Israel bermain di Libya?

♠ Posted by Aryni Ayu in


Setelah revolusi Mesir, pergolakan yang terjadi dalam negeri Libya menjadi peristiwa yang paling banyak menyedot perhatian dunia. Pemberitaan pun lebih banyak mengupas soal sosok pemimpin Libya Muammar Gaddafi dengan segala macam intrik dan kenyenterikannya, serta kebrutalannya dalam menghadapi para demonstran bahkan konon pasukannya sendiri yang menolak berpihak padanya.
Tak ada media yang secara mendalam mengulas atau menganalisa apa sebenarnya yang terjadi di Libya, benarkah pergolakan di negeri itu semata-mata hanya imbas revolusi di Tunisia dan Mesir, karena masalah politik atau karena Gaddafi yang sudah terlalu lama berkuasa sehingga dianggap otoriter?
Penulis buku yang juga mendalami kajian Timur Tengah, Dina Y. Sulaeman membuat analisa menarik terkait dengan gejolak dalam negeri Libya dalam tulisannya bertajuk "Kini Tiba Giliran Libya" yang dimuat di situs IRIB World Service.
Ia menulis, minimnya informasi tentang krisis di Libya memungkinan munculnya beragama analisa. Publik seharusnya tidak menelan mentah-mentah pemberitaan media-media mainstream yang sudah berkali-kali terbukti berperan penting dalam upaya penggulingan rezim di negara-negara Dunia Ketiga. Selain itu, jika di Mesir ada kelompok Ikhawnul Muslimin, dalam krisis di Libya belum ada nama-nama tokoh oposisi di Libya yang muncul ke permukaan atau siapa yang berperan dalam mobilisasi massa di Libya.
Penulis buku "Obama Revealed", "Pelangi di Persia" dan buku best seller "Doktor Cilik Hafal dan Paham Al-Quran" ini, dalam analisanya, menelisik dimensi lain pemicu krisis di Libya yang mungkin luput dari perhatian publik dunia, yaitu sumber minyak Libya yang berlimpah.
Dina mengutip Wall Street Jourmal edisi 28 Agustus 2009 yang menyebutkan bahwa Libya adalah negara di Afrika yang memiliki sumber minyak terbanyak. "Konsesi minyak Libya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan minyak yang sudah umum didengar telinga, British Petroleum, Total, Shell, atau ExxonMobil. Perusahaan-perusahaan yang juga mengeruk minyak dan gas di Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya, yang saham terbesarnya dikuasai oleh orang-orang Zionis," tulis Dina.
Dalam laporannya, Wall Street Journal mengeluhkan sikap Libya yang menyulitkan investor. Rupanya, sejak tahun 2007, pemerintah Libya memaksa perusahaan-perusahaan minyak asing untuk menegosiasi ulang kontrak mereka. Perusahaan yang ingin memperpanjang kontrak, harus membayar bonus yang sangat besar dan hanya mendapatkan hak eksplorasi yang lebih sedikit. Libya mengancam perusahaan-perusahaan itu dengan wacana nasionalisasi, jika mereka menolak syarat-syarat yang ditetapkan.
Masih menurut Wall Street Journal, tulis Dina, dalam kondisi seperti itu, tender hanya mungkin dimenangkan oleh perusahaan minyak milik negara seperti Gazprom dari Rusia atau Sonatrach dari Aljazair. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan swasta milik pengusaha-pengusaha Zionis itu merasa "tergencet" dengan persyaratan yang diajukan penguasa Libya.
Lebih lanjut, Dina menulis bahwa laporan Wall Street Journal itu bersesuaian dengan doktrin lama kekuatan-kekuatan kapitalis Zionis; bila ada rezim yang mengancam kepentingan kapitalis, maka gulingkan!
"Lembaga-lembaga think-tank Zionis, mulai dari Freedom House, National Democrat Institute, International Republican Institute, USAID, hingga LSM-LSM swasta yang didanai milyarder Zionis macam Open Society-nya George Soros sudah terbukti menjadi dalang dari upaya-upaya penggulingan rezim (baik yang sudah berhasil maupun belum) di Serbia, Georgia, Ukraina, Kyrgyzistan, Nikaragua, Myanmar, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Palestina, Lebanon, dan Iran," tulis Dina.
"Tentu saja, upaya ‘pemberian bantuan' untuk penggulingan rezim di sebuah negara bukan mereka lakukan dengan niat tulus membebaskan rakyat dari kediktatoran sebuah rezim, tapi semata-mata demi memuluskan jalan bagi korporasi-korporasi transnasional milik Zionis," tukasnya.
Di akhir tulisannya, Dina menyatakan bahwa analisanya bukan untuk membela seorang Gaddafi yang jelas-jelas seorang diktator. Ia menegaskan, kroni AS-Zionis itu banyak jenisnya.

"Ada yang budak dalam arti seutuhnya, tunduk patuh pada apapun kata Sang Tuan, macam Ben Ali atau Husni Mobarak, sampai-sampai rakyat mereka hidup miskin. Ada pula yang berwujud diktator, macam Qaddafi, tetapi masih berani bermulut besar di depan Barat sehingga rakyatnya tetap punya uang sekitar 14.000 dolar per tahun. Ada pula yang menjaga citra sebagai pemimpin yang ramah dan demokratis, namun sesungguhnya lewat tangannyalah kekayaan alam negaranya diobral habis kepada korporasi AS-Zionis," pungkasnya.

Yang Menuai Kontroversi, yang Berkontribusi Nyata untuk Negeri…

♠ Posted by Aryni Ayu in


Enam puluh lima tahun sudah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Namun, sebagian besar kita pasti sepakat bahwa Indonesia belum benar-benar merdeka.
Ada puluhan juta rakyat Indonesia yang masih “terjajah” kemiskinan dan kebodohan. Ada jutaan rakyat pula yang tengah berjuang untuk mandiri dan terlepas dari status sebagai pengangguran. Sejumlah besar pejabat di negeri ini juga belum mampu memproklamirkan diri bebas dari segala tindak korupsi, kolusi dan nepotisme.


Salah Satu Sudut Indonesiaku (Foto: primaironline.com)
Bahkan bangsa ini masih terperangkap dalam “penjajahan baru” (neo-kolonialisme) bernama hutang luar negeri dengan jumlah yang sangat fantastis sehingga masuk dalam kelompok Negara-negara Miskin Penghutang Berat (Highly Indebted Poor Countries, HIPS); keadaan yang memungkinkan berbagai intervensi asing dapat dengan mudah menggerogoti kedaulatan Indonesia dalam menentukan jalannya sendiri sebagai sebuah negara yang merdeka. Hufff…….

Dengan sekelumit realita di atas, masihkah dengan bangga kita akan menepuk dada sebagai bangsa yang benar-benar telah merdeka……? Ataukah kenyataan di atas menyentak nurani kita : ada amanah besar di pundak kita, khususnya generasi muda, untuk menuntaskan kemerdekaan yang belum sepenuhnya menjadi milik kita. Karena masih ada begitu banyak bentuk “penjajahan” yang harus kita lawan : kemiskinan, kebodohan, ketergantungan, budaya korupsi, dan masih banyak lagi. Jika bukan kita yang peduli dan melakukannya, siapa lagi?

Muhammad Yunus

Dunia sudah sangat mengenal sosok Muhammad Yunus. Dengan Grameen Bank-nya, Yunus berhasil memecah mata rantai lingkaran setan yang diciptakan antara kemiskinan dan permodalan, salah satu penjajah nomor wahid di seluruh penjuru dunia saat ini. Ia tidak hanya berhasil membuktikan bahwa gerakan nyata untuk mendayagunakan ekonomi masyarakat bawah bisa berjalan namun juga membuktikan bahwa kaum perempuan yang menjadi nasabah utama (98%) ternyata tidak hanya bisa dipercaya namun juga mampu melakukan sebuah perubahan sangat revolusioner, yakni berhasil melawan kemiskinan. Diperkirakan 1,1% dari GDP Bangladesh merupakan nilai tambah dari seluruh aktifitas Grameen Bank. Hingga tahun 2008, Grameen Bank telah memiliki 1.181 cabang, bekerja di 42.127 desa, didukung 11.777 staf, menyalurkan kredit sebanyak $3,9milyar kepada 2,6juta debitur yang 95% perempuan. Hingga kini, model Grameen Bank telah direplikasi oleh lebih 250 lembaga keuangan mikro di hampir 100 negara.

Jika dalam ekonomi kerakyatan, dunia mengenal Muhammad Yunus dari Bangladesh dengan Grameen Bank-nya; di bidang ekonomi kreatif, dunia mengenal sosok Dynand Fariz dari Indonesia dengan JFC atau Jember Fashion Carnival-nya. Sebagian Anda mungkin bertanya, siapa itu Dynand Fariz? Apa pula Jember Fashion Carnival itu? Apakah ada kontribusi yang diberikannya untuk negeri ini? Et cetera …..

Dynand Fariz (Presiden Jember Fashion Carnaval)



Dynand Fariz mungkin belum setenar Muhammad Yunus meski dunia sudah cukup mengenal dan mengakui karyanya. Ia juga banyak menuai kontroversi, meski apa yang dilakukannya baik langsung maupun tidak langsung telah memberi kontribusi nyata bagi Indonesia. Lebih dari itu, filosofi hidup dan perjuangannya bisa menjadi inspirasi bagi anak negeri tentang bagaimana memaknai nasionalisme dan berkiprah secara nyata untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik.

………
Nama Dynand Fariz tak bisa lepas dari JFC atau Jember Fashion Carnival, begitu juga sebaliknya. Ia adalah pendiri sekaligus presiden JFC. JFC sendiri adalah sebuah peragaan fashion atau catwalk jalanan sepanjang 3,6 km dengan menampilkan ratusan model dengan tampilan yang sangat meriah.

Salah satu penampilan JFC di Shanghai, China. Sumber Foto : www.jemberfashioncarnaval.com

JFC sebenarnya terinspirasi dengan model karnaval yang ada di Brazil. Bedanya, JFC mengangkat budaya lokal Indonesia dan merespon isu-isu lingkungan yang ada. Karena itu, meski mode identik dengan dunia konsumsi, Dynand Fariz justru mendorong penggunaan barang daur ulang pada setiap peserta karnaval. Berbeda pula dengan Festival Samba yang pesertanya memakai kostum sejenis, di JFC tidak ada satupun peserta yang berkostum sama. Setiap model yang tampil menampilkan seribu pesan yang disampaikan dengan eksklusif.

Sebagai wujud ekonomi kreatif, JFC adalah sebuah fenomena; sebuah realisasi mimpi dan aktualisasi kreativitas intelektual dalam sebuah karya yang begitu inovatif di bidang fashion. Meski tumbuh dan berkembang di daerah kecil dan terpencil, JFC mampu mengembangkan diri secara profesional berstandar internasional. Think globally, act locally. JFC memiliki standar carnival yakni sarat kreativitas, punya nilai komunikasi, punya nilai jual, punya nilai kontinyu, tren dan aktual. Acuannya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan karnaval kelas dunia : spektakuler, unik, fantastik dan amazing. Berkat JFC, Jember yang dulu tak dikenal kini telah menjadi kota carnaval, kota trendsetter, acuan, jadi pusat penelitian, pusat perbandingan dan mulai diikuti kota lain. Masyarakatpun mulai merasakan manfaatnya. Dengan puluhan bahkan ratusan ribu pengunjung di setiap pagelarannya, baik dalam maupun luar negeri, JFC telah berkontribusi menggerakkan roda perekonomian di Kabupaten Jember. Sektor pariwisata menggeliat, hotel-hotel, rumah makan, pusat perbelanjaan kian menjamur. Begitu pula dengan moda transportasi. Yang tak kalah penting, usaha kecil menengah masyarakat seperti industri makanan dan kerajinan ikut pula terakselerasi. Pemerintah Daerahpun semakin menata diri. Dunia kini tak hanya mulai mengenal Jember, satu kota terpencil di penghujung Pulau Jawa; iapun mulai diperhitungkan sebagai tujuan investasi yang prospektif.
Muluskah perjuangan Dynand Fariz untuk mewujudkan mimpinya seperti sekarang? Tentu saja tidak Kawan! Keberhasilan JFC yang fenomenal tidak mengalir begitu saja. Hal yang sama pasti juga dialami oleh Muhammad Yunus ketika mencetus dan merealisasikan konsep Grameen Bank-nya. Sesuatu yang baru atau belum ada sebelumnya, seringkali disikapi masyarakat dengan apatis dan skeptis. Inilah yang dialami oleh Dynand Fariz yang bahkan sempat menuai kontroversi. Di sini, ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil, khususnya tentang bagaimana memaknai dan membangun nasionalisme. Dynand dengan JFC-nya telah menegaskan bahwa nasionalisme bukan sekedar kata-kata, juga bukan sekedar rasa bangga yang membuncah jiwa. Nasionalisme adalah akumulasi dari rasa bangga, kreativitas, inovasi dan kerja keras yang konsisten dalam sebuah karya nyata untuk Indonesia.

Potret kehidupan Dynand mewakili kehidupan dan dilema yang dirasakan oleh sebagian orang Indonesia saat ini. Sebagian dari kita mungkin tengah mengalami krisis nasionalisme, atau bahkan merasa malu menjadi orang Indonesia. Negara dengan sejumlah predikat terburuk di dunia : sarang koruptor, pembajak bahkan juga dicap sebagai surga bagi para teroris. Terbelit sejumlah masalah multidimensi seperti angka kemiskinan yang spektakuler, jumlah pengangguran yang fantastis dan terus meningkat, kualitas SDM yang rendah, ditambah lagi kualitas pendidikan dan kesehatan yang rendah serta ancaman terhadap keamanan dan integrasi. Kita juga negara paradoks : kaya tapi sebagian besar rakyatnya hidup dalam kemiskinan; kaya akan sumber daya alam tapi memiliki hutang luar negeri yang sangat besar jumlahnya; banyak rakyat miskin dan kelaparan tapi para pejabatnya justru bergelimang kemewahan. Tak mengherankan jika sejumlah orang merasa tidak bangga dengan Indonesia-nya. Hal yang sama juga dirasakan oleh Dynand terhadap kota kelahirannya, Jember, beberapa tahun lalu.

Dynand Fariz lahir di sebuah desa terpencil, Desa Garahan, Kecamatan Silo Kabupaten Jember. Di mata Dynand Fariz saat itu, Jember adalah kota kecil yang tidak menarik dan tidak memiliki keistimewaan. Apa yang bisa dibanggakannya dari kota kecil seperti Jember? Luas wilayah dan penduduknya tak seberapa, kegiatan ekonomi dan pesona wisatanya juga tak terlalu menonjol dari daerah lain. Apalagi letak geografisnya ada di penghujung Pulau Jawa. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan semakin memperdalam rasa rendah dirinya.


Dynand Fariz di London, Sumber Foto : www.jemberfashioncarnaval.com

Tapi Dynand Fariz tidak berpaling dan berpatah arang. Ia tinggalkan kariernya yang sudah cukup mapan di Ibukota dan begitu menyelesaikan studinya di ESMOD Pusat, Paris, Dynand Fariz segera kembali ke kampung halaman dengan mimpi besarnya menjadikan Jember sebagai kota mode. Inilah salah satu pelajaran penting dari seorang Dynand Fariz tentang bagaimana memaknai sebuah nasionalisme : betapapun kita tidak bangga bahkan mungkin muak dan malu menjadi orang Indonesia, jangan pernah tinggalkan Indonesia! Rasa malu dan muak itu harus kita ubah menjadi energi positif untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik. Sekali lagi, jika bukan kita yang melakukannya, siapa lagi? Okelah kalau begitu…. Tapi bagaimana caranya, bagaimana memulainya?

Mulailah dari sebuah mimpi dan jangan pernah takut untuk bermimpi! Dynand Fariz adalah salah satu orang di muka bumi ini yang berhasil membuktikannya. JFC lahir dari mimpi besar Dynand untuk mem-branding Jember sebagai kota fashion carnaval kelas dunia. Menurutnya, jika punya kemauan dan kesempatan, kota kecil seperti Jember bisa bersaing dengan kota besar seperti Paris dan Milan. Tak hanya berani bermimpi besar, Dynand Fariz juga berani mengambil resiko untuk membuat dunia menoleh ke Jember.

Mimpi besar tersebut ia mulai dengan menyelenggarakan peragaan fashion di tingkat lokal yang diberi nama Jember Fashion Carnaval (JFC). Ketika pertama kali digelar pada tahun 2002 lalu, pesertanya hanya 30 orang yang terdiri dari teman-temannya sendiri. Mereka berkeliling ke kampung-kampung. Banyak warga mengira peragaan JFC pertama itu demo sehingga banyak yang menutup pintu ketika rombongan Dynand lewat. Tak hanya itu, pro dan kontra juga bermunculan bahkan DPRD Jember turut turun tangan ketika kontroversi semakin menguat. JFC dianggap tidak sesuai dengan kultur Jember yang religius dan tidak memiliki kultur fashion. Tapi Dynand tidak menyerah. Lama kelamaan ketika masyarakat mulai menikmati manfaat dari event tersebut, suara kontra mulai banyak beralih ke pro. JFC tidak hanya semakin dikenal dan diterima, sederet prestasi juga berhasil diraih hingga level internasional.

Pelajaran penting lain dari sosok Dynand Fariz adalah be yourself. Kita tak harus menjadi orang lain untuk menjadi berguna bagi Indonesia. Just be you : kenali diri, gali potensi dan maksimalkan. Dynand mengembangkan apa yang dia suka dan menjadi bakat minatnya yakni fashion. “Dynand-Dynand” baru harus tumbuh dan berkembang di semua lini kehidupan : politik, ekonomi, social, seni dan budaya, pendidikan, pertanian, peternakan, kesehatan, dan semuanya. Bidang apapun yang kita suka dan pilih, lakukan dan jadilah yang terbaik di dalamnya. Jika mimpi adalah pondasi, maka sosok “Dynand” yang inspiratif, pantang menyerah dan pekerja keras di semua lini kehidupan adalah tiang penyangga yang akan membangun mimpi besar Indonesia yang jaya dan sejahtera di kemudian hari.
Jika ber-mimpi sudah, berusaha menjadi diri sendiri juga sudah, what’s next?
Just do it, of course! Jika Aa’ Gym mengatakan, mulailah dari yang kecil dan saat ini juga, Dynand Fariz mencontohkan bangunlah kampung halaman atau daerahmu. Bukan berarti primordialisme, namun banyak fakta dan realitas menunjukkan banyak daerah di Indonesia belum berkembang optimal bahkan tertinggal karena kurangnya SDM berkualitas yang berkiprah di sana. Banyak putra daerah lebih memilih mengadu nasib ke ibu kota. Inipun bukan hal yang salah. Namun bagi kita yang mungkin karena beberapa sebab tetap harus tinggal di daerah, semangat Dynand dalam membesarkan kotanya semoga menjadi inspirasi untuk tetap semangat melakukan hal terbaik bagi negeri. Akses informasi kini bukan halangan lagi. Think globally act locally.
Akhir kata, mari berani bermimpi, mari berinovasi dengan tetap menjadi diri sendiri dan lakukan yang terbaik untuk negeri. Mari memaknai dan membuktikan nasionalisme dengan cara yang konkrit dan kreatif karena nasionalisme bukan sekedar kata-kata, juga bukan sekedar rasa bangga yang membuncah jiwa; nasionalisme adalah akumulasi dari rasa bangga, kreativitas, inovasi dan kerja keras yang konsisten dalam sebuah karya nyata, untuk kejayaan Indonesia tercinta. Mari kita tuntaskan kemerdekaan yang masih menyisakan sejumlah ”PR” ini…..

a Cup of Love

♠ Posted by Aryni Ayu


Tampaknya judulnya lebih cocok jika dijadikan judul novel atau cerpen.. sayangnya sama sekali tidak ada hubungan antara judul dengan cerpen maupun novel. Terinspirasi dari tumblr seseorang yang membicarakan tentang kopi, kadang pait kadang manis. Bagi saya, begitu juga dengan cinta, tidak selalu kita merasakan manisnya cinta.

Pahitnya secangkir kopi kadang menurut orang itu begitu nikmat, cinta tanpa merasakan pahitnya juga akan terasa hampa. Kadang saat membuat kopi juga terlalu manis membuat kita `eneg`, cinta jika selalu merasakan yang manis bisa membuat diri terlena dan melupakan segalanya. Kita belajar bagaimana membuat kopi yang nikmat, kita pun butuh belajar bagaimana mencintai dengan benar agar terasa nikmat.

Kopi lebih nikmat dinikmati saat masih hangat, hangatkan hati kita kepada setiap orang disekitar sehingga mereka nyaman bersama kita. Tambahkan sedikit creamer untuk menambah kenikmatan kopi, tambahkan keikhlasan mencintai kepada setiap orang disekitar anda. Taburkan coklat diatas kopi, taburkan cinta kepada semua orang.

Kopi terasa pahit tanpa gula, tapi gula tidak bisa dikatakan manis jika tidak pernah ada rasa pahit. Untuk apa ada gula jika tidak membuat yang pahit menjadi manis, asam menjadi manis asam, asin menjadi gurih? hehe…

Selamat menikmati kopi anda, jangan lupa ya baca bismillah… libatkan Allah dalam segala urusan, termasuk urusan CINTA.