MONOTUN

♠ Posted by Aryni Ayu in
Aku, menjadi angggota dari sebuah lembaga jurnalistik yang sama sekali lekat dengan kata – kata “Monotun”. Tidak ada inspirasi, tidak ada kebebasan, dan tidak ada kebenaran.


AKU, hanyalah seorang penggemar Avril Lavigne yang enggak tahan dengan kata – kata “Monotun”. Entah harus mulai darimana aku menulis artikel ini, yang ada dibenakku sekarang hanya menulis, menulis, dan menulis. Tidak pernah terbesit di otakku untuk merebut, menggilas, bahkan sampai membunuh lawan – lawanku hanya untuk sebuah kehormatan yang kosong mlompong tanpa isi dan makna. Ya..seperti yang dilakukan oleh para pendahuluku. Aku, menjadi angggota dari sebuah lembaga jurnalistik yang sama sekali lekat dengan kata – kata “Monotun”. Tidak ada inspirasi, tidak ada kebebasan, dan tidak ada kebenaran. Benar – benar membuat otakku serasa ingin mereproduksi otak – otak mereka supaya segar kembali. Sudahlah, aku tidak butuh jabatan – jabatan ‘kosong’ itu. Aku hanya menginginkan sebuah media jurnalistik yang benar – benar bersih dari kepentingan – kepantingan kotor. Tak perlu lagi lah kita mengeluarkan otot – otot leher dan bola mata kita saat sidang tahunan anggota berlangsung. Tak perlu juga sidang berjalan monotun. Selalu serba lambat dan penuh perdebatan kosong. Buat apa? hanya demi kehormatan dan kepentingan golongan semata? Oh come on, pertunjukkan kalian itu sudah terlalu ‘monotun’, basi, sudah sepantasnya dibuang ke tempat sampah!

Mungkin pembaca akan merasa kebingungan membaca artikel ini, karena penulis memang benar – benar sudah jenuh. Aku hanya ingin MENULIS, hanya ingin mengungkap hal – hal yang seharusnya menjadi bahan kritisan, dan tidak menginginkan kepemimpinan yang otoriter alias gila hormat. Kenapa masih saja dihalang – halangi? Seakan – akan ada di sekat tebal yang memisahkan antara malaikat dengan setan. Lalu apa bedanya mereka dengan para penjahat? Jika seorang yang benar – benar ber-IDE jurnalistik harus tertutup dengan ide – ide kotor para birokrat kecil. Kenapa harus dipermudah jika itu bisa dipersulit? Ya, mungkin slogan itu yang mereka pakai sebagai almamater. PANTAS jika otak mereka benar – benar lumpuh, terlalu banyak konsep, No Action Talk Only!

Fakta Sejarah Hegemoni Politik Amerika Serikat (AS) di Dunia dan Konspirasi Terorisme

♠ Posted by Aryni Ayu in

"Sungguh Anerika itu Penuh Konspirasi..!"

Negara yang lahir pada tanggal 4 Juli 1776 ini saat ini telah berusia 233 tahun. Sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II (PD II), dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan hak vetonya, AS mulai menanamkan kuku-kuku kekuasaan atas ekonomi dan politik negara-negara kecil di dunia setelah pasca PD II.

Dengan menggunakan kekuatan perusahaan-perusahaan pengeksplor minyak besar yang berhasil menguasai ladang-ladang minyak dunia, dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara, seperti Indonesia, maka kekuasaan politik AS terhadap negara-negara dunia ketiga mudah untuk diwujudkan karena kelimpahan uang hasil penjualan minyak (Lihat juga warta "Sejarah Konflik Palestina-Israel dari Masa ke Masa").

Marilah kita melihat dengan pikiran terbuka, bahwa sejarah politik AS yang penuh darah di dunia, demi kekuasaan politik dan ekonomi, tidak memustahilkan peran-peran besarnya dalam sebuah konspirasi besar yang bernama “perang global melawan terorisme”.

Agustus 1945

Pengeboman atom kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang oleh Amerika Serikat atas perintah Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman, menandai akhir Perang Dunia II. Enam hari setelah dijatuhkannya bom di Nagasaki, pada 15 Agustus, Jepang mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Kejatuhan bom nuklir satu-satunya yang pernah terjadi ini membunuh sebanyak 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki pada akhir tahun 1945. Sejak itu, ribuan telah tewas akibat luka atau sakit yang berhubungan dengan radiasi yang dikeluarkan oleh bom. Pada kedua kota, mayoritas yang tewas adalah penduduk sipil.

17 Agustus 1945

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Proklamator Soekarno-Hatta.

24 Oktober 1945

Perserikatan Bangsa-bangsa didirikan di San Francisco pada 24 Oktober 1945 setelah Konferensi Dumbarton Oaks di Washington, DC. Dewan Keamanan, salah satu badan PBB, mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan yang harus dilaksanakan para anggota di bawah Piagam PBB. Dewan ini mempunyai 5 anggota tetap yang merupakan pemenang utama PD II, yakni: 1.Republik Rakyat Cina (dulu Republik Cina); 2.Perancis; 3.Rusia (dulu Uni Sovyet); 4.Britania Raya; 5.Amerika Serikat. Kelima anggota tersebut adalah negara-negara yang boleh mempunyai senjata nuklir di bawah Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, dan memiliki hak veto untuk membatalkan keputusan atau resolusi yang diajukan PBB atau Dewan Keamanan PBB.

Era Perang Dingin (perang ideologi negara) sesama anggota PBB, yakni Amerika Serikat (Demokrasi Liberal) melawan Uni Sovyet dan China (Komunis)

25 Juni 1950 – 27 Juli 1953

Perang Korea adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan. Perang ini juga disebut "perang yang dimandatkan" (bahasa Inggris proxy war) antara Amerika Serikat dan sekutunya dan komunis Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet (juga anggota PBB). Peserta perang utama adalah Korea Utara dan Korea Selatan. Sekutu utama Korea Selatan termasuk Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Britania Raya, meskipun banyak negara lain mengirimkan tentara di bawah bendera PBB.

15 April - 19 April 1961

Invasi Teluk Babi (di Kuba dikenal pula sebagai Playa Giron sesuai dengan pantai di Teluk Babi tempat pendaratan pasukan penyerbu) adalah sebuah pendaratan yang direncanakan dan didanai oleh Amerika Serikat dan dilakukan oleh orang-orang Kuba di pembuangan di Kuba barat daya untuk menggulingkan pemerintahan Fidel Castro pada 1961. Peristiwa ini menandai klimaks tindakan anti Kuba oleh AS. Invasi ini gagal total dan ternyata menjadi noda internasional bagi pemerintahan Kennedy.

1962

Krisis Rudal Kuba adalah sebuah krisis yang terjadi sebagai akibat dari Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Krisis ini mengungkap fakta bahwa Amerika Serikat telah mensponsori sebuah serangan ke Teluk Babi milik Kuba, sebuah negara komunis di Laut Karibia. Meskipun gagal, penyerbuan ini telah menimbulkan kemarahan Uni Soviet, sebagai pemimpin komunis dunia, maupun rakyat Kuba sendiri.

Pada bulan September 1962, Nikita Khruschev, Perdana Menteri Uni Soviet, menyatakan kepada Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy bahwa setiap serangan berikutnya terhadap Kuba akan dinilai sebagai tindakan perang. Tidak lama kemudian, Uni Soviet segera menempatkan rudal-rudal berukuran sedang yang dilengkapi dengan hulu ledak nuklir di Kuba. Pada tanggal 22 Oktober 1962, Kennedy muncul di muka publik dan menuntut Uni Soviet untuk menarik rudal-rudalnya atau AS akan menyerang Kuba. Maka, dimulailah minggu-minggu yang dikenal dengan sebutan Krisis Rudal Kuba ini.

1965

Gerakan 30 September atau disebut juga pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh D.N. Aidit. Karena kedekatan Presiden RI Soekarno pada saat itu dengan D.N. Aidit, dan kecenderungan Soekarno ke ideologi Komunis, menguatkan dugaan adanya campur tangan AS dengan dinas intelijennya (CIA) dalam penggulingan kekuasaan Soekarno oleh Soeharto. Lihat perisiwa 1973, penggulingan Presiden Chili.

1973

Melalui Operasi Jakarta, presiden AS, Richard Nixon menggunakan CIA untuk membantu junta militer Chili dalam mengkudeta Presiden Salvador Allende yang beraliran sosialis – yang menang secara demokratis melalui pemilu – dan menaikan Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Chile, Augusto Pinochet Agurte. Dia kemudian menjadi diktator Chili. Sekitar 3.000 orang Chili terbunuh selama masa pemerintahannya.

Kudeta yang dilakukan Pinochet terhadap Allende, bila dicermati amat mirip dengan yang diduga dilakukan Soeharto terhadap Soekarno yaitu setidaknya antara lain pada:

- Beredarnya dokumen yang meresahkan tentang perencanaan pembunuhan beberapa jenderal dan komandan-komandan militer. Hal itu selain terjadi di Chile (dokumen rencana ‘Z’) juga Indonesia (Beredarnya daftar pejabat AD yang akan dibunuh di kalangan tokoh-tokoh buruh, politisi dan elit militer Chili).

- Disebarnya isu yang menimbulkan keresahan dan ketidakstabilan poltitik dalam negeri. Di Chile masyarakat terutama serikat buruh militan dan jenderal-jenderal konservatif mendapat kiriman kartu-kartu kecil di mana tercetak kata-kata "Jakarta Se Acerca" (Jakarta Sudah Mendekat).

- Diduga sangat kuat kedua kudeta tersebut sama-sama di dukung CIA.

1957 - 1975

Perang Vietnam, juga disebut Perang Indochina Kedua, merupakan bagian dari Perang Dingin, di mana dua kubu yang saling berperang adalah Republik Vietnam (Vietnam Selatan) dan Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara). Amerika Serikat, Korea Selatan, Thailand, Australia, Selandia Baru dan Filipina bersekutu dengan Vietnam Selatan, sedangkan USSR (Uni Sovyet) dan Tiongkok (RRC) mendukung Vietnam Utara yang merupakan negara komunis. Jumlah korban yang meninggal dari perang ini diperkirakan adalah 280.000 di pihak Selatan dan 1.000.000 di pihak Utara.

1975

Setelah 14 tahun perang gerilya untuk kemerdekaan, dan jatuhnya pemerintahan fasis Portugal oleh kudeta militer, partai nasionalis Angola mulai merundingkan kemerdekaan pada Januari 1975. Kemerdekaan akan dideklarasikan pada November 1975. Hampir segera, perang saudara pecah antara MPLA (Movimento Popular de Libertacao de Angola), UNITA (Uniao Nacional para a Independencia Total de Angola) dan FNLA (Frente Nacional de Libertacao de Angola) – tiga faksi utama di Angola – yang diperburuk oleh campur tangan asing. Pasukan Afrika Selatan bersekutu dengan UNITA dan menyerang Angola pada Agustus 1975 untuk memastikan bahwa di sana tidak ada gangguan (oleh negara Angola merdeka yang baru) di Namibia, yang saat itu masih di bawah pendudukan Afrika Selatan (Hodges, 2001, 11). Uni Soviet mulai membantu MPLA dan memberi banyak dukungan ekonomi, sedangkan pasukan Kuba datang untuk mendukung MPLA pada Oktober 1975, membuatnya bisa mengendalikan ibukota, Luanda, dan menjauhkan pasukan Afrika Selatan. MPLA mendeklarasikan diri untuk menjadi pemerintahan de facto atas negeri saat itu sedangkan secara resmi kemerdekaan diumumkan pada bulan November, dengan Agostinho Neto sebagai presiden pertama.

Pada 1976, FNLA dikalahkan oleh gabungan MPLA dan pasukan Kuba, meninggalkan UNITA (yang didukung oleh Amerika Serikat dan Afrika Selatan) dan MPLA yang Marxis berseteru untuk kekuasaan.

1976 – 1983

Nama Perang Kotor (dalam bahasa Spanyol: Guerra Sucia) seringkali digunakan khususnya untuk mengacu pada pembersihan terhadap warga negara pembangkang yang dilakukan antara 1976 dan 1983 oleh pemerintahan militer Jorge Rafael Videla di Argentina (pada apa yang disebut Proses Re-organisasi Nasional). Pada masa ini, pemerintahan junta yang dipimpin oleh Videla hingga 1981, kemudian oleh Roberto Viola dan Leopoldo Galtieri, bertanggung jawab atas penangkapan ilegal, penyiksaan, pembunuhan, atau penghilangan paksa atas sekitar 10.000 hingga 3.000 orang Argentina. Kejahatan-kejahatan ini adalah bagian dari suatu rencana terorisme negara yang lebih luas — hingga mencakup seluruh Amerika Selatan — yang disebut Operasi Burung Kondor, yang keberadaannya sekurang-kurangnya diketahui oleh Departemen Luar Negeri AS, yang dipimpin oleh Henry Kissinger di bawah Presiden Richard Nixon.

1983

Invasi Grenada, dinamai Operatsi Urgent Fury, adalah invasi Amerika Serikat dan sekutunya di Karibia ke Grenada sebagai respon dari deposisi dan eksekusi perdana Menteri Grenada, Maurice Bishop. Pada 25 Oktober 1983, Amerika Serikat, Saint Vincent dan Grenadines, Dominika, Barbados, Antigua dan Barbuda, Santa Lucia, dan Jamaika mendarat di Grenada, menaklukan perlawanan Grenada dan Kuba, lalu menurunkan pemerintahan militer Hudson Austin.

1983 – 1988

Amerika Serikat membantu persenjataan dan pelatihan gerilyawan Contra melawan pemerintahan sah di Nikaragua. Campur tangan AS ini kemudian diputuskan oleh Mahkamah Internasional – dalam kasus Republik Nikaragua melawan Amerika Serikat – telah melanggar hukum internasional dengan mendukung Contra guerrillas dalam perang melawan pemerintah sah Nikaragua. Pengadilan memutuskan bahwa AS telah melakukan pelanggaran hukum internasional untuk “tidak menggunakan kekerasan terhadap negara lain”, “tidak melakukan intervensi terhadap urusan negara lain”, “tidak melanggar kedaulatan negara lain”, “tidak mengganggu perdagangan damai maritim”, dan pelanggaran kewajibannya di bawah Pasal XIX dari Perjanjian Persahabatan, Perdagangan dan Navigasi antara pihak yang menandatangani di Managua pada tanggal 21 Januari 1956.

1979 - 1989

Perang Soviet-Afganistanmerupakan masa sembilan tahun di mana Uni Soviet berusaha mempertahankan pemerintahan Marxis Afganistan, yaitu Partai Demokrasi Rakyat Afganistan, menghadapi mujahidin Afganistan yang ingin menggulingkan pemerintahan. Uni Soviet mendukung pemerintahan Afganistan, sementara para mujahidin mendapat dukungan dari banyak negara, antara lain Amerika Serikat dan Pakistan.

Perang ini menggerogoti perekonomian Uni Sovyet, sehingga memiliki dampak yang sangat besar atas bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991. Akibat perang ini lebih dari 1 juta orang Afganistan terbunuh. 5 juta orang Afganistan mengungsi ke Pakistan dan Iran, dan itu adalah 1/3 dari populasi Afganistan sebelum perang. 2 juta orang Afganistan lainnya dipaksa oleh perang untuk bermigrasi dari Afganistan. Pada tahun 1980, 1 dari 2 pengungsi di dunia adalah orang Afganistan.

1991

Bubarnya Uni Sovyet disebabkan oleh pemimpin terakhirnya, Mikhail Gorbachev, yang memulai semangat liberasasi politik dan ekonomi dengan tiga programnya yang terkenal, yakni program-programnya: glasnost (keterbukaan politik), perestroika (restrukturisasi ekonomi), dan uskoreniye (percepatan pembangunan ekonomi).

Upaya-upaya Gorbachev untuk merampingkan sistem komunis menawarkan harapan, namun akhirnya terbukti tidak dapat dikendalikan dan mengakibatkan serangkaian peristiwa yang akhirnya ditutup dengan pembubaran imperium Soviet. Kebijakan-kebijakan yang mulanya dimaksudkan sebagai alat untuk merangsang ekonomi Soviet, perestroika dan glasnost segera menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan.

Keruntuhan Uni Sovyet menandai berakhirnya Perang Dingin. Setelah itu beberapa negara yang dulunya komunis menjadi sekutu AS, seperti Hongaria, Polandia, dan Republik Czech menjadi anggota NATO, dan yang menjadi sekutu terdekat AS dalam “global war on terrorism” (GWOT), seperti Ukraina, Uzbekistan, dan Kyrgystan.

Hegemoni Amerika pasca Perang Dingin dan konspirasi terorisme

1992

Perubahan paradigma kebijakan luar negeri AS dimulai pada tahun 1992. Ketika itu, pada bulat Maret, sekumpulan pejabat penting pada masa pemerintahan George H. W. Bush (Bush senior) dimotori Dick Cheney dan Paul Wolfowitz mengeluarkan Draf Pedoman dan Rencana Pertahanan (Defence Planning Guidance Draft) yang mengharuskan dominasi militer dalam kebijakan AS di masa depan. Dokumen itu, yang di kemudian hari dinamai “Pentagon Paper” menganjurkan pre-emptive force untuk melindungi AS dari senjata pemusnah massal (WMD) serta melakukannya sendirian jika perlu. “Strategi kita (pascajatuhnya Uni Sovyet) harus difokuskan pada pemusnahan segala potensi timbulnya kompetitor global di masa depan” (New York Times, 08/03/1992).

1997

Langkah selanjutnya, di tahun 1997, Cheney, Wolfowitz, Donald Rumsfeld, dan I. Lewis Libby mengorganisasikan diri secara resmi dengan membentuk PNAC (newamericancentury.org). Anggota PNAC terdiri para politisi kanan Republik, Yahudi, intelektual, dan aktivis Christian Right. Zalmay Khalilzad, mantan duta besar AS untuk Afghanistan, yang sekarang menjadi duta besar AS untuk Irak, juga merupakan anggota PNAC.

PNAC merupakan revitalisasi dari serangkaian grup hawkish (penggemar perang) yang berebut pengaruh dengan kelompok antiperang Partai Demokrat di era 70-an. Grup-grup hawkish itu seperti Committee on the Present Danger (didirikan oleh sepasang suami istri, Midge Decter dan Norman Podhoretz) yang hadir di akhir 70-an dan Committee for the Free World (dirikan oleh Descter dan Rumsfeld).

2000

Sebuah dokumen yang berisi analis kontemporer AS dikeluarkan PNAC di bulan September 2000. Dokumen itu menegaskan kondisi AS yang harus “bermain sendirian” (no global rival) dan mengambil peran penting dalam menjaga perdamaian dan keamanan Eropa, Asia, dan Timur tengah. “Grand strategy Amerika harus diarahkan pada usaha memelihara dan mempertahankan posisi yang menguntungkan ini selama mungkin di masa depan” (Rebuilding America’s Defenses: Strategy, Forces and Resources for New Century, newamericancentury.org).

20 Januari 2001

George Walker Bush terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-43 dan dilantik pada tanggal 20 Januari 2001. Bush yang memperoleh kemenangan setelah Mahkamah Agung memenangkannya dalam kasus Florida melawan capres Al-Gore, memberikan posisi-posisi kunci pada kaum hegemons (istilah yang dimunculkan oleh Daalder dan Lindsay dalam buku America Unbound: The Bush Revolution in Foreign Policy). Mereka itu adalah anggota PNAC, yakni Dick Cheney menjadi wakil presiden, Rumsfeld memperoleh kursi menteri pertahanan, dan Wolfowitz sekarang menjadi Presiden Bank Dunia setelah sebelumnya menjabat sebagai wakil menteri pertahanan. Selain itu Rize sempat sebagai penasehat keamanan nasional lalu menjadi menteri luar negeri, Douglas Feith di posisi bidang politik di bawah menteri pertahanan, Stephen Hadley menggantikan posisi Rize, I. Lewis Libby mengepalai seluruh staf wakil presiden, Daniel Pipes di unit khusus bidang teror dan teknologi pada departemen pertahanan dan mengepalai US Institute of Peace, Peter W. Rodman di posisi asisten menteri pertahanan untuk hubungan keamanan internasional, dan John D. Negroponte mengepalai Badan Keamanan Nasional (National Security Service, NSC). NSC merupakan muara semua badan intelejen AS, seperti CIA dan FBI. John Bolton, figur kontroversial, yang secara resmi menjadi Duta Besar AS untuk PBB per 1 Agustus lalu.

Mereka inilah yang dikatakan sebagai kelompok rahasia yang mengambil alih kebijakan luar negeri negara yang paling kuat di dunia atau sebuah grup ideologi yang sangat kecil namun menggunakan kekuasaan yang tidak semestinya untuk mencampuri hubungan AS dengan negara lain, membuat sebuah kerajaan dan membuang hukum internasional (Economist, 26/04/03).

11 September 2001 (9/11 WTC Attacks)

Serangan gedung World Trade Center (WTC) di New York, AS oleh teroris internasional dengan menabrakkan dua pesawat komersial yang dibajak. Tuduhan kemudian diarahkan kepada Al-Qaeda, organisasi teroris di bawah pimpinan Osama bin Laden, para mantan pejuang mujahidin Afghanistan – disebut oleh AS sebagai “our local friends”– yang dulu semasa perang pembebasan Afghanistan dari Uni Soviet yang komunis dilatih dan dipersenjatai oleh AS.

Serangan atas gedung WTC ini menandai dimulainya perlawanan global terhadap terorisme oleh AS, dan merupakan sebuah konspirasi, terkait upaya AS tetap menanamkan pengaruhnya di dunia (lihat perubahan paradigma kebijakan luar negeri AS sejak tahun 1992), dalam rangka perluasan jaringan ekonominya terutama perusahaan-perusahaan eksplorasi minyak, teknologi komunikasi dan informasi, serta penanaman modal (pinjaman luar negeri) kepada negara-negara dunia ketiga.

Dengan alasan telah melindungi Osamah bin Laden – pelaku teror penyerangan gedung WTC – pemerintahan Taliban yang berkuasa di Afghanistan sejak 1996 digulingkan pada tahun 2001 oleh AS. Adanya pemerintahan Taliban yang menggunakan hukum-hukum Islam secara keras di Afghanistan, dan perjuangan faksi-faksi Islam garis keras lainnya di dunia seperti suku Pattani di Thailand, suku Moro di Filipina, suku Tamil di India dan lain-lain merupakan salah satu alasan AS menciptakan isu terorisme sebagai upaya legalisasi perang melawannya.

Kegaduhan Para Hedonis

♠ Posted by Aryni Ayu in
Berbohong, bersilat lidah, mencaci maki para oposisinya, dan berdalih “Hanya kami yang memiliki otak disini, dan kaki hanya berhak menjalankan perintah” Inilah bentuk kegaduhan kaum hedonis, bagaimana jika kerajaan ini dimusnahkan saja?

Tak ada seorang pun yang tahu bagaimana jadinya negeri ini saat para hedonis berkeliaran bak tikus – tikus got kelaparan, mencari makan kesana kemari. Begitu buta hingga dirinya tak tahu apakah makanan itu legal atau sekedar ‘masturbasi’, menyenangkan diri sendiri. Mereka beranak pinak menghasilkan satu klan hedonis. Segerombol keluarga miskin berwajah kaya dan gila hormat. Menghalalkan segala jalan dengan kegaduhannya.

Bahkan tikus pun mulai gaduh! Saat rakyat melihat pemberitaan di televisi, akan terlihat kaca benggala besar perpolitikan Indonesia. Pejabat berbicara dari media satu ke media lainnya. Berdebat, tertawa terbahak – bahak, bersikukuh ‘benar’ saat tersangkut kasus korupsi kolusi dan nepotisme, bahkan berlagak hebat ketika dirinya bersalah. Jika itu terbukti benar, maka surat rekayasa sakit pun dilayangkan kepada pihak peradilan “Pak Bu, saya ijin ke Singapura dulu untuk mencari surat sakit, kalau kasus sudah reda saya akan kembali ke Indonesia”. Otak macam apa sebenarnya yang dimiliki oleh orang – orang ini? Mencela, saling tuding, berbohong, serta membuat program kerja ala ‘kadarnya’ untuk rakyat dengan keuntungan semaksimal mungkin. Mengotak – atik gadget saat rapat besar milik rakyat sedang diselenggarakan di rumah kolot bernama “Dewan Perwakilan Rakyat”. Kelas atas senang, kaum akar rumput sengsara. Ini adalah bukti kegaduhan! Mungkin pantas bila negeri ini berganti nama menjadi negeri Hedonis!

Bila Bung Karno hidup di zaman yang kian menglobal seperti sekarang, mungkin dia akan mengetikan sebuah sms kepada Bung Hatta “Bung, bagaimana rakyat Indonesia hari ini? Pancasila yang saya gali dengan basis kegotongroyongan kini kian luntur, sungguh saya ingin mengusir para kaum hedonis itu seperti saya melawan para petinggi Belanda.” Maka Bung Hatta pun membalas “Benar bung, penyakit ini nyatanya mulai menular di kalangan muda. Perpolitikan yang mereka bangun memiliki syarat tetap ‘hedonis’, dan merugikan banyak pihak. Entah racun jenis apa yang hinggap di kepala mereka!”

Andai kedua rekan ini juga tahu bahwa gagasan – gagasan yang mereka persembahkan untuk Indonesia mulai detik ini harus disatu padukan dengan kesenangan pribadi, alias Hedonisme. Pastilah akan sangat kecewa, menyesali kegotongroyongan yang dulu sempat diangkatnya sebagai indentitas dan etnisitas bangsa Indonesia, kini terlihat samar – samar. Mari kita tengok sekilas perpolitikkan Indonesia di kalangan mahasiswa! Sudah hedonisme kah?

Sebut saja klan (keluarga) Hedonis “X” di fakultas “Y” salah satu universitas ternama di kotanya. Keluarga besar ini terlihat berjaya, angkuh, dan berwibawa di salah satu organisasi mahasiswa. Memerintahkan A, B, C, dan D kepada segenap mahasiswa lain yang dianggapnya perlu untuk diperintah. JIka dianalogikan, antara bangsawan dan bawahan terdapat sekat tebal yang membatasi hak dan kewajiban. Kaum akar rumput harus dan siap untuk disetir misi hedonisme pemimpinnya. Tak ada yang boleh beropini sedikit pun tentang tindakan mereka, bahkan kotak kesengsaraan kebebasan mulai dibangun oleh orang – orang tak tahu malu ini. Bila berani menentang, maka tak segan – segan para kaum hedonis ini bertindak memalukan. Berbohong, bersilat lidah, mencaci maki para oposisinya, dan berdalih “Hanya kami yang memiliki otak disini, dan kaki hanya berhak menjalankan perintah” Inilah bentuk kegaduhan kaum hedonis, bagaimana jika kerajaan ini dimusnahkan saja?

Bahkan saat organisasi mahasiswa yang bergerak di bidang Jurnalistik mulai berani menunjukkan prestise bahwa mereka cukup ‘independen’ dan ‘layak’ untuk mendapatkan hak – haknya, keluarga hedonis pun terlihat khawatir. Pasalnya, sejak tahun 2005 hingga hari ini, sebut saja Pers Mahasiswa “PP”. Kebebasan pers yang dimiliki oleh organisasi tersebut berada dibawah kepentingan kaum hedonis. Dengan dalih X, Y, dan Z, orang – orang tak berotak ini merekayasa segala kegiatan yang ada di didalamnya. Pers tak lagi terlihat independen, melainkan lebih terlihat sebagai pajangan dalam etalase Pers Mahasiswa.

Secara lebih spesifik, pernah di suatu waktu pers mahasiswa “PP” ingin mereforma keanggotaannya, mencoba bangkit dari keterpurukan, tak ayal monster besar pun menghadang. Lagi – lagi keluarga hedonis yang benar – benar tidak memiliki otak tersebut kembali dan mencoba mengacaukan segalanya. Degradasi etika kesopanan bahkan menjadi penyakit serius dalam tubuh kaum hedonis.


Lihat saja saat dua orang mahasiswa pers “PP” menjadi juri artikel dalam kegiatan P2MABA, salah satu kaum hedonis berkata “Apakah kalian bisa menilai?” Apakah pantas kalimat seperti ini diucapkan kepada seorang “juri”? melihat definisi dari ‘juri’ itu sendiri adalah orang – orang yang dipercaya mampu dan memiliki kualitas lebih dalam menilai suatu bidang kajian. Melihat fakta seperti ini, kaum hedonis bukannya tak pintar, melainkan hanya tak punya otak saja. Sungguh kasihan sebenarnya mereka, jika nantinya harus terus – menerus malu dalam wajah kaya tapi miskin.

Ada Rapat Besar Tahunan yang akan diselenggarakan pada tanggal 19 – 20 November 2011 oleh anggota “PP” terkait reformasi. Dan bisa ditebak, kaum hedonis ini tiba – tiba datang dan ingin menghacurkan semuanya. Dari ketetapan tanggal yang sudah di acc oleh pihak fakultas, sampai ke titik acara yang kemungkinan besar mereka akan terlibat didalamnya. Sudah ada rencana besar yang mereka desain untuk kembali memegang setir kepemimpinan. Benar – benar Kegaduhan Para Hedonis!

Tak ada noktah dalam kamus kaum hedonis. Ketika para anggota “PP” mencoba mempromosikan dan mengembalikan nama besar organisasi jurnalistiknya, niat itu pun digadang oleh segenap keluarga hedonis.

Mereka terus menerus ada diantara kami. Kami terus diawasi seolah – olah ada kotak yang tak memperbolehkan ke – independen-an sebuah PERS!!