Kesenyapan Suara Kartini (The Lower Voice of Kartini)

♠ Posted by Aryni Ayu in at 15.02
Di masa – masa berat inilah jabang bayi Kartini lahir. Jika dulu pribumi berjuang untuk sesuatu yang pantas diperjuangkan, demi harga diri rakyat. Masa culturstelsel, rakyat berjuang tanpa demi apa – apa.

“Suaraku kian senyap, terdengar parau! Hampir seluruh generasiku, wanita – wanitaku, tak sesuai dengan amanatku dulu! Mereka terlalu lelap dalam buaian kapitalis. Emansipasiku bukan itu, sungguh, kalian salah tafsir!” Seandainya Kartini masih hidup, inilah surat yang mungkin akan ia kirimkan kepada sahabatnya, Estella Zeehandelaar.



Tertanggal dua puluh satu april setiap bulannya. Meski tidak ditandai oleh garis lingkar merah di kalender, namun gaungnya terus terdengar. Ya, hari itu, semua orang hampir di seluruh pelosok negeri ini beramai – ramai merayakan sesuatu. Media televisi dari pagi hingga senja hari, secara kontinyu berlomba – lomba menampilkan sosok Kartini dalam beberapa potret. Ada yang memberitakannya dalam ranah modeling dan fashion. Ranah sosial dan human interest, salah satunya menampilkan sosok wanita yang penuh derita dan kuat memperjuangkan hidupnya, mungkin hanya untuk makan!, Terakhir, ranah independen yang lebih tercermin dalam arti ‘kebebasan’. Bebas berpikir, berbuat, dan bertanggung jawab, mungkin juga untuk statement bebas moral!

Hari itu memang penuh arti. Banyak diantara wanita – wanita kita memakai baju favoritnya. Di tempat pelajar berkumpul, antara guru dan murid diwajibkan untuk berpoles diri ala dirinya. Seorang model berlenggak – lenggok dalam busana Anne Avantie, memakai gincu demikian tebal, raut tubuhnya berkata “Perhatikan aku, aku adalah dirinya dalam balutan batik ini”.
Ya, siapa tak kenal Kartini. Wanita kita yang satu ini adalah symbol kebebasan bagi para wanita lain. Berkat dirinya suara – suara penderitaan ‘kaum lemah’ tak lagi terdengar separau dulu, ketika kebebasan terbelenggu dalam strata unggah – ungguh simbolisme Jawa. Saat gema “merdeka” tersimpan dibalik seragam para colonial Belanda.

Kartini cukup bahagia melihat kaumnya kini tak se-menderita dia dulu, namun suaranya tak lagi lantang. Jauh di dalam kuburnya, mungkin suaranya keras – keras menggema “Wanita – wanitaku, inilah aku, perjuanganku, emansipasiku, adalah untukmu, kumohon jangan salah tafsir!” Dirinya sedih ketika melihat perubahan dunia yang tak lagi seindah dulu, norma – norma kian terdegradasi, perempuan – perempuan yang ia bela justru semakin larut dalam eksploitasi zaman, eksploitasi para kapitalis!

“sungguh aku wanita Jawa yang berhak untuk tidak bodoh, aku akan membela rakyatku, sampai tiitk darah penghabisan, Stella..” (Surat Kartini, 15 Agustus 1900)

Saat itu Jawa bukanlah pulau pendidikan, pulau modern, pulau metropolitan. Jawa hanyalah actor figuran yang ada dibalik suksesnya Belanda menghasilkan berkarung – karung uang dari hasil minyak pribumi. Rakyat terlihat kurus kerontang, tinggal tulang – belulang. Tahun 1830, pasca Perang Jawa besar – besaran, kaum pribumi boleh terdengar hingar bingar. Karena pertempuran mereka membela negeri ini, agak terbayarkan. Minimal, dunia melalui para penulis Barat akan tahu betapa dahsyatnya perlawanan pribumi kepada tuannya. Hutang yang melilit Belanda atas perang ini terlampau tidak sedikit, sebesar 37 f. Jika dibulatkan dengan nominal hari ini, mungkin akan setara dengan penjualan minyak seluruh Jawa ke luar negeri. Sebagai penjajah yang merasa berstrata lebih tinggi, lebih berpengetahuan, seorang Komisaris Jenderal Hindia Belanda memunculkan wajahnya kepada Ratu Wihelmina. Dirinya mempersembahkan rencana – rencana ‘jahat’ lain untuk membayarkan hutang – hutang Belanda kepada dunia internasional. Pasti dan tak mungkin salah, melalui negeri jajahan. Apalagi Indonesia, adalah negara kaya dan dungu, batin seorang Komisaris. Lahirlah ‘culturstelsel’, sebuah arena malapetaka selanjutnya untuk para pribumi. Dipimpin oleh van den bosch, mereka lepas landas menuju Hindia – Belanda.

Lagi dan lagi. Pribumi harus menderita akibat keputusan Nederland untuk menghalalkan rencana – rencana malapetaka baru. Seperlima dari tanah penduduk, kini harus ditumbuhi tanaman – tanaman komersil yang ditetapkan oleh Gubernemen (baca : gubernur pimpinan Belanda) seperti ; kopi, nila, gula, tembakau. Sedangkan hasil, dapat diserahkan pemerintah dengan harga pasar. Dalam laporan – laporan kepada Hindia Belanda, sejenak culturstelsel adalah indah, tanpa penjajahan. Tapi pada realitanya, rakyat semakin tinggal tulang belulang. Lihat saja, banyak diantara mereka bekerja diatas tanahnya sendiri. Jika tak memiliki sebidang tanah, maka akan bekerja untuk Belanda selama enam belas bulan, tanpa biaya transportasi dan tanpa uang upah. Pribumi memiliki tanah, tapi garapannya adalah milik Belanda. Munculah kaum proletar untuk pertama kalinya di Jawa.

Jika dulu pribumi berjuang untuk sesuatu yang pantas diperjuangkan, demi harga diri rakyat. Masa culturstelsel, rakyat berjuang tanpa demi apa – apa. Kini nenek moyang kita terlihat lebih dungu, dan lebih menderita. Cambuk – cambuk Belanda mewarnai warna kulit pribumi setiap harinya, mayat – mayat jatuh bergelimpangan di jalanan, dan para amtenar Jawa, tidak bisa berbuat apa – apa. Selain, hanya mengirimkan surat protes untuk Belanda. Di masa – masa berat inilah jabang bayi Kartini lahir.

Kartini terlahir di sebuah tempat dalam gedung keassistenanwedanan, dahulu merupakan tempat rumah bupati. Ya, karena ayahnya adalah bupati Jepara, seorang bernama Ario Sosroningrat. Beliau adalah bupati pertama meneruskan usaha kakek Kartini, yang berjuang agar rakyat mendapat keringanan akibat culturstelse. Adalah bupati pertama pula yang mempunyai ide dan menerapkan suatu hal, bahwa pendidikan dan pengetahuan akan sangat penting agar anak – anaknya tak semenderita rakyatnya.

Mengenai ibu kandungnya, nyata adanya merupakan selir yang dinikahi ayahnya, bernama Sumirah (Surat, 21 Maret 1902, kepada Nyonya H.G. de Booiji – Boissevain). Meski media massa jarang memberitakan hal ini, bisa dipahami sebabnya. Dahulu, memang peranan wanita jarang atau bahkan tidak ditonjolkan dalam simbolisme Jawa. Jadi wajar saja apabila ibu kandung kartini yang hanya dari seorang rakyat biasa, yang kebetulan saja karena mungkin keindahan dan kemolekan tubuhnya, beruntung dinikahi oleh seorang bangsawan, tidak dipublikasikan. Dalam surat – surat Kartini pun, tidak tertulis nama ibu kandungnya. Kemungkinan besar, dirinya harus menjaga nama baik ayahnya, mengingat kecintaan terhadap jasa – jasa ayahnya yang begitu besar.

Di masa awal, emosionalitas Kartini mengenai kedudukan wanita telah terpancang kuat, sejak dirinya berada di kalangan keasistenanwedana. Didalamnya, terdapat persaingan antara isteri – isteri ayahnya, dan saudara – saudaranya. Jadi, ketika ayahnya menikahi seorang perempuan, dan meninggalkan seorang yang lain, maka tidak ada hukum untuk melarangnya. Pun di luar sana, banyak wanita yang dijadikan selir ataupun gundik (baca : isteri simpanan, biasa dipanggil ‘nyai’) oleh para bangsawan pribumi dan Belanda. Konflik diantara jiwanya semakin terlihat. Ia adalah seorang berani yang menginginkan keadilan menaungi seorang kaum perempuan. Ia ulangi keinginannya dalam kata – kata.

Indah dan mulia tugas yang memanggil kita untuk berjuang bagi kepentingan agung, bekerja buat kemajuan wanita Pribumi yang tertindas, peningkatan rakyat Pribumi, pendeknya menjadi berarti bagi masyarakat.. (Surat panjang 11 Oktober 1901, kepada Estella Zeehandelaar)

Emansipasinya mulai tergerak sejak dirinya mengenal dunia Barat. Secara intuitif, ia ketahui perbedaan, bahkan pertentangan, antara pergaulan Barat dan Pribumi. Di rumahnya sendiri, ia menjadi hamba bagi saudara – saudaranya yang lebih tua, dan siapa saja yang dalam pelapisan tata hidup feodal itu setingkat kebangsawanannya dengannya, tetapi yang umurnya lebih tua daripadanya. Dalam pergaulan dengan kawan – kawan Eropa, yang demikian tidak didapatinya. Ia dapati dunia Barat, setiap anak sama haknya dengan anak yang lain. Di dalam dunia Barat, ia merasa lebih bebas, lebih penuh. Setiap larangan bukan ditentukan oleh suka tidaknya orang – orang yang lebih tua atau lebih berbangsa daripadanya, tetapi berdasarkan alasan – alasan yang bisa diterima (via Pramoedya Ananta Toer, 2009 : 149).

Ketika dewasa, titik kulminatif semakin tampak pada diri Kartini. Wanita pertama yang mengenal demokrasi saat Indonesia masih menjadi Hindia – Belanda. Kaum perempuan terus diperjuangkannya meski harus mendapat penentangan dari berbagai pihak. Mendapat cap – cap kebodohan dari para colonial, namun tindakannya adalah cerdas! Jangan melihat kartini sebagai sosok yang akhirnya dikawinkan dan menjadi seorang biasa. Tapi cerdaslah dalam mengamati perjuangannya. Sungguh tak pernah ada di negara manapun sosok perempuan seperti ini!

“Suaraku kian senyap, terdengar parau! Hampir seluruh generasiku, wanita – wanitaku, tak sesuai dengan amanatku dulu! Mereka terlalu lelap dalam buaian kapitalis. Emansipasiku bukan itu, sungguh, kalian salah tafsir!”

Namun Kartini kini berada dalam kesenyapan. Maka tak bolehlah ada secuil pun dari wanita – wanita masa kini lalu membebaskan dirinya dengan ‘berkedok’ emansipasi. Membebaskan dari segala nilai tatanan dan moral, bebas mengekspolitasi kemolekannya demi sesuap nasi. Kemudian mengakulturasi budaya Barat secara total, seperti hari ini. Memberikan secuil ‘rok mini’ tetap melekat sebagai keindependenan seorang wanita. Dengan tetap ‘berkedok’ dan ‘berekor’ pada emansipasi. Sungguh ini sebuah kebodohan! Emansipasi dalam kamus Kartini adalah wanita berpendidikan dan bermoral. Beranilah dalam hal ini, perjuangkan emsipasiku!

“Barang siapa tidak Berani, dia tidak akan menang, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan Berani! Pemberani – pemberani memenangkan tiga perempat dunia!” (Kartini via Pramoedya Ananta Toer).

0 komentar:

Posting Komentar