Amerika Pasca Perang

♠ Posted by Aryni Ayu

“Kita bangun dunia baru, yang jauh lebih baik—tempat martabat abadi setiap manusia dihormati.” (Presiden Truman, 1945).

Negara adidaya pasca perang rupa – rupanya mampu menangguhkan kredibilitas Amerika di mata dunia dengan gaung “Demokrasi”-nya yang semakin lekat di tengah – tengah tampuk kekuasaan modern. Lahirnya Amerika sebagai pemegang kunci kemenangan pasca Perang Dunia II adalah bukti “high on credibilition” yang dimiliki negara adikuasa tersebut. Tentu fakta ini tak lepas dari serangkaian panjang pergolakan pro – kontra diantara elit dunia tentang hegemoni A.S, sebut saja Uni Soviet. Bahkan Majalah New York Times pernah menuangkan pendapatnya diatas tulisan jurnalistik yang mengatakan bahwa Uni Soviet adalah negara kontras Amerika Serikat. Di satu sisi The American Century (Abad Kejayaan Amerika) membuat rakyat Amerika beserta elitnya merasa percaya diri dan yakin terhadap kemakmuran mereka selama dan pasca perang. Namun di sisi lain, The American’s tetap harus melawan benih – benih komunis yang tumbuh dan berjalan secara domino dalam kehidupan masyarakat internasional. Memang, kedua negara yang kontras tersebut pernah mengesampingkan perbedaan ideologi mereka demi mengalahkan Nazi saat PD II berlangsung. Pada akhir perang, antagonism kembali muncul ke permukaan. Amerika pun berharap bisa bertukar pikiran dengan negara – negara lain tentang model pemerintahan dunia yang tentunya diikuti pula oleh ide – ide demokrasi yang berusaha ditanamkannya di wilayah – wilayah Eropa, Asia, Timur Tengah. Namun rakyat Amerika yang begitu kritis meyakini perlunya pendirian tegas terhadap Uni Soviet dalam Perang Dingin yang berkembang pasca 1945.
Perang dingin menjadi perkara politik dan diplomatic diawal periode pasca perang. Hal ini berakar dari perbedaan pendapat berkelanjutan antara Uni Soviet dan Amerika yang tumbuh sejak pasca Revolusi Rusia pada 1917, Partai Komunis di Uni Soviet pimpinan V. Lenin beranggapan bahwa dirinya sebagai ujung tombak gerakan internasional yang akan menggantikan kekuatan politik yang berkuasa di Barat juga di seluruh dunia. Menimbulkan kecurigaan dan rasa tidak percaya diantara Amerika dan Uni Soviet. Keduanya pun kemudian saling menebarkan embrio – embrio ideology, antara Liberal dan Komunis di negara – negara wilayah Eropa, Asia dan Timur Tengah. Amerika Serikat menerapkan pembendungan ideology komunis Uni Soviet sebagai sebuah kebijakan era pasca perang dengan dalih ingin menanamkan sebuah konsep kemerdekaan, persamaan hak, dan demokrasi, notabenenya tentu juga ingin menigkatkan pertumbuhan ekonomi Amerika, akibat ketakutannya akan depresi besar yang pernah terjadi di negara tersebut. Pada perkembangannya, Perang dingin antara A.S dengan Uni Soviet berjalan tanpa stagnansi dari kedua pihak. Diskriminasi rasial yang terjadi dalam social – politik cultural masyarakat Amerika, peningkatan perekonomian seiring dengan jalannya Perang Dingin, secara kontinuitas silih berganti mewarnai antagonisme keduanya. Hingga melahirkan suatu Dekade Perubahan Amerika di masa 1960 – 1980. Namun ada satu permasalahan yang begitu kursial dan tajam di mata masyarakat – elit Amerika, yakni mengenai efek domino dari persebaran komunis – Uni Soviet. Ketika kedua ideology bercengkrama mempengaruhi masyarakat di negara – negara Eropa, Asia, dan Timur Tengah semakin mendekati titik klimaksnya, sehingga selalu menyisakan keterpisahan social – politik di beberapa negara, yakni antara Utara dan Selatan serta antara Timur dan Barat. Di dalam negeri, masyarakat Amerika tengah berjuang untuk membasmi para Amerika Komunis, yakni orang – orang Amerika yang menganut ideology komunis, dan mereka tersebar dari rakyat hingga para elit Amerika. Di tengah – tengah tsunami persamaan rasial yang disuarakan oleh rakyat Amerika dalam gerakan Hak Asasi (1960 – 1980), gerakan wanita selama 1960 – 1970, Gerakan Masyarakat Amerika Latin masa Kabinet Bill Clinton, dan George W. Bush, pergerakan masyarakat – pribumi Amerika serta ragam konflik yang terjadi diantara kaum elit selama dan pasca Pemerintahan John F. Kennedy.

ISRAEL DAN DUNIA KETIGA

♠ Posted by Aryni Ayu in
ISRAEL DAN DUNIA KETIGA



Israel mempunyai hubungan aktif dengan negara-negara Dunia Ketiga, terutama karena penjualan-penjualan peralatan militernya yang gencar dan ikatan kuatnya dengan Amerika Serikat, yang ingin dimanfaatkan oleh negara-negara kecil. Israel kadang-kadang juga bertindak sebagai wakil Amerika Serikat dalam aktivitas-aktivitas dimana Washington ingin menyembunyikan keterlibatannya. Sebuah contoh dramatis adalah masalah Iran-Contra di mana Israel mengapalkan senjata-senjata ke Iran dan keuntungan-keuntungannya digunakan untuk membiayai para gerilyawan Contra di Nikaragua yang bertentangan dengan larangan-larangan Kongres.


OMONG KOSONG

“Kami tidak menjual senjata-senjata ke Iran… Laporan-laporan itu sama sekali tidak berdasar.” –Shimon Peres, perdana menteri Israel, 19861

FAKTA

Hubungan Israel dengan Iran terus berlanjut bahkan setelah perebutan kekuasaan oleh Ayatullah Ruhullah Khomeini pada 1979. Meskipun hubungan itu mendingin di bawah kebijaksanaan Khomeini yang anti-Zionis, Israel terus memasok Iran dengan peralatan militer. Tidak ada kesangsian bahwa Israel bekerja atas persetujuan Washington.

Penghinaan akibat penyanderaan yang dilakukan Iran atas lima puluh dua orang Amerika pada akhir 1979 (dan penahanan mereka hingga akhir masa kepresidenannya pada Januari 1981) membuat Presiden Jimmy Carter menjatuhkan embargo penjualan senjata ke Iran. Pemerintah Reagan yang baru diangkat secara resmi meneruskan embargo tersebut, namun selama masa kepresidenan Reagan, Israel mengirimkan sejumlah besar materi ke Iran. Meskipun secara resmi Israel menyangkal pada 1986 melalui Perdana Menteri Peres, para pejabat Israel lainnya berulang kali menyatakan secara terbuka bahwa pengapalan dilakukan dengan persetujuan Washington. Pemerintah Reagan pada waktu itu menyangkal persetujuan semacam itu.2

Tetapi, ketika The New York Times melaporkan pada 1991 bahwa pemerintah Reagan telah secara diam-diam mengizinkan Israel untuk menjual senjata-senjata buatan AS senilai beberapa milyar dollar ke Iran sejak musim semi 1981, Menteri Luar Negeri James Baker pada dasarnya membenarkan cerita itu dengan mengatakan bahwa Amerika Serikat “kemungkinan besar telah” menyetujui penjualan-penjualan semacam itu namun dia tidak mengetahui seluk-beluknya.3 Wartawan Times Seymour M. Hersh mengatakan dia tidak dapat menemukan mantan pejabat Reagan yang dapat mengemukakan dasar pemikiran dari kebijaksanaan itu.4

Ada beberapa kemungkinan. Penelanjangan persekongkolan dengan segera menyatakan pengaturan itu sebagai bukti dari apa yang dinamakan persekongkolan Kejutan Oktober. Menurut beberapa kritikus, ini merupakan rencana dari para pejabat kampanye Reagan yang secara rahasia menjanjikan Iran pasokan senjata sebagai pertukaran untuk tidak dibebaskannya para sandera tersebut hingga setelah pemilihan presiden tahun 1991. Persekongkolan itu, dikatakan, didorong oleh kekhawatiran para pendukung Reagan bahwa pembebasan para sandera di bulan Oktober akan meningkatkan kesempatan Carter untuk dipilih kembali. Persekongkolan semacam itu sama sekali tidak dapat dibuktikan, namun godaan dari potongan-potongan bukti itu mendorong diadakannya penyelidikan resmi.5

Tetapi masih ada penjelasan-penjelasan lain, terutama yang melibatkan hubungan erat Israel dengan Iran.

Yang paling utama, Iran telah lama menjadi negara kunci dalam “strategi batas luar” Israel. Ini adalah rencana strategis Israel yang dikembangkan pada akhir 1940-an dan awal 1950-an untuk menghadapi negara-negara Arab dengan jalan menciptakan hubungan persahabatan dengan negara-negara non-Arab di ujung-ujung Timur Tengah Arab dan dengan kelompok-kelompok minoritas di wilayah itu. Dalam pengertian luas, strategi itu menuntut dukungan Israel bagi setiap kelompok minoritas seperti bangsa Kurdi, Druze, dan Maronit di dalam wilayah Timur Tengah dan, di pinggirannnya, negara-negara seperti Ethiopia, Turki dan, yang terpenting, Iran.6

Akibat strategi ini, Iran menjadi negara Muslim pertama yang memberikan pengakuan de facto atas Israel pada 1950. Selama bertahun-tahun hubungan itu menjadi sangat erat: Iran menjadi salah satu pemasok utama minyak Israel, dan Israel bergabung dengan Amerika Serikat pada awal 1970-an membantu Shah Iran mengganggu stabilitas Irak dengan jalan mendukung bangsa Kurdi.7

Hubungan erat Israel dengan Iran terutama dimaksudkan untuk membuat Irak lemah dan perhatiannya dialihkan dari konflik Arab-Israel. Sebagaimana ditulis oleh kolumnis Ha’aretz S. Schweitzer: “Iran membuat rusuh kamp Arab dan menetralkan salah satu musuh potensial kita yang paling kuat dan sengit, Irak… Ada kebenaran dalam hukum-hukum geopolitik: siapa pun yang memerintah Teheran menjadi, mau tak mau, sekutu dari siapa pun yang memerintah Jerusalem. “8

Israel khawatir Irak akan mengalihkan perhatiannya dari Teluk Persia dan mengarahkan mesin militernya yang sangat kuat ke Israel. Sebagaimana dicatat oleh Menteri Pertahanan Israel Yitzhak Rabin pada 1988, jika Irak mengirimkan setengah saja dari tank-tank perangnya ke Yordania dan Syria untuk melawan Israel, negara Yahudi itu akan menghadapi di garis depan timurnya lebih banyak tank daripada yang digerakkan NATO di Eropa.9 Dengan demikian, meskipun rezim baru Syi’ah Iran di bawah Ayatullah Khomeini secara terbuka bersikap anti-Zionis, Israel tetap memandang Iran yang kuat sebagai pihak yang dapat memenuhi kepentingan-kepentingan Israel dalam tahun-tahun mendatang.

Para pemimpin Israel berulang kali berusaha mempengaruhi kebijaksanaan AS agar menjauhi Irak dan mendekati Iran pada 1980-an.10 Usaha ini dapat membantu menjelaskan mengapa Israel begitu tertarik untuk mempromosikan apa yang kemudian dikenal sebagai skandal Iran-Contra pada pertengahan 1980-an di mana pemerintah Reagan menjual senjata-senjata ke Irak melalui Israel. Peranan sebagai perantara yang demikian penting menguatkan pengaruh Israel di Teheran, mengobarkan perang antara Iran dan Irak, yang dipandang Israel dari sudut kepentingan-kepentingan nasionalnya, dan melestarikan bisnis yang sangat menguntungkan.11

Bahkan setelah terbongkarnya skandal Iran-Contra, Menteri Pertahanan Rabin pada 1987 secara terbuka mengecam kebijaksanaan AS yang terlalu bergantung pada dukungan Irak. Rabin menuduh bahwa bantuan AS untuk Irak dan negara-negara Arab di wilayah teluk telah mengakibatkan Uni Soviet menjadi “satu-satunya adidaya yang dapat berbicara kepada dua pihak dalam perang, sementara Amerika Serikat tidak dapat melakukannya.” Rabin mengatakan bahwa Iran sekarang adalah musuh Israel, sambil menambahkan: “Tetapi pada saat yang sama, izinkan saya untuk mengatakan bahwa selama dua puluh delapan atau tiga puluh tujuh tahun Iran adalah sahabat Israel. Jika itu dapat berlangsung selama dua puluh delapan tahun… mengapa gagasan gila mengenai fundamentalisme Syi’ah ini tidak dapat enyah?”12

Alasan terakhir bagi Israel untuk memasok senjata-senjata ke Iran di tengah embargo senjata AS adalah dalam kaitannya dengan komunitas Yahudi di sana. Ada sekitar tujuh puluh ribu orang Yahudi di Iran, yang kebanyakan lari pada beberapa bulan pertama revolusi Khomeini. Namun setidak-tidaknya masih tinggal tiga puluh ribu orang, dan Israel berusaha melindungi mereka dengan jalan berbaik-baik dengan Teheran.13


OMONG KOSONG

“Negara-negara hitam Afrika tidak memutuskan hubungan dengan Israel disebabkan oleh pemikiran-pemikiran mengenai rasisme; kebanyakan merusak ikatan mereka dengan negara Yahudi itu karena adanya tekanan dari negara-negara Arab penghasil minyak pada 1973.” –AIPAC,199214

FAKTA

Hari-hari penuh persahabatan antara Israel dengan Afrika sub-Sahara hanya berlangsung singkat, dan berakhirnya hubungan itu sangat erat kaitannya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan agresif Israel dan juga dengan uang minyak Arab.

Periode persahabatan dimulai pada 1956 dengan dijalinnya hubungan diplomatik dengan Etiopia. Dengan segera terjalin pula hubungan-hubungan resmi antara Israel dengan sebagian besar negara yang baru merdeka dari penjajahan itu. Tetapi pada pertengahan 1960-an kekecewaan terhadap kebijaksanaan-kebijaksaan agresif Israel terhadap tetangga-tetangga Arabnya dan persekutuannya yang tidak terlalu dirahasiakan dengan CIA, mulai tumbuh di Afrika. CIA dilaporkan telah membayar Israel sebanyak $80 juta pada 1960-an untuk “melakukan penetrasi politik ke negara-negera yang baru mereka di benua hitam Afrika.”15 Sejak 1966, Konferensi Solidaritas Tiga Benua di Havana mengeluarkan suatu resolusi anti-Israel yang sangat kuat, termasuk kecaman terhadap bantuan teknis Israel (yang didukung oleh CIA) sebagai suatu bentuk imperialisme.16

Semua kecuali tiga negara Afrika telah memutuskan ikatan mereka dengan Israel pada 1976.17 Perkecualian itu adalah Malawi, Swaziland, dan Lesotho. Dua yang terakhir ini merupakan protektorat dari Afrika Selatan.18

Perpecahan dengan Israel dimulai sebelum embargo minyak Arab tahun 1973. Pemutusan ikatan itu benar-benar dimulai pada 1972. Pada waktu itu para diplomat Israel secara lebih tepat mengemukakan alasan-alasannya sebagai “radikalisasi dari benua Afrika dan semakin besarnya kekecewaan yang tumbuh pada dunia Barat di kalangan banyak pemimpin Afrika.”19 Ada alasan-alasan lain yang lebih mendesak dan khusus. Negara-negara Dunia Ketiga yang bermunculan mulai mengakui perlakuan Israel yang menindas terhadap bangsa Palestina. Setelah perang 1967, Israel tampak sebagai kekuatan penjajah persis seperti para penjajah Barat di Afrika. Lebih-lebih, hubungan persahabatan Israel dengan rezim rasis putih di Rhodesia dan Afrika Selatan sangat dibenci, seperti juga dukungannya pada upaya-upaya Portugal untuk mempertahankan koloni-koloni di Angola, Guinea-Bissau, dan Mozambique. Catatan pemberian suaranya di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang pada umumnya mendukung Barat juga dibenci oleh orang-orang Afrika.20 Di samping itu, banyak orang Afrika kecewa dikarenakan dukungan Israel pada beberapa rezim Afrika yang paling menjijikkan termasuk rezim Idi Amin di Uganda, Mobutu di Zaire, dan Bokassa di Republik Afrika Tengah.21


OMONG KOSONG

“Kini setelah kekuatan koersif dari para produsen minyak Arab telah terkikis, negara-negara Afrika mulai membangun kembali hubungan dengan Israel dan mengusahakan proyek-proyek kerjasama baru.” –AIPAC,199222

FAKTA

Motif yang paling mungkin untuk menjalin kembali hubungan dengan Israel bagi negara-negara Afrika adalah harapan bahwa tindakan itu akan mendatangkan keuntungan dikarenakan pengaruh Israel dalam Kongres AS. Ada suatu keyakinan di kalangan para pemimpin dunia –bukan hanya dari Afrika– bahwa hubungan baik dengan Israel dengan sendirinya akan memastikan hubungan baik dengan Amerika Serikat.23

Zaire, misalnya, mulai menjalin kembali hubungan dengan Israel pada 1982.24 Meskipun diktator Zaire Mobutu Sese Seko secara luas dikenal sebagai salah seorang pemimpin Afrika yang paling korup, jalinan kembali hubungan itu segera mendatangkan hasil. Semua bantuan AS untuk Zaire sebelumnya telah dipotong, namun setelah pembaruan ikatannya dengan Israel Kongres segera merumuskan kembali suatu program bantuan untuk Zaire.25 Dalam kenyataannya, koran Israel melaporkan bahwa salah satu permintaan paling khusus dari Mobutu ketika menjalin kembali hubungan itu adalah agar Israel menaikkan citranya di mata Amerika Serikat.26 Perdana Menteri Yitzhak Shamir berulang kali menjanjikan: “Israel akan membantu Zaire melalui pengaruhnya atas organisasi-organisasi Yahudi di Amerika Serikat, yang akan dapat membantu menaikkan citra [Zaire].”27

Rumania adalah contoh lain di luar Afrika. Meskipun ciri pemerintahan Nicolae Ceausescu sangat mengerikan, tiran Rumania itu tetap mendapatkan reputasi baik di Amerika Serikat dikarenakan penolakannya untuk mengikuti Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur lainnya pada masa perang 1967 yang memutuskan hubungan dengan Israel. Dengan demikian Ceausescu secara umum diperlakukan lunak oleh media AS dan Kongres. Israel dan kawan-kawannya mendorong Kongres untuk meneruskan status negara paling banyak ditolong semasa pemerintahan Ceausescu, suatu kategori yang mengurangi pajak senilai jutaan dollar setiap tahun untuk Rumania.28

Salah satu rahasia yang mendasari hubungan Israel dengan Rumania adalah operasi yang dilaksanakan secara diam-diam di mana Israel membayar Rumania agar membiarkan orang-orang Yahudi Rumania berimigrasi ke Israel. Operasi itu dimulai sekitar pertengahan 1950-an dan berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun berikutnya. Israel dilaporkan telah membayar lebih dari $1 milyar untuk membeli pembebasan dari 300.000 lebih orang-orang Yahudi Rumania. Bagian dari perjanjian itu termasuk janji Israel untuk melobi Kongres atas nama Rumania, suatu tindakan yang mendorong terjadinya distorsi pandangan Amerika terhadap diktator negara itu.29

Imelda Marcos dari Filipina secara terus terang mengatakan pada koran Israel di tahun 1981 bahwa suaminya, Presiden Ferdinand Marcos, ingin meningkatkan hubungan dengan Israel dan orang-orang Yahudi Amerika sebagai suatu cara “untuk memperbaiki citra yang ternoda [dari bangsa Filipina] di media Amerika, dan untuk memperjuangkan ketidakpopulerannya di Kongres Amerika.” 30


OMONG KOSONG

“Banyaknya aktivitas-aktivitas Israel di Dunia Ketiga mengagumkan dan menggelisahkan sahabat-sahabat dan musuh-musuh Israel.” –Benjamin Beit-Hallahmi, ilrnuwan Israel31

FAKTA

Mestinya tak seorang pun terkejut melihat luasnya keterlibatan Israel di Dunia Ketiga. Tentu saja kalangan intelijen tidak. Mereka tahu benar bahwa bagian dari nilai Israel di mata Amerika Serikat adalah kesediaannya untuk bertindak sebagai wakil, dan dengan demikian memberi Israel materai besar untuk membuka pintu-pintu di negara-negara yang ukurannya berkali lipat dari negara Yahudi tersebut.32

Amerika Tengah dan Latin –serta Afrika– adalah contoh-contoh yang gamblang. Tidak ada keraguan bahwa ketika pemerintahan Reagan berusaha menghindari oposisi Kongres untuk membantu para pemberontak Nikaragua yang dikenal dengan nama Contra, mereka meminta bantuan dari orang-orang Israel.33 Sebagaimana dikatakan oleh mantan Jenderal Mattiyahu Peled pada pertengahan 1980-an: “Di Amerika Tengah, Israel menjadi kontraktor ‘pekerjaan kotor’ bagi pemerintahan AS. Israel bertindak sebagai kaki tangan Amerika Serikat.”34

Seperti para pemimpin negara-negara lainnya, para penguasa Amerika Latin menghargai pengaruh Israel terhadap Kongres. Wartawan Washington Post Edward Cody melaporkan pada 1983 bahwa ada “harapan di kalangan pemerintah Salvador bahwa lobi pro Israel yang berpengaruh di Amerika Serikat [akan] mengulurkan bantuan secara diam-diam dalam debat-debat Kongres mengenai kearifan dari kebijaksanaan pemerintah menyangkut Amerika Tengah.”35

Upaya pemerintah Reagan untuk melangkahi amandemen Boland yang melarang bantuan kepada para pemberontak Contra itulah yang mendorong Israel untuk menyarankan bahwa keuntungan yang didapat dari penjualan senjata ke Iran dialihkan untuk membeli persenjataan bagi para pemberontak Contra.36 Ini merupakan inti skandal yang melibatkan Kolonel Oliver North dan Laksamana John Poindexter yang dikenal sebagai “Iran-Contra affair.”

Menteri Luar Negeri Shimon Peres menyatakan pada waktu itu bahwa “Israel tidak mendapatkan keuntungan satu sen pun dari sini. Ini bukan operasi Israel, ini adalah urusan Amerika Serikat, bukan Israel. Tujuan kami adalah membantu sebuah negara sahabat untuk menyelamatkan hidup mereka. Israel diminta untuk membantu dan Israel pun melakukannya.”37

Tetapi, laporan terakhir dari Komisi Tower yang menyelidiki skandal itu menyimpulkan: “Jelaslah… bahwa Israel mempunyai kepentingan-kepentingan sendiri, yang sebagian bertentangan sekali dengan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat, dengan mendorong Amerika Serikat melaksanakan inisiatif ini. Untuk ini, ia mendorong agar inisiatif tersebut dilaksanakan. Ia berusaha melakukan ini dengan mengadakan intervensi dengan staf NSC, Penasihat Kemananan Nasional, dan Presiden.”38

Ilmuwan Israel Aaron S. Klieman mencatat bahwa Amerika Tengah telah menjadi pasar utama bagi senjata-senjata dan dinas keamanan Israel: “Israel telah menawarkan untuk berbagi cadangan persenjataan yang berhasil dirampas di Lebanon, membantu aktivitas-aktivitas intelijen di Costa Rica dan Guatemala, dan dilaporkan melatih angkatan bersenjata pemerintah di kedua negara itu serta di Honduras dan El Salvador untuk melawan para pemberontak antipemerintah… Israel dilaporkan sebagai pemasok terbesar kedua di Amerika Tengah.”39

Israel beranggapan bahwa menjadi penasihat bagi beberapa tokoh Amerika Selatan yang paling dibenci adalah aktivitas yang menguntungkan. Di Panama, mantan agen Mossad Israel Mike Harari menghindari pasukan penyerang AS ketika mereka menyapu Panama untuk mencari diktator Manuel Noreiga pada Desember 1989. Setelah pensiun pada 1980, dia masuk ke dalam bisnis senjata dan usaha-usaha lain di Panama dan menjadi penasihat terdekat Noreiga. Harari di kemudian hari muncul di Israel sementara Noreiga ditangkap dan dipenjarakan di AS.40

Di Colombia, mantan Letnan Kolonel Israel Yair Klein, pemilik Spearhead Ltd., sebuah perusahaan keamanan yang berpusat di Tel Aviv, dituduh melatih para pedagang obat bius yang dikenal sebagai sicarios –para pembunuh– dalam taktik-taktik militer yang canggih dan penggunaan bahan-bahan peledak. Klein lari ke Israel dan menyatakan bahwa dia mengira dia tengah melatih para petani Colombia untuk melindungi diri mereka dari kaum pemberontak.41 Israel di kemudian hari menuduh Klein telah mengekspor senjata secara ilegal, dan dia dinyatakan bersalah telah menjual persenjataan dan menyalahgunakan keahlian militernya.42 Pada 3 Januari 1991, dia dihukum membayar denda $75.000 dan diberi penundaan hukuman penjara satu tahun. Menteri Luar Negeri Colombia Luis Fernando Jaramillo Correa memprotes kelonggaran hukuman itu.43

Di samping para pedagang obat bius dan bajingan-bajingan seperti Noreiga, Israel telah mendekati dan bersahabat dengan para penguasa yang lalim dan kejam seperti Jendral Augusto Pinochet Ugarte dari Cile, Roberto D’Aubuisson dari El Salvador, Jenderal Romeo Lucas Garcia dari Guatemala, Jean-Claude Duvalier dari Haiti, Anastasio Somoza Debayle dari Nikaragua, dan Jenderal Alfredo Stroessner dari Paraguay.44 Sedihnya, harus diakui bahwa Amerika Serikat juga telah terlibat jauh dengan tokoh-tokoh bereputasi buruk yang sama ini.

Catatan kaki:

1 Viorst, Sands of Sorrow, 275.

2 Beit-Hallahmi, The Israeli Connection,13.

3 Walter Pincus, Washington Post, 9 Desember 1991. Juga lihat Seale, Asad of Syria, 360-61.

4 Seymour Hersh, New York Times, 8 Desember 1991

5 Gary Sick, New York Times, 15 April 1991, dan bukunya October Surprise. Juga lihat Jane Hunter, “Covert Operations: The Human Factor”, The Link, Agustus 1992.

6 Ball, The Passionate Attatchment, 292-94; Beit- Hallahmi, The Israeli Connection, 8; Cockburn, Dangerous Liaison, 99; Seale, Asad of Syria, 265-66, 359-60; Tamir, A Soldier in Search of Peace, 241. Suatu versi baru tak resmi dari strategi untuk 1980-an ditulis oleh mantan pejabat Kementerian Luar Negeri Israel Oded Yinon pada 1982 dengan judul berbahasa Inggris “A Strategy for Israel in the Nineteen Eighties.” Esai itu mendapat komentar secara luas, sebab dalam kata-kata ilmuwan antikemapanan Israel, Israel Shahak, itu “menggambarkan, menurut pendapat saya, rencana akurat dan rinci dari rezim Zionis yang sekarang (Sharon dan Eitan) untuk Timur Tengah yang didasarkan atas pembagian keseluruhan daerah tersebut menjadi negara-negara kecil, dan pembubaran dari semua negara Arab yang ada;” dikutip dalam Nakhleh, Encyclopedia of Palestine Problem, 892-95. Perdana Menteri David Ben-Gurion menjelaskannya dalam sebuah surat untuk Presiden Eisenhower pada 1958: “Dengan maksud mendirikan sebuah bendungan tinggi untuk menghadapi pasang naik gelombang Nasser-Soviet, kami telah mulai mempererat ikatan kami dengan beberapa negara yang berada di luar garis keliling Timur Tengah… Tujuan kami adalah mengorganisasi sekelompok negara, tidak harus dalam bentuk persekutuan resmi, yang akan mampu menghadapi ekspansi Soviet melalui wakilnya Nasser;” dikutip dalam Segev, The Iranian Triangle, 35.

7 Donald Neff, “The U.S., Iraq, Israel and Iran: Backdrop to War;” Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1991.

8 Dikutip dalam Beit-Hallahmi, The Israeli Connection, 15.

9 Bard dan Himelfarb, Myths and Facts, 265.

10 Tamir, A Soldier in Search of Peace, 209.

11 Beit-Hallahmi, The Israeli Connection, 14; Cockburn, Dangerous Liaison, 344.

12 Glenn Frankel, Washington Post, 28 Oktober 1987.

13 Seale, Asad of Syria, 360, 362; Neff, “The U.S., Iraq, Israel and Iran.”

14 Bard dan Himelfarb, Myths and Facts, 218.

15 Beit-Hallahrni, The Israeli Connection, 40-41; Cockburn, Dangerous Liaison, 109-10.

16 Beit-Hallahrni, The Israeli Connection, 41.

17 Ali A. Mazrui, “Black Africa and the Arabs;” Foreign Affairs, Juli 1975.

18 Neff, Warriors against Israel, 131-32.

19 Terence Smith, New York Times, 12 Januari 1973.

20 Beit-Hallahmi, The Israeli Connection, 43- 44.

21 Chomsky, The Fateful Triangle, 21. Juga lihat Ball, The Passionate Attachment, 284-94.

22 Bard dan Himelfarb, Myths and Facts, 218.

23 Beit-Hallahmi, The Israeli Connection, 11; Chomsky, The Fateful Triangle, 23-26.

24 David K. Shipler, New York Times, 19 Mei 1982.

25 Cockburn, Dangerous Liaison, 327-28.

26 Beit-Hallahmi, The Israeli Connection, 58.

27 Chomsky, The Fateful Triangle, 23.

28 Jack Anderson dan Dale Van Atta, Washington Post, 20 Oktober 1991.

29 Ibid. Juga lihat Sachar, A History of Israel, 516, yang melaporkan terjadinya gelombang dadakan emigrasi Yahudi dari Rumania sejak 1958.

30 Al Hamishmar, 29 Desember 1981, dikutip dalam Chomsky, The Fateful Triangle, 23.

31 Beit-Hallahmi, The Israeli Connection, xii.

32 Ibid., 11; Chomsky, The Fateful Triangle, 23- 26; Cockburn, Dangerous Liaison, 218.

33 Woodward, Veil, 355-57; Beit-Hallahmi, The Israeli Connection, 78.

34 Cockburn, Dangerous Liaison, 218.

35 Edward Cody, Washington Post, 17 Agustus 1983.

36 Cockburn, Dangerous Liaison, 230.

37 Washington Post, 26 November 1986.

38 John Tower, “Report on the President’s Special Review Board,” 26 Februari 1987, IV-12.

39 Klieman, Israel’s Global Reach, 133- 34. Juga lihat Ball, The Passionate Attachment, 285-89.

40 David Halevy dan Neil C. Livingstone, Washington Post, rubrik Outlook, 7 Januari 1990. Juga lihat Raviv dan Melman, Every Spy a Prince, 350-54. Ada berbagai acuan negatif bagi Harari dalam Ostrovsky, By Way of Deception.

41 Douglas Farah, Washington Post, 17 Juli 1990. Juga lihat Cockburn, Dangerous Liaison, 212-13; Raviv dan Melman, Every Spy a Prince, 355.

42 Associated Press, New York Times, 30 November 1990.

43 Israeli Foreign Affairs, Januari 1991. Juga lihat Cockburn, Dangerous Liaison, 290.

44 Beit-Hallahmi, The Israeli Connection, 78.