah tahu diriku. Tak pernah tahu apa yang sedang aku lihat. Pun terlalu dangkal melihat sebuah pemandangan. Yang mereka tahu, seorang wanita impiannya harus berkesan baik didepannya, bukan mengalihkannya. Padahal, kebaikan sesungguhnya, tak akan pernah ditemukan di bagian terluar. Dua lelaki yang tersisa, mereka mau tahu dan peduli tentang apa yang kulakukan. Tinggal aku, yang harus memilih seorang pangeran.
Setelah dramaku usai. Drama itu pun kembali berjalan. Human interest ini tak akan pernah aku sia – siakan. Si bocah kecilku ini rupanya diijinkan untuk bergabung. Seolah – olah ingin bukti bahwa yang cacat tak benar – benar cacat. Sebaliknya, yang tampaknya sempurna terkadang cacat. Dan aku melihat bocah itu tak dilihat dari bocahnya, tapi inginnya. Sungguh memberikanku obat penenang. Seolah otakku telah tersusun rapi, tak lagi semburat. Orang yang benar – benar berusaha dan benar usahanya, harus diberi kesempatan. Tak pandang dia mendekati sempurna atau tidak.


The Walking Internet, Strategisitas bagi Pendidikan

♠ Posted by Aryni Ayu
       Kaleidoskop perkembangan dan pemanfaatan teknologi yang terjadi di berbagai belahan dunia, nyata menjadi hasil dari pesatnya arus globalisasi. UNESCO mengumumkan bahwa sepenuhnya kemajuan dunia hingga hari ini dipengaruhi oleh pesat tidaknya perkembangan teknologi, yang dimotori oleh manusia dan manajerisasi cerdas. Globalisasi sendiri, dinyatakan oleh berbagai negara sebagai induk perubahan. Globalisasi didefinisikan sebagai pusat kekuatan dunia yang mengarah pada satu tempat dan tujuan bersama. Melalui kecanggihan teknologi dan informasi, diversity (keberbedaan) yang ada dalam banyak masyarakat internasional menyatu dalam kebersamaan (corporation). Hal ini tentang berbagai pandangan budaya, bahasa, agama, adat – istiadat, serta sisi kehidupan masyarakat lain, kesemuanya mengarah pada satu tempat dan tujuan bersama. Dunia seakan saling terhubung untuk berkomunikasi, berkompetensi, dan memenuhi kebutuhan satu sama lain. Alasannya jelas, pasar dunia yang kini telah mengglobal (luas dan satu) berpotensi tinggi untuk mempengaruhi hampir di segala aspek kehidupan masing – masing negara. Sejak itulah masyarakat mulai terarah pada kecenderungan informasi dan komunikasi.

Masyarakat Berbasis Pengetahuan (Knowledge Based Society)
         Globalisasi mengubah arus peradababan masyarakat dunia. Tiada satu pun orang di dunia ini yang tidak membutuhkan keduanya. Bahkan seorang petani di Korea Selatan, penduduk di Cina, sangat bergantung pada kecanggihan teknologi yang disediakan oleh globalisasi. Dua perwakilan dari dunia timur ini, nampaknya cukup menggambarkan sebuah masyarakat yang bergantung pada informasi dan komunikasi dari teknologi itu sendiri. Sejak tahun 1997, era awal kepopuleran komputer. Para pebisnis, praktisi dan tenaga pendidik, ekonom, politikus, sejarawan, bahkan civil society di hampir semua belahan dunia membutuhkan teknologi, informasi, dan komunikasi untuk hidup. Berdasarkan fakta inilah, PBB mengeluarkan pernyataan bahwa masyarakat dunia kini tengah menuju masyarakat berbasis pengetahuan atau knowledge based society. Pernyataan ini kemudian diimplementasikan dalam setiap peraturan, dan rencana strategis di masing – masing negara, secara adaptif dan kondisional. Apa yang terjadi, bahwa setiap pemerintahan di dunia memiliki kewajiban untuk mewujudkan knowledge based society demi terlaksananya suatu tujuan bersama dalam rancangan globalisasi. Hal yang sama terjadi di Indonesia dan sedapat mungkin pemanfaatan teknologi digital harus dilaksanakan. Masyarakat kini berada di tengah arus deras globalisasi, maka adalah keharusan untuk menunjukkan sebuah balance kemajuan pada dunia internasional. Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wiryawan, beliau menggambarkan Indonesia ke depan haruslah menjadi negara dengan masyarakat yang berbasis pengetahuan (knowledge based society), Indonesia tahun 2020 (tvone, Maret 2012). Bagaimana kriteria dari masyarakat berbasis pengetahuan tersebut diantaranya : 1) Manusia Indonesia yang sadar bahwa teknologi informasi, 2) Manusia Indonesia yang tahu bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat internasional, bagian dari dunia, 3) Manusia Indonesia yang sadar jika dunia bertambah sempit, maka persaingan semakin tinggi, 4) Manusia Indonesia yang mampu menjunjung tinggi solidaritas dan kedamaian, 5) Manusia Indonesia yang sadar bahwa pendidikan adalah akar dari kemajuan bangsa. Kriteria – criteria ini sebagai indicator tercapainya kemajuan bangsa, apalagi jika tidak berbasis pada masyarakat pengetahuan. Pemerintah harus cerdas dalam mengatur detail ini. ada peribahasa the devil are in detail, bahwa detail yang salah dan tidak tepat dapat menghancurkan segalanya. Indonesia dalam tataran realita, adalah salah satu negara di dunia ketiga yang tak luput dari perputaran arus globalisasi. Berawal dari kebijakan politik yang melegalkan globalisasi sebagai masa depan Indonesia untuk selanjutnya. Legalisasi globalisasi lalu terjadi di berbagai bidang kehidupan bangsa Indonesia. Di bidang perekonomian, pertanian, pendidikan, sosial – budaya, dan teknologi informasi, demam globalisasi terus berkembang. Fakta ini dapat dicermati ketika Indonesia mulai membuka pasar bebasnya dengan negara Cina di tahun 2010. Hasilnya, banyak sekali produk – produk Cina, dan produk negara lainnya yang beredar di pasaran Indonesia. Dari produk makanan, teknologi, pengetahuan, hingga memasuki gaya hidup, hampir secara keseluruhan menjadi tren peradaban bangsa. Kepemilikan modal (modal save) dalam system perekonomian Indonesia yang seharusnya cenderung pada pengutamaan kemakmuran khalayak umum, kini berubah menjadi serba privatisasi milik perseorangan. Modal kapitalistik yang cenderung berpusat pada uang, senantiasa menjadi pemenang segalanya. Ini terlihat pada tataran implementasi Indonesia saat ini. Hampir di berbagai bidang kehidupan, modal menentukan. Ini yang nantinya menjadi penghambat utama terwujudnya masyarakat berbasis pengetahuan. Alasannya adalah karena yang hal yang sama kemudian terjadi pada bidang pendidikan

Pendidikan, Akar Kemajuan Bangsa
          Pendidikan adalah akar dari kemajuan bangsa. Tanpa pendidikan, dunia akan hampa. Kehampaan itulah nantinya menjadi persoalan yang tak kunjung selesai. Asri Budiningsih (Belajar dan Pembelajaran, 2005) mengatakan bahwa bangsa yang ingin maju, membangun, dan berusaha memperbaiki keadaan masyarakat dan dunia, tentu mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci. Tanpa kunci, usaha – usaha mereka akan gagal. Kunci itu harus berbalut erat dengan ranah kehidupan bangsa, yakni Indonesia. Jika kunci itu hilang bercampur dengan kepentingan kapitalistik, maka Indonesia akan kesulitan mensejajarkan dirinya dengan negara – negara lain dalam lingkup masyarakat pengetahuan. Persoalan cukup pelik yang sedang dialami dunia pendidikan Indonesia sekarang adalah minimnya kualitas dan mahalnya biaya pendidikan. Ini dibuktikan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada level 0,617 pada tahun 2011 dengan posisi peringkat pada nomer 124 dari 187 negara di dunia. UNESCO menyatakan tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia semakin menurun. Dalam jangka waktu lima tahun, sejak tahun 2005 sampai tahun 2010, Indonesia mengalami penurunan hingga empat peringkat, yakni peringkat ke-107 pada tahun 2005 dan tahun 2010 peringkat ke-111. Senada dengan Indeks Pengembangan Pendidikan (Education Development Index) yang juga mengalami penurunan peringkat dari 65 pada tahun 2010 lalu menjadi 69 pada tahun ini. Padahal, kemampuan minat baca di Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia, seperti yang telah disebutkan dalam Harian Kompas tertanggal 3 Maret 2011 lalu. Rangkaian penelitian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari kata ‘sejajar’ dengan negara – negara dunia. Akar permasalahannya terletak pada kebijakan pemerintah. Sejak diterapkannya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pendidikan berubah statusnya. Dari kepemilikan public menjadi kepemilikan pribadi. Terjadilah privatisasi pendidikan, menjadi bukti melemahnya negara dalam komunikasi massa. Hal senada dituturkan pengamat Ekonomi Revrisond Bawair, bahwa privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme glonbal yang telah dirancang lama oleh negara – negara donor lewat Bank Dunia. Melalui RUU BHP pemerintah mewujudkan privatisasi pendidikan. Dalam artian bahwa privatisasi ini dilakukan dengan sebuah pressure (tekanan) untuk membayar hutang kenegaraan yang setiap tahunnya diambil 35% – 40% dari APBN. Jelas sekali berakibat pada pihak – pihak sekolah melalui komite lalu menaikkan anggaran pendidikan kepada siswa, karena komersialisasi diserahkan secara independen kepada pihak pelaksana pendidikan. Berada dibalik semboyan ‘pendidikan bermutu adalah pendidikan mahal (hasil wawancara di sekolah – sekolah perkotaan, 2012)’, dapat dipastikan rakyat kecil semakin terpuruk. Siswa yang berada dalam kategori kurang mampu akan mengalami keterbatasan pelayanan pendidikan, berikut dengan teknologi informasi yang terdapat didalamnya. Meski di sisi lain pemerintah telah memberikan dana bantuan operasional sekolah, namun disparitas tetap terjadi. Padahal di negara Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya banyak sekolah yang berbiaya rendah namun berkualitas tinggi, bahkan ada yang menerapkan free cost education (pendidikan gratis). Devil are in detail, pemerintah melakukan detail yang tidak tepat, bagaimana akibatnya, membuat pendidikan semakin sulit mewujudkan masyarakat pengetahuan (knowledge based society).
       Kesenjangan pengetahuan (knowledge divide) dan kesenjangan teknologi (digital divide) kemudian menjadi persoalan selanjutnya yang tak kalah krusial dalam dunia pendidikan. Antara knowledge divide dengan digital divide, semakin tampak pada sekolah – sekolah yang berada jauh dari perkotaan. Hanya satu dari sepuluh siswa yang dapat menikmati sarana dan prasarana pendidikan (www.jurnalnasional.com). Internet, sebagai salah satu pengetahuan berjalan yang menjadi kunci berkembangnya globalisasi di kalangan masyarakat internasional, rupanya masih menjadi barang langka bagi para siswa kurang mampu di pelosok Indonesia. Dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono desember 2011, menyatakan bahwa pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Introdusir pemerintah untuk melaksanakan titah ini, salah satunya dengan jalan meneterapkan teknologi, informasi dan komunikasi dalam pendidikan. Pihak pemerintah pun sudah memiliki kerjasama dengan pihak swasta (utamanya pelaku bisnis telekomunikasi) untuk bergotong royong memajukan pendidikan Indonesia.

The Walking Internet 
        Ada slogan ‘Internet untuk rakyat’, ‘internet untuk guru’, dan lain sebagainya. Memang kerjasama ini membantu upaya pemerintah untuk berusaha memeratakan pendidikan dan teknologi. Ironis, kerjasama yang ada belum terealisasi benar adanya, kemungkinan besar bisnis yang lebih dikedepankan. Banyaknya sekolah – sekolah pelosok yang ‘tersandung’ ketidaktahuan teknologi dan informasi, menjadi saksi bahwa pemerataan pendidikan belum berjalan. Adapun mobil internet keliling yang sudah digalakkan akhir tahun lalu di daerah Kalimantan Timur dengan sasaran rakyat menengah kebawah, tetapi tetap saja pemakaiannya tidak bebas dari biaya. Tentu saja ini akan membebani rakyat, dan mereka akan berpikir lebih baik bekerja kembali daripada memakai benda yang masih asing bagi mereka. Internet keliling memang ide untuk pemanfaatan yang baik, lebih baik lagi jika konsepnya mengarah pada kemajuan pendidikan demi tercapainya knowledge based society, serta sasaran yang ditujukan kepada sekolah – sekolah pelosok, notabene jauh dari jangkauan informasi tanpa harus membayar se – sen pun. Inilah yang dinamakan ‘The Walking Internet’. Globalisasi yang menuntut masyarakat serba bisa, professional, dan berpengetahuan. Indonesia dengan berbagai komplektisitas permasalahan yang terjadi terhadap dunia pendidikan. Secara ekslplisit akan membutuhkan The Walking Internet sebagai mediator komunikasi untuk menyampaikan pesan – pesan penting dari Indonesia dan dunia mengenai segala hal yang terjadi diluar sana. Ini adalah nyata untuk pemanfaatan teknologi digital bagi Indonesia. Demi tercapainya kemajuan bangsa, maka harus disadari pentingnya sebuah ide dan pemanfaatan “The Walking Internet”.
          The Walking Internet, sekali lagi sebagai ide, katalisator bahkan guna memaksimalkan pemanfaatan teknologi digital bagi Indonesia. Dengan mengelilingkan ‘internet’ dengan sebuah mobil berkapasitas high tech dan desain yang fleksibel. Desain The Walking Internet yang berfungsi sebagai mobil sosialisasi, dan edukasi. Minibus / mobil ini sebagai sarana sosialisasi internet pada sekolah – sekolah yang dinilai cukup menerima akses informasi pengetahuan dan teknologi, sebagai berikut : a.Desain eksterior minibus / mobil The Walking Internet dengan memakai konsep internet cepat yang dapat diaplikasikan pada desain eksterior attractive. Unit The Walking Intenet juga dilengkapi dengan fasilitas hotspot, sehingga pengunjung di sekitar area dapat melakukan aktivitas internet langsung dengan alat mereka sendiri yang kompatibel, dengan teknologi wifi, misalnya menggunakan laptop atau handphone. Juga dapat menilai langsung kualitas wifi.
b.Desain eksterior
Unit The Walking Internet juga didesain lebih educative, hal ini dapat diaplikasikan dengan mengubah tempatt layanan internet gratis di luar dan di dalam kabin, sehingga terlihat oleh masyarakat lebih komunikatif dan lebih mengundang.
       Selain itu, dengan menggunakan teknologi tinggi (high tech) berupa nirkabel menggunakan teknologi WLAN radius 4 - 6 km dengan antena omnidirectional 24 dbi, Access Point dan tower minimal 32 m di titik NOC, akses akan semakin cepat notabene menjadi indikator pemaksimalan teknologi digital.
       The Walking Internet akan menjadi titik terang bagi ketidakmerataan teknologi (digital devide), adalah jawaban terhadap segala upaya berbagai pihak untuk mencerdaskan anak bangsa melalui teknologi. Internet tak akan lagi menjadi benda asing bagi anak didik dan sekolah – sekolah yang terpinggirkan. Pun usaha maksimal dari banyak pihak untuk mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital tak akan sia – sia, melainkan berbuah emas, karena teknologi adalah untuk pendidikan, untuk Indonesia.


Artikel ini aku persembahkan untuk Komunitas Ngawur (http://www.ngawur.org/) didukung Pusat Teknologi (http://pusatteknologi.com) dan Blogger Nusantara (http://bloggernusantara.com)

Karnaval Mini Desa Rowosari Located : Kec. Ajung, Kab. Jember

♠ Posted by Aryni Ayu in
Aku lihat pakaian mereka yang benar – benar elektrik, dan lebih dari layak untuk sebuah marching band. Pun dentuman alat – alat musik indah selaras dengan sang pemimpin marcing band Aryni Ayu
Tak terasa sore ini begitu cerah. Langit tak menampakkan jeritan gelapnya, pun matahari enggan meninggalkan sang oranye. Jalanan setengah sesak oleh kendaran berbadan besi. Orang – orang berlalu lalang. Satu mencuci kendaraannya pinggir jalan sembari meringis ketika tubuh ini lewat, satu lagi tampak mengusir – usir burung penganggu di sawah. Aku pun terus berjalan melewati jalanan panjang sekitar berkilo – kilo meter. Tapi jauhnya tak terasa selama bersama seorang rekan, rekan kesukaanku. Muka ini terus berpapas – papas dengan orang di desa itu, senyum mereka, kernyitan dahi, dan tawa bebas mereka, seakan- akan tak pernah terpikir untuk mengejar seonggok Rupiah, berbeda dengan wakil – wakil mereka di kursi jabatan, memang terlahir untuk Rupiah! Semakin lama berjalan, semakin ramai pula jalanan ini. Kadang kendaraan berbadan gajah pun lewat, meraungkan suara belnya yang keras ke depan telingaku, sial! Pikirnya aku ini sudah renta apa, huh! Kesal memang, tapi biarlah. Andai aku spiderman, kulemparkan tubuhmu sampai ke Bunderan HI, tempat kubangan kendaraan mabuk! Kuteruskan saja jalanku, menuju sebuah desa. Desa memang sebutannya, tapi sudah beraspal. Maklum, desa ini adalah kunjunganku kepada teman – teman yang sedang mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat, lagi – lagi bersama rekanku. Rekan yang aku suka! Lima sekitar menit, sampailah di sebuah kantor desa. Tertulis besar – besar di sebuah besi bernama baliho, “Desa Rowosari kecamatan Ajung Kabupaten Jember”, ya inilah sebutan desa itu. Sungguh ‘ndeso’ yang cukup maju menurut kacamataku, cukup banyak pemuda pemudi bersekolah, dan cukup segerombolan manusia intelektual yang mengabdikan diri disana. Tak lupa memperkenalkan diriku dengan kaum intelektual yang mengabdikan diri. Ya kaum intelektual, alias mahasiswa. Mereka seumur dua umur lebih tua dariku, tapi aku tetap ingin belajar dari mereka, belajar pengalaman. Sembari mencakapkan banyak hal, aku pun tak bisa tenang jika tidak mendekatkan diri pada sekelompok bocah – bocah riang di tempat itu. Wajah mereka semakin ceria saat kuajak berfoto – foto ria, benar – benar manis!
Keasyikan ini tiba – tiba tergerai saat datang segerombolan suara, memecah gemuruh sorak sorai kami. Aku pun menoleh layaknya artis yang terkaget – kaget ketika dirinya berada di red carpet hollywood. Dasar memang diriku yang suka keartisan. Diri ini masih terkaget, takut – takut ada paparazi lewat! Tapi khayalan yang bodoh ini langsung buyar. Kekagetan pun belum berhenti, takjub pun iya. Munculah segerombolan marching band ala Dewa Rowosari. Tak begitu banyak memang, tapi sederhana, indah, dan mini aku menyebutnya.
Orang – orang segera berduyun – duyun datang melihat. Ibu – ibu lupa akan kompornya, bapak – bapak lupa akan cangkulnya, apalagi anak – anak yang lupa akan tangisnya. Aku dan rekanku, Yusuf namanya. Yang sibuk bercakap – cakap, pun dengan rayuan mautnya, juga hampir lupa dengan bakso yang kami makan, untungnya lapar sedang mendera! Sembari makan, aku pun memotret.
Bakso yang dilahap belum menemui habisnya, rekanku, Yusuf berusaha mewawancarai penduduk sekitar. Karnaval ini nyatanya diselenggarakan bukan untuk acara pesta apapun, melainkan untuk menyambut sebuah kegiatan pengajian menyambut Sya’ban, notabene memang menjadi tradisi turun – temurun, dari tahun bahula. Biasanya, karnaval sejenis ini hanya terdapat di pusat kota Jember, atau sekiranya daerah yang masih disebut kota. Beda ini tapi. Karnaval mini ini ternyata diikuti oleh sekolah – sekolah di desa setempat. Dari anak – anak yang masih berjubel dengan ‘emaknya’ sampai remaja yang sedang berindah – indahan dengan cinta, semua terlibat didalamnya. Entah siapa yang punya ide brilian ini. Aku lihat pakaian mereka yang benar – benar elektrik, dan lebih dari layak untuk sebuah marching band. Pun dentuman alat – alat musik indah selaras dengan sang pemimpin marcing band. Pantas untuk memperoleh penghargaan besar. Seluruh desa itu wajib melihatnya. Apalagi dunia, harus melihat ini, tradisi Rowosari ini. Tradisi yang memang tak boleh surut oleh banyaknya sajian kapitalistik di dunia yang kian mengglobal. Banyak konflik memang, tapi tradisi tak boleh ikut berkonflik. Indonesia memang plural. Dari desa hingga kota hingga metropolitan, punya budaya, punya tradisinya sendiri. Memang Indonesiaku multikulturalistik, berbeda dan beragam adatnya, tapi indah!
Penulis
Pewawancara

IDE, I miss u!

♠ Posted by Aryni Ayu
Berusaha mengukir prestasi di umur manusia yang mulai dewasa ini, 21? Ah, sudah waktunya bersinar! Aku tak tahu apa yang harus kupikirkan. Ketika melihat kertas – kertas berserakan di lantai, musik cadas menyala kerasnya menggetarkan gendang telinga, tak lupa rambut yang rontok, untung tak botak, rupanya belum cukup memberi ide kepada sang juru tulis. Aku tak tahu apa yang harus aku tulis. Mengetikkan jemari kesana – kemari diatas tombol – tombol ketik, ada hasil tapi belum memuaskan. Sang juru tulis rupa – rupanya menginginkan sepatah banyak patah perfeksionitas. “Berani karena Ngawur”, “Anak Semua Bangsa”, “Laki – Laki Lain dalam Secarik Surat”, judul – judul itu rupanya tergolek lemas. Karangan sang pujangga Sujiwo Tejo, Pramoedya Ananta Toer, dan Budi Darma itu rupanya memanggil – manggil namaku untuk segera membaca tubuhnya. Oh maaf sobat, kali ini aku harus serius dengan esayku, tak ada maksud meng-anaktiri-kan, tapi ini harus selesai tepat waktu. Tik tok! Detik selalu berhasrat lari menjauhi waktu. Dendangan lagu di winamp pun terus berputar, sama seperti suaraku yang terus mengalun – alun hingga 12 lagu lebih, rupanya si Ide belum muncul juga. Ide, dimana kau ide? Munculah! Jangan kemana – mana, jangan menonton sorak sorai di alun – alun Bupati Jembrek. Tahu kah kau Ide? Segerombolan manusia disana sedang saksikan siaran langsung. Sungokong pulang kampung rupanya, membawa sungokong-wati! Dentuman DJ ala mang Linkin Park rupanya lebih mantratap ketimbang acaranya Bupati Jembrek, konon namanya si Dajal! Oh, itu pikiran si Juru Tulis yang ada di sebelah kanan otaknya, sebelah tengah? Masih menantikan sang Ide rupanya, berharap sang wangsit segera pulang ke pelaminan otaknya. Entah sudah berapa lembar corat – coret yang kubuat, berapa helai pula rambut berjatuhan. Terlalu banyak sempurna yang aku pikirkan, terlalu banyak cinta mengejar tak ketemu arahnya. Aku berharap segera datang sang IDE, I MISS U!