♠ Posted by Aryni Ayu in HISTORY PROJECT 2 at 08.54
Jadilah Nusantara sebagai ladang kapitalisme besar-besaran, yang memeras
tenaga rakyat secara habis, untuk hasilnya dinikmati para pemodal asing
Kala itu masih jaman kalabendu, belum
ada mbah google, instagram, atau
kicauan burung ala twitter, tempat dimana
manusia memfungsikan dirinya sebagai ratu atau pangeran dengan foto jepret
sana-sini yang siap diekspos kapan saja. Jaman Kalabendu, atau jaman edan kata
resi pandhita era tahun 18-an, yang digambarkan manusia penuh kesenangan ala
duniawi tanpa pikir panjang lagi tentang keberadaan Tuhan. “Barang siapa tidak
ikut edan, dia tidak akan dapat apa-apa!” salah satu isi dari serat Kalatidha karya Ranggawarsito. “Tanah Jawa
diramalkan akan rusak kala ‘balung wesi’ sudah menghiasi sebagian besar
kehidupan kaum inlander!”, begitu pula ramalan Jayabaya, sang Raja dari Kediri.
Balung wesi digambarkan sebagai
kehidupan yang mulai modern, permesinan dari kereta-kereta, otomobil kuno, dan
pabrik-pabrik industri mulai didirikan menghiasi kehidupan tanah Jawa yang
menandai dimulainya sifat-sifat manusia yang juga modern, tanpa komando dari
Tuhan, tepat sejak tempo 1870. Disinilah pemiskinan besar-besaran terjadi
sepanjang sejarah Nusantara, bahkan hingga waktu yang tidak ditentukan.
Tahun 1850, kaum liberal tengah
duduk di singgasana parlemen Eropa bersaing dengan kaum konservatif, semacam
golongan tua dan golongan muda dalam versi Indonesia. Dua kaum ini sedang ‘bersendiko
gusti’ memperjuangkan nasib negaranya yang konon sedang gencar menikmati Revolusi
Perancis 1799. Sebuah revolusi yang mampu mengubah pemikiran orang-orang Eropa
tentang betapa pentingnya mereka melepas penjajahan kuno, alias gold, glory,
apalagi gospel (perluasan jajahan karena agama) dianggap sudah tidak penting
lagi bagi mereka, karena Tuhan sudah dianggap tidak campur tangan dlama urusan
politik. Apalagi raja bukan lagi perwakilan Tuhan yang bisa dengan seenaknya
menerapkan sistem merkantilisme, yakni hasil kerja keras rakyat harus diberikan
kepada raja. Revolusi ini menjadi trending
topic dan segera saja menyebar di kalangan penjajah Eropa. Imperialisme
Kuno sudah berlalu.
Kaum
liberal, menginginkan kebebasan di bidang ekonomi harus segera dilaksanakan,
pemerintah tidak diperkenankan mencampuri urusan perekonomian negaranya
termasuk di daerah jajahan. Orang-orang berpemikiran bebas dan sangat gemar
kapitalis ini kemudian memenangkan peradilan di parlemen, dan membuat dinasti
penjajahan baru berjudul “Imperialisme Modern”. Apalagi Nusantara yang saat itu
tidak tahu menahu urusan politik pemerintahan Belanda, yang mereka tahu
hanyalah bekerja terus menerus sampai tulang tinggal kulit, bekerja sebagai
kuli di tanah sendiri, nyatanya tanah pribumi segera dibuka untuk umum di tahun
1870, alias penjajahan massal mulai disahkan diatas Bumi Nusantara yang
dinamakan sebagai “Opendeur Politiek” atau “Politik Pintu Terbuka (ekonomi
liberal)”.
Negara-negara
berideologi kapitalis dipersilakan masuk menuju pintu gerbang “Pulau Harta
Nusantara”, dengan fasilitas penanaman modal di Indonesia di kepulauan mana
saja seenak jidat sang Penjajah, diantaranya Sumatera (swarnadwipa), Jawa
(Jawadwipa), Borneo (Kalimantan), Bali, dan Sulawesi. Amerika Serikat, Belgia,
Inggris, Jerman, Denmark, dkk, diperbolehkan menanam modal untuk panen
rempah-rempah yang digunakan untuk perusahaan farmasi dan industri di Eropa,
kemudian emas, tembaga, dan bahan lainnya, diperbolehkan untuk dikembangkan. Tentu
saja Belanda sebagai tuan rumah Nusantara tetap mempekerjakan paksa pribumi
untuk memuaskan keuntungan ekonomis yang besar bagi kekuatan industri Eropa. Bahkan,
kumpeni telah menetapkan Agrarist Wet
(penggunaan tanah rakyat untuk pemodal), Poenale Sanctie (kerja
paksa kontrak), dan Koeli Ordonantie (hukuman bagi pelanggar kerja paksa),
untuk mengikat rakyat Indonesia agar tidak lepas dari pemerasan paling modern
sepanjang abad-21. Importir barang kebutuhan rakyat yang dilakukan oleh Belanda
seperti : kain Eropa, alat-alat Industri, dan kebutuhan hidup sehari-hari bagi
rakyat yang tinggal di pedesaan, mengakibatkan usaha lokal pribumi tidak
berkembang, dan mengakibatkan kemerosotan perekonomian sebesar 80% di tahun
1895.
Jadilah Nusantara sebagai ladang kapitalisme
besar-besaran, yang memeras tenaga rakyat secara habis, untuk hasilnya
dinikmati para pemodal asing. Tidak jauh berbeda dengan keadaan pribumi
yang sekarang menjadi bangsa, dari kepulauan Sumatera hingga Irian Jaya tidak
dapat dipungkiri telah memiliki berbagai saham milik asing sebesar 600 saham
tercatat dari berbagai negara. Benarkah sejarah yang telah dilakukan para ‘kompeni’
berulang kembali bahkan oleh ‘kompeni lokal?’ Satu hal penting yang tanpa
disengaja menawarkan pintu masuk pada kapitalisme, benarkah semuanya berasal
dari sejarah? Ataukah generasi hari ini yang sulit sekali melawan lupa pada
sejarah? Anda yang memutuskan!
0 komentar:
Posting Komentar