The Walking Internet, Strategisitas bagi Pendidikan

♠ Posted by Aryni Ayu
       Kaleidoskop perkembangan dan pemanfaatan teknologi yang terjadi di berbagai belahan dunia, nyata menjadi hasil dari pesatnya arus globalisasi. UNESCO mengumumkan bahwa sepenuhnya kemajuan dunia hingga hari ini dipengaruhi oleh pesat tidaknya perkembangan teknologi, yang dimotori oleh manusia dan manajerisasi cerdas. Globalisasi sendiri, dinyatakan oleh berbagai negara sebagai induk perubahan. Globalisasi didefinisikan sebagai pusat kekuatan dunia yang mengarah pada satu tempat dan tujuan bersama. Melalui kecanggihan teknologi dan informasi, diversity (keberbedaan) yang ada dalam banyak masyarakat internasional menyatu dalam kebersamaan (corporation). Hal ini tentang berbagai pandangan budaya, bahasa, agama, adat – istiadat, serta sisi kehidupan masyarakat lain, kesemuanya mengarah pada satu tempat dan tujuan bersama. Dunia seakan saling terhubung untuk berkomunikasi, berkompetensi, dan memenuhi kebutuhan satu sama lain. Alasannya jelas, pasar dunia yang kini telah mengglobal (luas dan satu) berpotensi tinggi untuk mempengaruhi hampir di segala aspek kehidupan masing – masing negara. Sejak itulah masyarakat mulai terarah pada kecenderungan informasi dan komunikasi.

Masyarakat Berbasis Pengetahuan (Knowledge Based Society)
         Globalisasi mengubah arus peradababan masyarakat dunia. Tiada satu pun orang di dunia ini yang tidak membutuhkan keduanya. Bahkan seorang petani di Korea Selatan, penduduk di Cina, sangat bergantung pada kecanggihan teknologi yang disediakan oleh globalisasi. Dua perwakilan dari dunia timur ini, nampaknya cukup menggambarkan sebuah masyarakat yang bergantung pada informasi dan komunikasi dari teknologi itu sendiri. Sejak tahun 1997, era awal kepopuleran komputer. Para pebisnis, praktisi dan tenaga pendidik, ekonom, politikus, sejarawan, bahkan civil society di hampir semua belahan dunia membutuhkan teknologi, informasi, dan komunikasi untuk hidup. Berdasarkan fakta inilah, PBB mengeluarkan pernyataan bahwa masyarakat dunia kini tengah menuju masyarakat berbasis pengetahuan atau knowledge based society. Pernyataan ini kemudian diimplementasikan dalam setiap peraturan, dan rencana strategis di masing – masing negara, secara adaptif dan kondisional. Apa yang terjadi, bahwa setiap pemerintahan di dunia memiliki kewajiban untuk mewujudkan knowledge based society demi terlaksananya suatu tujuan bersama dalam rancangan globalisasi. Hal yang sama terjadi di Indonesia dan sedapat mungkin pemanfaatan teknologi digital harus dilaksanakan. Masyarakat kini berada di tengah arus deras globalisasi, maka adalah keharusan untuk menunjukkan sebuah balance kemajuan pada dunia internasional. Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wiryawan, beliau menggambarkan Indonesia ke depan haruslah menjadi negara dengan masyarakat yang berbasis pengetahuan (knowledge based society), Indonesia tahun 2020 (tvone, Maret 2012). Bagaimana kriteria dari masyarakat berbasis pengetahuan tersebut diantaranya : 1) Manusia Indonesia yang sadar bahwa teknologi informasi, 2) Manusia Indonesia yang tahu bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat internasional, bagian dari dunia, 3) Manusia Indonesia yang sadar jika dunia bertambah sempit, maka persaingan semakin tinggi, 4) Manusia Indonesia yang mampu menjunjung tinggi solidaritas dan kedamaian, 5) Manusia Indonesia yang sadar bahwa pendidikan adalah akar dari kemajuan bangsa. Kriteria – criteria ini sebagai indicator tercapainya kemajuan bangsa, apalagi jika tidak berbasis pada masyarakat pengetahuan. Pemerintah harus cerdas dalam mengatur detail ini. ada peribahasa the devil are in detail, bahwa detail yang salah dan tidak tepat dapat menghancurkan segalanya. Indonesia dalam tataran realita, adalah salah satu negara di dunia ketiga yang tak luput dari perputaran arus globalisasi. Berawal dari kebijakan politik yang melegalkan globalisasi sebagai masa depan Indonesia untuk selanjutnya. Legalisasi globalisasi lalu terjadi di berbagai bidang kehidupan bangsa Indonesia. Di bidang perekonomian, pertanian, pendidikan, sosial – budaya, dan teknologi informasi, demam globalisasi terus berkembang. Fakta ini dapat dicermati ketika Indonesia mulai membuka pasar bebasnya dengan negara Cina di tahun 2010. Hasilnya, banyak sekali produk – produk Cina, dan produk negara lainnya yang beredar di pasaran Indonesia. Dari produk makanan, teknologi, pengetahuan, hingga memasuki gaya hidup, hampir secara keseluruhan menjadi tren peradaban bangsa. Kepemilikan modal (modal save) dalam system perekonomian Indonesia yang seharusnya cenderung pada pengutamaan kemakmuran khalayak umum, kini berubah menjadi serba privatisasi milik perseorangan. Modal kapitalistik yang cenderung berpusat pada uang, senantiasa menjadi pemenang segalanya. Ini terlihat pada tataran implementasi Indonesia saat ini. Hampir di berbagai bidang kehidupan, modal menentukan. Ini yang nantinya menjadi penghambat utama terwujudnya masyarakat berbasis pengetahuan. Alasannya adalah karena yang hal yang sama kemudian terjadi pada bidang pendidikan

Pendidikan, Akar Kemajuan Bangsa
          Pendidikan adalah akar dari kemajuan bangsa. Tanpa pendidikan, dunia akan hampa. Kehampaan itulah nantinya menjadi persoalan yang tak kunjung selesai. Asri Budiningsih (Belajar dan Pembelajaran, 2005) mengatakan bahwa bangsa yang ingin maju, membangun, dan berusaha memperbaiki keadaan masyarakat dan dunia, tentu mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci. Tanpa kunci, usaha – usaha mereka akan gagal. Kunci itu harus berbalut erat dengan ranah kehidupan bangsa, yakni Indonesia. Jika kunci itu hilang bercampur dengan kepentingan kapitalistik, maka Indonesia akan kesulitan mensejajarkan dirinya dengan negara – negara lain dalam lingkup masyarakat pengetahuan. Persoalan cukup pelik yang sedang dialami dunia pendidikan Indonesia sekarang adalah minimnya kualitas dan mahalnya biaya pendidikan. Ini dibuktikan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada level 0,617 pada tahun 2011 dengan posisi peringkat pada nomer 124 dari 187 negara di dunia. UNESCO menyatakan tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia semakin menurun. Dalam jangka waktu lima tahun, sejak tahun 2005 sampai tahun 2010, Indonesia mengalami penurunan hingga empat peringkat, yakni peringkat ke-107 pada tahun 2005 dan tahun 2010 peringkat ke-111. Senada dengan Indeks Pengembangan Pendidikan (Education Development Index) yang juga mengalami penurunan peringkat dari 65 pada tahun 2010 lalu menjadi 69 pada tahun ini. Padahal, kemampuan minat baca di Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia, seperti yang telah disebutkan dalam Harian Kompas tertanggal 3 Maret 2011 lalu. Rangkaian penelitian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari kata ‘sejajar’ dengan negara – negara dunia. Akar permasalahannya terletak pada kebijakan pemerintah. Sejak diterapkannya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pendidikan berubah statusnya. Dari kepemilikan public menjadi kepemilikan pribadi. Terjadilah privatisasi pendidikan, menjadi bukti melemahnya negara dalam komunikasi massa. Hal senada dituturkan pengamat Ekonomi Revrisond Bawair, bahwa privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme glonbal yang telah dirancang lama oleh negara – negara donor lewat Bank Dunia. Melalui RUU BHP pemerintah mewujudkan privatisasi pendidikan. Dalam artian bahwa privatisasi ini dilakukan dengan sebuah pressure (tekanan) untuk membayar hutang kenegaraan yang setiap tahunnya diambil 35% – 40% dari APBN. Jelas sekali berakibat pada pihak – pihak sekolah melalui komite lalu menaikkan anggaran pendidikan kepada siswa, karena komersialisasi diserahkan secara independen kepada pihak pelaksana pendidikan. Berada dibalik semboyan ‘pendidikan bermutu adalah pendidikan mahal (hasil wawancara di sekolah – sekolah perkotaan, 2012)’, dapat dipastikan rakyat kecil semakin terpuruk. Siswa yang berada dalam kategori kurang mampu akan mengalami keterbatasan pelayanan pendidikan, berikut dengan teknologi informasi yang terdapat didalamnya. Meski di sisi lain pemerintah telah memberikan dana bantuan operasional sekolah, namun disparitas tetap terjadi. Padahal di negara Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya banyak sekolah yang berbiaya rendah namun berkualitas tinggi, bahkan ada yang menerapkan free cost education (pendidikan gratis). Devil are in detail, pemerintah melakukan detail yang tidak tepat, bagaimana akibatnya, membuat pendidikan semakin sulit mewujudkan masyarakat pengetahuan (knowledge based society).
       Kesenjangan pengetahuan (knowledge divide) dan kesenjangan teknologi (digital divide) kemudian menjadi persoalan selanjutnya yang tak kalah krusial dalam dunia pendidikan. Antara knowledge divide dengan digital divide, semakin tampak pada sekolah – sekolah yang berada jauh dari perkotaan. Hanya satu dari sepuluh siswa yang dapat menikmati sarana dan prasarana pendidikan (www.jurnalnasional.com). Internet, sebagai salah satu pengetahuan berjalan yang menjadi kunci berkembangnya globalisasi di kalangan masyarakat internasional, rupanya masih menjadi barang langka bagi para siswa kurang mampu di pelosok Indonesia. Dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono desember 2011, menyatakan bahwa pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Introdusir pemerintah untuk melaksanakan titah ini, salah satunya dengan jalan meneterapkan teknologi, informasi dan komunikasi dalam pendidikan. Pihak pemerintah pun sudah memiliki kerjasama dengan pihak swasta (utamanya pelaku bisnis telekomunikasi) untuk bergotong royong memajukan pendidikan Indonesia.

The Walking Internet 
        Ada slogan ‘Internet untuk rakyat’, ‘internet untuk guru’, dan lain sebagainya. Memang kerjasama ini membantu upaya pemerintah untuk berusaha memeratakan pendidikan dan teknologi. Ironis, kerjasama yang ada belum terealisasi benar adanya, kemungkinan besar bisnis yang lebih dikedepankan. Banyaknya sekolah – sekolah pelosok yang ‘tersandung’ ketidaktahuan teknologi dan informasi, menjadi saksi bahwa pemerataan pendidikan belum berjalan. Adapun mobil internet keliling yang sudah digalakkan akhir tahun lalu di daerah Kalimantan Timur dengan sasaran rakyat menengah kebawah, tetapi tetap saja pemakaiannya tidak bebas dari biaya. Tentu saja ini akan membebani rakyat, dan mereka akan berpikir lebih baik bekerja kembali daripada memakai benda yang masih asing bagi mereka. Internet keliling memang ide untuk pemanfaatan yang baik, lebih baik lagi jika konsepnya mengarah pada kemajuan pendidikan demi tercapainya knowledge based society, serta sasaran yang ditujukan kepada sekolah – sekolah pelosok, notabene jauh dari jangkauan informasi tanpa harus membayar se – sen pun. Inilah yang dinamakan ‘The Walking Internet’. Globalisasi yang menuntut masyarakat serba bisa, professional, dan berpengetahuan. Indonesia dengan berbagai komplektisitas permasalahan yang terjadi terhadap dunia pendidikan. Secara ekslplisit akan membutuhkan The Walking Internet sebagai mediator komunikasi untuk menyampaikan pesan – pesan penting dari Indonesia dan dunia mengenai segala hal yang terjadi diluar sana. Ini adalah nyata untuk pemanfaatan teknologi digital bagi Indonesia. Demi tercapainya kemajuan bangsa, maka harus disadari pentingnya sebuah ide dan pemanfaatan “The Walking Internet”.
          The Walking Internet, sekali lagi sebagai ide, katalisator bahkan guna memaksimalkan pemanfaatan teknologi digital bagi Indonesia. Dengan mengelilingkan ‘internet’ dengan sebuah mobil berkapasitas high tech dan desain yang fleksibel. Desain The Walking Internet yang berfungsi sebagai mobil sosialisasi, dan edukasi. Minibus / mobil ini sebagai sarana sosialisasi internet pada sekolah – sekolah yang dinilai cukup menerima akses informasi pengetahuan dan teknologi, sebagai berikut : a.Desain eksterior minibus / mobil The Walking Internet dengan memakai konsep internet cepat yang dapat diaplikasikan pada desain eksterior attractive. Unit The Walking Intenet juga dilengkapi dengan fasilitas hotspot, sehingga pengunjung di sekitar area dapat melakukan aktivitas internet langsung dengan alat mereka sendiri yang kompatibel, dengan teknologi wifi, misalnya menggunakan laptop atau handphone. Juga dapat menilai langsung kualitas wifi.
b.Desain eksterior
Unit The Walking Internet juga didesain lebih educative, hal ini dapat diaplikasikan dengan mengubah tempatt layanan internet gratis di luar dan di dalam kabin, sehingga terlihat oleh masyarakat lebih komunikatif dan lebih mengundang.
       Selain itu, dengan menggunakan teknologi tinggi (high tech) berupa nirkabel menggunakan teknologi WLAN radius 4 - 6 km dengan antena omnidirectional 24 dbi, Access Point dan tower minimal 32 m di titik NOC, akses akan semakin cepat notabene menjadi indikator pemaksimalan teknologi digital.
       The Walking Internet akan menjadi titik terang bagi ketidakmerataan teknologi (digital devide), adalah jawaban terhadap segala upaya berbagai pihak untuk mencerdaskan anak bangsa melalui teknologi. Internet tak akan lagi menjadi benda asing bagi anak didik dan sekolah – sekolah yang terpinggirkan. Pun usaha maksimal dari banyak pihak untuk mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital tak akan sia – sia, melainkan berbuah emas, karena teknologi adalah untuk pendidikan, untuk Indonesia.


Artikel ini aku persembahkan untuk Komunitas Ngawur (http://www.ngawur.org/) didukung Pusat Teknologi (http://pusatteknologi.com) dan Blogger Nusantara (http://bloggernusantara.com)

Karnaval Mini Desa Rowosari Located : Kec. Ajung, Kab. Jember

♠ Posted by Aryni Ayu in
Aku lihat pakaian mereka yang benar – benar elektrik, dan lebih dari layak untuk sebuah marching band. Pun dentuman alat – alat musik indah selaras dengan sang pemimpin marcing band Aryni Ayu
Tak terasa sore ini begitu cerah. Langit tak menampakkan jeritan gelapnya, pun matahari enggan meninggalkan sang oranye. Jalanan setengah sesak oleh kendaran berbadan besi. Orang – orang berlalu lalang. Satu mencuci kendaraannya pinggir jalan sembari meringis ketika tubuh ini lewat, satu lagi tampak mengusir – usir burung penganggu di sawah. Aku pun terus berjalan melewati jalanan panjang sekitar berkilo – kilo meter. Tapi jauhnya tak terasa selama bersama seorang rekan, rekan kesukaanku. Muka ini terus berpapas – papas dengan orang di desa itu, senyum mereka, kernyitan dahi, dan tawa bebas mereka, seakan- akan tak pernah terpikir untuk mengejar seonggok Rupiah, berbeda dengan wakil – wakil mereka di kursi jabatan, memang terlahir untuk Rupiah! Semakin lama berjalan, semakin ramai pula jalanan ini. Kadang kendaraan berbadan gajah pun lewat, meraungkan suara belnya yang keras ke depan telingaku, sial! Pikirnya aku ini sudah renta apa, huh! Kesal memang, tapi biarlah. Andai aku spiderman, kulemparkan tubuhmu sampai ke Bunderan HI, tempat kubangan kendaraan mabuk! Kuteruskan saja jalanku, menuju sebuah desa. Desa memang sebutannya, tapi sudah beraspal. Maklum, desa ini adalah kunjunganku kepada teman – teman yang sedang mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat, lagi – lagi bersama rekanku. Rekan yang aku suka! Lima sekitar menit, sampailah di sebuah kantor desa. Tertulis besar – besar di sebuah besi bernama baliho, “Desa Rowosari kecamatan Ajung Kabupaten Jember”, ya inilah sebutan desa itu. Sungguh ‘ndeso’ yang cukup maju menurut kacamataku, cukup banyak pemuda pemudi bersekolah, dan cukup segerombolan manusia intelektual yang mengabdikan diri disana. Tak lupa memperkenalkan diriku dengan kaum intelektual yang mengabdikan diri. Ya kaum intelektual, alias mahasiswa. Mereka seumur dua umur lebih tua dariku, tapi aku tetap ingin belajar dari mereka, belajar pengalaman. Sembari mencakapkan banyak hal, aku pun tak bisa tenang jika tidak mendekatkan diri pada sekelompok bocah – bocah riang di tempat itu. Wajah mereka semakin ceria saat kuajak berfoto – foto ria, benar – benar manis!
Keasyikan ini tiba – tiba tergerai saat datang segerombolan suara, memecah gemuruh sorak sorai kami. Aku pun menoleh layaknya artis yang terkaget – kaget ketika dirinya berada di red carpet hollywood. Dasar memang diriku yang suka keartisan. Diri ini masih terkaget, takut – takut ada paparazi lewat! Tapi khayalan yang bodoh ini langsung buyar. Kekagetan pun belum berhenti, takjub pun iya. Munculah segerombolan marching band ala Dewa Rowosari. Tak begitu banyak memang, tapi sederhana, indah, dan mini aku menyebutnya.
Orang – orang segera berduyun – duyun datang melihat. Ibu – ibu lupa akan kompornya, bapak – bapak lupa akan cangkulnya, apalagi anak – anak yang lupa akan tangisnya. Aku dan rekanku, Yusuf namanya. Yang sibuk bercakap – cakap, pun dengan rayuan mautnya, juga hampir lupa dengan bakso yang kami makan, untungnya lapar sedang mendera! Sembari makan, aku pun memotret.
Bakso yang dilahap belum menemui habisnya, rekanku, Yusuf berusaha mewawancarai penduduk sekitar. Karnaval ini nyatanya diselenggarakan bukan untuk acara pesta apapun, melainkan untuk menyambut sebuah kegiatan pengajian menyambut Sya’ban, notabene memang menjadi tradisi turun – temurun, dari tahun bahula. Biasanya, karnaval sejenis ini hanya terdapat di pusat kota Jember, atau sekiranya daerah yang masih disebut kota. Beda ini tapi. Karnaval mini ini ternyata diikuti oleh sekolah – sekolah di desa setempat. Dari anak – anak yang masih berjubel dengan ‘emaknya’ sampai remaja yang sedang berindah – indahan dengan cinta, semua terlibat didalamnya. Entah siapa yang punya ide brilian ini. Aku lihat pakaian mereka yang benar – benar elektrik, dan lebih dari layak untuk sebuah marching band. Pun dentuman alat – alat musik indah selaras dengan sang pemimpin marcing band. Pantas untuk memperoleh penghargaan besar. Seluruh desa itu wajib melihatnya. Apalagi dunia, harus melihat ini, tradisi Rowosari ini. Tradisi yang memang tak boleh surut oleh banyaknya sajian kapitalistik di dunia yang kian mengglobal. Banyak konflik memang, tapi tradisi tak boleh ikut berkonflik. Indonesia memang plural. Dari desa hingga kota hingga metropolitan, punya budaya, punya tradisinya sendiri. Memang Indonesiaku multikulturalistik, berbeda dan beragam adatnya, tapi indah!
Penulis
Pewawancara

IDE, I miss u!

♠ Posted by Aryni Ayu
Berusaha mengukir prestasi di umur manusia yang mulai dewasa ini, 21? Ah, sudah waktunya bersinar! Aku tak tahu apa yang harus kupikirkan. Ketika melihat kertas – kertas berserakan di lantai, musik cadas menyala kerasnya menggetarkan gendang telinga, tak lupa rambut yang rontok, untung tak botak, rupanya belum cukup memberi ide kepada sang juru tulis. Aku tak tahu apa yang harus aku tulis. Mengetikkan jemari kesana – kemari diatas tombol – tombol ketik, ada hasil tapi belum memuaskan. Sang juru tulis rupa – rupanya menginginkan sepatah banyak patah perfeksionitas. “Berani karena Ngawur”, “Anak Semua Bangsa”, “Laki – Laki Lain dalam Secarik Surat”, judul – judul itu rupanya tergolek lemas. Karangan sang pujangga Sujiwo Tejo, Pramoedya Ananta Toer, dan Budi Darma itu rupanya memanggil – manggil namaku untuk segera membaca tubuhnya. Oh maaf sobat, kali ini aku harus serius dengan esayku, tak ada maksud meng-anaktiri-kan, tapi ini harus selesai tepat waktu. Tik tok! Detik selalu berhasrat lari menjauhi waktu. Dendangan lagu di winamp pun terus berputar, sama seperti suaraku yang terus mengalun – alun hingga 12 lagu lebih, rupanya si Ide belum muncul juga. Ide, dimana kau ide? Munculah! Jangan kemana – mana, jangan menonton sorak sorai di alun – alun Bupati Jembrek. Tahu kah kau Ide? Segerombolan manusia disana sedang saksikan siaran langsung. Sungokong pulang kampung rupanya, membawa sungokong-wati! Dentuman DJ ala mang Linkin Park rupanya lebih mantratap ketimbang acaranya Bupati Jembrek, konon namanya si Dajal! Oh, itu pikiran si Juru Tulis yang ada di sebelah kanan otaknya, sebelah tengah? Masih menantikan sang Ide rupanya, berharap sang wangsit segera pulang ke pelaminan otaknya. Entah sudah berapa lembar corat – coret yang kubuat, berapa helai pula rambut berjatuhan. Terlalu banyak sempurna yang aku pikirkan, terlalu banyak cinta mengejar tak ketemu arahnya. Aku berharap segera datang sang IDE, I MISS U!