♠ Posted by Aryni Ayu in PENDIDIKAN at 07.48
Masyarakat
berpendidikan akan lebih mudah diatur, karena pendidikan adalah biangnya
kemajuan. Dan guru adalah kuncinya
Mungkin anda
pernah mendengar ungkapan Confusius yang berbunyi “jika kau akan tinggal
disuatu tempat untuk selamanya, ingin maju bersama dengan budayanya, maka
mulailah mendidik manusianya”. Ungkapan Confusius mengisyaratkan bahwa
pendidikan bukanlah hal untuk disepelekan, tetapi masa depan bagi semua umat
manusia. Lihatlah Restorasi Meiji-nya Jepang yang hanya membutuhkan waktu 50
tahun untuk bisa menjadi negara maju dengan cara mengadaptasi segala ilmu dari
Barat. Declaration of Independent
Amerika di tahun 1776, berhasil menorehkan demokrasi modern pertama didunia
berkat bidang pendidikan yang dijunjung tinggi oleh para pemikir dan guru-guru
disana. Dan Indonesia, yang baru-baru ini berusaha mengangkat derajat para
pendidik untuk kemajuan bangsa, apalagi yang tidak penting dari pendidikan?
Hal paling
penting yang harus dimiliki seorang pendidik adalah hati dan pikiran, mencakup
kemampuan akademis bernama Intellegency Quentation, serta kemampuan emosional
bernama Emotional Intellegency. Karena menurut Goleman (1980), kemampuan
emosional dibarengi dengan kemampuan akademis, akan membuat seorang pendidik bersemangat dalam mengolah
keterampilan yang dimilikinya, baik itu keterampilan logika, nalar, maupun
jiwa. Dari sinilah anak-anak bangsa tidak akan lagi mengenal kata “bodoh” yang
mungkin akan dilontarkan oleh lingkungan sosialnya di kala dirinya melakukan
kesalahan.
Bayangkan apabila guru hanya mengajar
dengan kemampuan pikirnya saja tanpa menggunakan hati, atau hanya masuk dan
keluar kelas hanya untuk memberi tugas tanpa komunikasi. Dapat dijamin
anak-anak didikannya hanya kenal kata-kata “ya, tidak, benar, dan salah”
seperti robot, tanpa tahu makna dari pembelajaran yang pernah dipelajarinya.
Tentu, sebagai jabatan profesional yang tak kenal lelah untuk mendidik para
generasi bangsa guru dituntut untuk senantiasa menyajikan pembelajaran menarik.
Meskipun terkadang harus berbingung massal dengan terbitnya kurikulum yang
selalu berganti-ganti rupa, tetapi tidak boleh ada kata “menyerah” dari hati
seorang guru.
Tugas kita
sekarang adalah, berusaha mendengarkan apa yang ‘diingini’ dan ‘dibutuhkan’
oleh anak didik agar mereka bersedia mematrikan cita-citanya melalui
pendidikan. Bukan menjadi teman mereka, tetapi berusaha menjadi teman bagi
mereka tanpa meninggalkan profesionalisme. Kelak, ini penting bagi perjalanan
karir seorang guru. Salah satu cara yang biasa dilakukan kebanyakan para
pendidik adalah membagikan kertas kosong kepada murid, apalgi jika bukan untuk
diisi berbagai kritik, saran, kesan, dan pesan. Tidak peduli bagaimana
hasilnya, hal itu dapat menjadi evaluasi sosial yang membentuk komunikasi
antara guru dan murid sehingga hasil pembelajaran bersifat demokratis dan
profesional. Bukankah ini esensi dari pendidikan yang sebenarnya?
Beberapa
hari ini, penulis pun melakukan hal serupa, yakni berusaha menilai pembelajaran
bukan dari diri sendiri tapi dari pandangan para peserta didik, berikut
cuplikannya :
Kelebihan :
- - Cara mengajar sudah menarik dan materi mampu diterima oleh siswa
- - Banyak motivasi
- - Tidak monotun, lucu
- - Santai tapi serius
- - Nilai tidak pelit
- - Teliti
Kelemahan :
- - Ketegasan perlu ditambah dosisnya
- Perhatian pada semua siswa
- - Jangan suka mencubit (hahaha)
- - Lebih sabar lagi
Dari cuplikan diatas, sangat menunjukkan
emosional siswa yang ditekankan lewat tulisan bahwa mereka sangat menyayangi
guru mereka. Seorang filosof Prancis berkata “jika kau mencintai seseorang,
maka rasa sakit, kecewa, dan bahagia juga akan ikut didalamnya”. Begitu juga
dengan murid-muridku, mereka menuliskan rasa sayangnya melalui dualisme sikap,
mendukung dan mengkritik karena itulah bagian dari pembelajaran. Terimakasih murid-muridku.
0 komentar:
Posting Komentar