Ketika Orang Lain Berkata lain..

♠ Posted by Aryni Ayu

Berangan – angan andai aku seorang terkuat di jagat raya, betapa sudah menghilang beribu – ribu tahun lalu manusia – manusia yang buruk etikanya

.....menjadi pemimpin, tidak sederhana. Banyak hal – hal yang sederhana berubah menjadi kompleks ketika orang lain mempermasalahkan apa yang kita perjuangkan untuk mereka

Entahlah, mungkin harus aku bawa Kamus Besar Bahasa Indonesia bagi kosakata ‘buruk’ yang mereka lontarkan dibelakangku, beberapa jadwal rutinku sebagai pemimpin, dan lembaran – lembaran yang telah kususun untuk kepentingan mereka


Entah kenapa aku harus membuat judul itu. Siang bagaikan alam panas yang menusuk – nusuk badan, malam pun jadi semakin gulita karena tak kenal siang, hingga bumi kehilangan atmosfernya untuk selalu memberi napas bagi mahluk alam semesta. Seakan sudah kehilangan napas tubuh ini ketika melihat, mendengar, merasa orang lain tak mau tahu menahu tentang apa yang kita perjuangkan untuk kepentingan mereka. Rasanya sudah tuli dan buta otaknya tertutup semacam kebencian. Berangan – angan andai aku seorang terkuat di jagat raya, betapa sudah menghilang beribu – ribu tahun lalu manusia – manusia yang buruk etikanya. Benar – benar ingin kuhempaskan segala – galanya tentang pikiran – pikiran jahat dalam seorang manusia. Namun aku bukan terkuat, masih ada Tuhan, masih ada tuan – tuan pemilik hak paten kekuasaan. Tubuh ini hanya bagian terkecil dari kuasanya. Kuasa Tuhan, kuasa kaum penguasa kapital, dan kuasa seorang otoriter. Rupanya menjadi harga mati untuk sebuah pikiran jahat dapat binasa dari wajah bumi ini. Lihat saja, tak sedikit manusia berusaha memakan manusia yang lain.
Menurut Francis Bacon, manusia sama halnya seperti serigala, memakan manusia lain tanpa belas kasih. Zoon politicon sebutan bagi manusia yang suka mendekati manusia lain untuk kepentingan tertentu. Zoon econom untuk manusia bertahan hidup menggunakan mata uang, dan zoon animal untuk manusia berinsting kuat, hingga menyukai upaya ‘pencaplokan’ terhadap sejenisnya. Yang pokok dibicarakan dalam larutan tulisan ini adalah bagaimana manusia menusuk manusia lainnya demi urusan – urusannya yang pribadi, dan pemuas nafsu belaka. Nafsu dalam upaya membalaskan dendam, tak peduli apakah seorang tersebut telah banyak berbuat kebaikan padanya.
Langit malam ini masih saja gelap. Bintang bersinar hanya satu – dua seperti sepinya orang – orang ketika harus ke masjid pada waktunya dhuhur. Angin bertiup ‘seliwar seliwer’ seperti angin ‘kentut’ yang bila dihisap terus menerus, tidak akan baik bagi rongga hidung. Pun suara – suara artis hollywood yang bertengger di telingaku sungguh tak pernah berhenti menyanyi menghibur kesakitan hati yang belum juga sembuh. Hati berbentuk ‘love’ dalam ilustrasi kartun spongebob tampaknya berevolusi menjadi ‘kerupuk’ tatkala mendengar ‘slentingan – slentingan’ tak nyaman orang lain. Seperti lilin, berlusin – lusin lelahannya dikorbankan untuk menerangi orang yang bernaung dibawah cahayanya. Namun perlahan redup, gosong akibat perbuatan orang lain. Bukan karena redup sendiri, tapi memang terjadi kesengajaan untuk mematikan si lilin, karena cahayanya tak seperti lampu yang seketika terang, namun seketika juga korsleting jika dipakai. Tak ada bedanya dengan seseorang, baik seketika, jahatpun juga seketika. Benar – benar manusia yang seketika, tak punya etika.
Tak tahu bagaimana menjabarkannya. Layaknya Sujiwo Tejo, bertindaklah ngawur selama itu benar, ngawur karena benar, benar membela orang lain, benar menjadi pemimpin, dan benar – nya hingga harus menabrak pagar – pagar kenormalan yang terkadang hanya menjadi sekumpulan topeng manusia. Dan tulisan ini terbuat dari pemikiran seorang Aryni Ayu, bagaimana penatnya merasakan sesuatu hidup yang terpola berbeda dari kebiasaannya. Benar juga apa yang telah kujabarkan, kuperkenalkan pada pembaca tentang tulisan diatas. Aku tunjukkan betapa orang lain terkadang berkata lain, lain sekali hingga dia tak mengenali betapa jahat dirinya sendiri untuk mengutuki seseorang. Benar juga langit yang di malam ini gelap gulita, pas juga dengan hati, yang berubah menjadi ‘kerupuk’, namun tetap disinari oleh lilin yang mengabdikan dirinya untuk menyinari orang lain.
Aku, selama hidup hingga detik ini, tetaplah menjadi seorang pemimpin diantara manusia yang lain. ‘menjadi pemimpin, tidak sederhana. Banyak hal – hal yang sederhana berubah menjadi kompleks ketika orang lain mempermasalahkan apa yang kita perjuangkan untuk mereka. Bukanlah suatu ‘apatis’ ketika pemimpin merasa ‘tidak peduli’ dengan hal – hal yang sekiranya ‘remeh’, seperti membicarakan orang lain, ataupun sekedar mencicipi sedikit pergunjingan dari mulut manusia lain. Sungguh aku mematok diriku untuk ‘apatis’ terhadap hal – hal tak berguna itu. Namun sesegera mungkin aku mendahulukan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabku. Saat itu siang hari, bahkan hampir tiap hari, ada pihak – pihak lain yang memprotes tentang tindakan dan sikap dari para anggotaku. Entahlah, dari penampilan, kedisiplinan, hingga kebiasaan, semuanya seakan menjadi masalah. Jika bertanya masalah muka, mau taruh dimana muka ini ketika ditegur?sudah aku persiapkan ‘pantat’ sebagai tempat muka.
Berbagai sindiran, teguran aku hadapi. Jelasnya, apapun konsekuensi menjadi pemimpin aku terima. Permasalahan yang pihak – pihak lain itu sodorkan, aku bela anggotaku, dan aku selesaikan dengan caraku. Meski terkadang cara – cara itu sedikit radikal, sedikit lebih banyak kerja dibanding bicara. Aku tak peduli karena mereka telah percayai aku untuk mengayomi, memimpin, dan berbuat banyak untuk mereka. Karena, itulah aku.
Namun ironis, sedikit orang yang memiliki pendengaran, pengelihatan, dan pemikiran terbuka untuk segala yang aku perjuangkan. Akibat orang lain berkata lain tentang diri ini. Terkadang beberapa orang berprasangka – prasangka buruk tentang sikapku. Entahlah, mungkin harus aku bawa Kamus Besar Bahasa Indonesia bagi kosakata ‘buruk’ yang mereka lontarkan dibelakangku, beberapa jadwal rutinku sebagai pemimpin, dan lembaran – lembaran yang telah kususun untuk kepentingan mereka. Agar ‘mereka’ tahu bagaimana arti ‘perjuangan’ itu sendiri, demi hak mereka sebagai manusia!
Persis seperti pesan Pramoedya Ananta Toer, “seseorang pemimpin, sudah harus terpelajar sejak dalam pikiran, meski manusia lain berusaha menjegal, berkata lain, dengan cara apapun, keberanianlah yang membuatmu benar!”