Genosida 1965-1966, Tak Ubahnya Penjajah Belanda!

♠ Posted by Aryni Ayu in

Bangsa ini sudah cukup menderita karena ulah para penjajah. Jika sekarang penjajah berganti kulit berwarna cokelat, maka dialah penjajah yang lebih mengerikan dibanding penjajah kulit putih


            Tahun 1965-1966, menjadi masa paling kelam bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tanah Nusantara yang dulu dinamai Gajah Mada sebagai tanah paling subur dan makmur dibawah payung Majapahit, mulai dilanda kebarbaran, tak ubahnya sikap kejam penjajah Belanda. Apa yang sedang terjadi? Sampai-sampai dunia internasional, mancanagara sebutan raja-raja Hindu1, turut meliput duka mendalam kejadian 1965-1966. Hingga detik ini, melewati dekade yang tengah mengglobal, masyarakat masih saja tidak tahu sepenuhnya benar-salah dari kejadian ini. Banyak laporan palsu telah diciptakan untuk menutupi kebenaran. Tidak ada yang tahu tepatnya berapa jumlah korban bangsa Indonesia yang telah dibunuh, dicincang, dibuang, dihilangkan, dilecehkan di dua tahun tersebut, dan terjadi merata di seluruh wilayah NKRI. Benarkah ini warisan dari penjajah Belanda yang jauh lebih kejam atau barbarisme adalah ideologi bangsa paling baru?
            Kala itu, jenderal Belanda J.P Coen, tengah duduk di singgasananya sebagai the first governor of VOC, gubernur pertama VOC. Tepatnya tahun 1619, Coen berencana memperluas wilayah kekuasaan VOC di Batavia2. Sangat tidak mungkin untuk Coen memperlakukan rakyat dengan cara halus, hanya buang-buang waktu saja. Di hari berikutnya segera pasukan Belanda mengusir penduduk dari tempat persinggahannya. Caranya bermacam-macam ada yang diseret paksa keluar rumah, ada yang langsung dibunuh karena melawan, tidak sedikit pula yang disiksa berhari-hari akibat tidak patuh pada perintah sang gubernur. Tapi, itu hanya sedikit pesakitan yang dibuat Belanda diawal dirinya mengaklamasikan diri sebagai penjajah abadi rakyat Indonesia.
            Seabad kemudian, keadaan Indonesia tidak sepenuhnya membaik. Tahun 1719, nusantara baru saja didera kerja paksa yang mengharuskan pribumi terlunta-lunta dan kurus kering tanpa gizi untuk memenuhi titah sang Penjajah. Sampai biji kopi pun harus digigit secara manual oleh para tetua kita tanpa upah untuk dijadikan barang impor ke negeri Belanda. Pembangunan Anyer-Panarukan karya bangsa Indonesia yang diperintah Herman William Dandels sepanjang 1000 km, tanpa menggunakan alat, tanpa memakai alas kaki, dan tanpa makan. Tidak memungkiri sebanyak 3000 jiwa orang Indonesia berdasarkan arsip kolonial, atau sebanyak 5000 jiwa berdasarkan laporan di lapangan3, harus terbunuh karena pembuatan jalan tersebut.
            Di tahun 1965-1966, tepatnya 2,45 abad setelah mengalami kerja paksa yang serba mengerikan, rakyat harus kembali dihantui oleh peristiwa mengerikan bahkan sulit sekali tidur nyenyak untuk dapat membayangkan pembunuhan yang terjadi setiap hari. Kala itu, bangsa ini sudah mereka dari para penjajah kulit putih. Tidak ada lagi ‘bule bersenjata’ yang [2]berkeliaran di samping rumah-rumah penduduk. Tidak muncul lagi pembunuhan oleh Kapten Westerling yang menghabiskan 400 nyawa penduduk di Sulawesi yang konon dibedil serampangan hanya dalam waktu satu hari. Tetapi rupanya, mimpi buruk bangsa Indonesia kembali datang setelah pecah pembunuhan 7 jenderal penting di Lubang Buaya (Jakarta) yang diisukan ulah PKI. Sehari kemudian, perintah dari pemerintah bekerjasama dengan RPKAD (TNI) diharuskan membunuh semua orang yang terdaftar sebagai PKI ataupun underbouw (bawahan)-nya sekalipun.  
            Malam hari tepatnya bulan November 1965, tidak sedikit warga yang dianggap kekar, punya nyali, anti-PKI, dan mau membunuh, direkrut sebagai algojo. Menurut Anwar Congo, dan Supardi, dua dari ratusan algojo yang pernah membunuh ratusan anggota PKI, para anggota PKI dibunuh berdasarkan perintah dari para letnan “saya tidak tahu siapa yang memerintah, yang jelas sudah ada daftar berisi 200 orang PKI untuk dibunuh setiap harinya, kata Supardi dan Anwar yang kini sudah berusia 71 tahun4. Biasanya, orang-orang yang dianggap PKI ada yang dibunuh langsung dengan cara dipenggal kepalanya dan langsung dikubur dijadikan satu dalam sumur. Ada pula yang masih diinterogasi untuk ditanyai informasi mengenai pusat pergerakan PKI, antek-antek PKI yang lain. Cara untuk menginterogasi pun bermacam-macam, ada yang disetrum memakai listrik, diinjak kakinya dengan kursi penginterogasi, untuk wanita dilecehkan secara seksual, sampai ada yang disekap didalam wc selama tiga tahun5. Kerja paksa membangun jalan, terkadang juga harus dijalani para pemuda-pemudi yang dicap sebagai PKI, sedikit mirip dengan cara yang dilakukan Daendels.
Berbagai bentuk penyiksaan hingga pembunuhan tersebut dilakukan kerena tak lain PKI pun pernah melakukan pembantaian pada kelompok-kelompok pemuda dan pemuka agama di daerah-daerah. Hampir mirip seeprti yang dilakukan Belanda sepanjang tahun 1920an, dimana mereka menyiksa para pekerja paksa yang dianggap lalai melaksanakan tugasnya, jika wanita biasanya akan dijadikan budak seks oleh para kumpeni terutama yang terjadi di perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur.
Bangsa ini sudah cukup menderita karena ulah para penjajah. Jika sekarang penjajah berganti kulit berwarna cokelat, maka dialah penjajah yang lebih mengerikan dibanding penjajah kulit putih. Apakah ini yang dimaksud dengan mewarisi sejarah bangsa? Bukankah hal-hal kelam di masa lalu haruslah dikubur hidup-hidup, bukan dihidupkan kembali untuk menyiksa sesama bangsa. Ini bukan salah siapa yang harus disalahkan, tetapi ini adalah persoalan ideologi yang tak pernah surut hingga saat ini. Betapa sulit terkadang bangsa ini untuk hanya sekedar tahu tentang pentingnya belajar bertoleransi dan mencintai Pancasila.
           
           




[1] Tafsir Kitab Nagarakretagama, Slamet Muljana : 2007
2 Vereenigde Oost Indische Compagnie, at www.leidetuniversity.com
3 dalam Buku ‘History of Java’, Thomas Stanford Raffles
4 dalam Buku “Pengakuan Algojo 1965”, Tempo : 2014
5 Ibid

Truly Underdog

♠ Posted by Aryni Ayu in


Mereka berusaha membunuh karakterku dari awal aku berkarir. Tidak ada yang yang gratis dibawah sinar matahari, dan jangan peduli tentang apa yang orang lain katakan.....

          Bukan pertama kali ini saja perasaanku tidak dihargai, bahkan tubuh pun tidak berdaya karena ucap buruk orang lain. ini terjadi sejak aku masih berada di bangku junior high school. Sebuah tempat dimana anak-anak orang kaya berkumpul, bermanja-manja penuh dengki, dan memaki orang lain yang memiliki kekurangan. Entah apa yang kurasakan dulu, yang jelas aku selalu apatis menghadapi egoisme mereka. Aku bahkan tidak peduli tentang apa yang mereka katakan, sungguh mereka bukan pengasuhku, mereka juga bukan Tuhan yang patut aku hormati, cuih! Tapi itu sudah berlalu lama, nyatanya di masa high school, duniaku penuh dengan kekuasaan. Banyak teman yang rela melakukan apa saja untukku. Ya, aku sudah mulai mahir memainkan kekuasaanku, beginilah rasanya dihargai.
          Sekarang, bukan waktunya menjadi remaja. Sudah waktunya mendidik remaja, karena aku adalah seorang pendidik. Aku sendiri pun tidak menyadari jika aku akan menjadi salah satu orang yang sangat ditiru, dinilai segala tindak tanduknya, dan penuh dengan birokrasi. Inilah dunia dimana orang dapat menjadi kambing hitam kapan saja. Dunia tempat para penjilat, pesombong, pepamer, dan pendengki berkumpul menjadi satu. Dan kau, jika kau bergerak terlalu banyak, mereka akan siap mengikatmu kapan saja seperti kuda poni yang patuh pada majikan. Sungguh, aku bukan orang ala keraton yang siap memakai topeng kapan saja, apalagi ber’sendiko pandhita’ kepada raja dengan tidak sepenuh hati. Apakah Raja akan siap suatu waktu digulingkan oleh orang biasa? Karena dia bukan orang tua yang siap pensiun, melainkan anak muda yang sedang belajar membabat keonaran!
Aku tidak tahu penjajahan apa lagi yang sedang dan akan terjadi padaku, terutama di usia yang sangat bersinar ini, karirku tidak boleh roboh hanya karena para penjajah. Kau tahu apa yang dilakukan penjajah itu? Mereka berusaha membunuh karakterku dari awal aku berkarir. Terkadang mereka mengkritikku tentang hal-hak yang tidak aku mengerti, diantara pendengki itu sangat berharap bahwa aku tidak layak berdiri sejajar dengan mereka. Lihat saja cara mereka berbicara, berekspresi, dan bercanda tawa, tidak pernah membiarkan orang-orang berstrata dibawahnya ikut berbicara, apalagi sekedar menertawakan sesuatu. Ah, memangnya mereka pikir sedang tinggal di Acropolis? Tempatnya para dewa dewi Yunani nan perkasa berkumpul? Jangan berhayal!
Bercita citalah setinggi angkasa, maka jatuh pun kau tetap akan tersasar diantara bintang-bintang, kata seorang filosof Yunani. Menjadi seseorang yang diremehkan memang bukanlah hal yang bisa diapatiskan. Ini menjadi cambuk bagi mimpiku agar segera keluar dari tidurnya, kemudian segera bergegas mewujudkan. Tidak ada yang yang gratis dibawah sinar matahari, dan jangan peduli tentang apa yang orang lain katakan. Karena mereka hanya sekedar berucap, dan kau akan tahu perkataan mereka akan berubah setiap menitnya, mereka tidak akan mudah mengingat siapa diri kita. Well, untuk apa sangat sibuk menuruti perkataan orang lain? Itu akan menyulitkanmu, sungguh!

One Mistake Like Thousand !

♠ Posted by Aryni Ayu in
Satu Kesalahan=Seribu Kesalahan



Ah, memangnya dimana letak kesalahan bisa ditambahkan jika tidak di mulut manusia? Yang salah kecil menjadi tambah salah, yang sudah salah besar bisa menjadi benar! Benarkah ini pertanda jaman edan?

“Tidak ada manusia yang sempurna, dewa pun juga bisa salah”, ungkap Ares, sang dewa Perang Yunani. Setiap mahluk insani, tidak pernah barang secacat pun tidak berbuat kesalahan. Manusia diciptakan memang untuk berbuat kebenaran juga kesalahan. Baik diingini atau tudak, manusia yang ingin sukses harus mau dulu dicekal kesalahan. Meski itu terkadang membuat hati tak berdaya, hati terluka, manusia pun tak berhenti melakukan kesalahan dan mensalahi manusia yang lain. Apalagi di Jaman Edan ini (menurut Serat Centhini Majapahit), barang siapa tak melakukan salah, bisa disalahkan, benar kan?
            Di suatu musim dingin, seorang mahasiswa sedang melakukan tugas ujian akhirnya. Dilihat sederet biografi yang ia miliki, mahasiswa ini berprestasi, keras kepala, susah diatur, namun tak pernah melakukan curang kepada siapapun, apalagi kepada mahadewa guru. Pernah dirinya memberikan contekan kepada beberapa mahasiswa hanya sekedar untuk mengajari bahan yang akan dibuat untuk ujian matakuliah. Tetapi kabar itu bocor, sang mahadewa guru marah dan menyuruh semua anak didiknya di kelas itu untuk mengaku, jika tidak, ujian tidak akan dilaksanakan. Detik berlalu, kelas hening, teman-temannya yang ikut melakukan curang juga diam dalam kesalahan. Tapi sang mahasiswa berdiri, dan mengaku di depan kelas bahwa dirinya melakukan kesalahan. Dialah yang mengajari beberapa mahasiswa lainnya. “Maafkaan saya, telah bersalah, saya siap dihukum apapun!”. Kelas semakin senyap, mereka berdecak kaget bercampur kagum. Mana ada maling yang mengaku? Untung sang Mahadewa Guru bersifat objektif, sehingga tetap memberikan nilai ‘A’ kepada sang mahasiswa, karena sifatnya yang kesatria.
            Tetapi kali ini lain, tugas akhir yang ia lakoni harus segera selesai. Seperti biasa, sifat ambisiusnya selalu muncul setiap kali dia menemukan ‘berkah’ atau ‘tugas’ yang harus diselesaikan. Berlari kesana kemari untuk mencari sumber-sumber tepat, narasumber yang baik, dan tekanan dari beberapa Mahadewa Guru, membuatnya harus segera mengakhiri tugas tersebut. Di tengah perjalanan, tugasnya mulai selesai lima puluh persen. Namun disaat yang sama, sang mahasiswa mendapat tawaran pekerjaan dari dua agency. Satu dari bidang pendidikan dan satu lagi bidang jurnalistik, dua hal yang sangat dia senangi. Bekerjalah ia di bidang pendidikan, sebagai seorang tentor dan pendidik. Dua pekerjaan sekaligus harus ia lakoni, belum lagi tugas akhirnya. Ya, itu sangat menguras tenaga dan bisa saja menghasilkan kesalahan.
            Benar saja, di musim dingin berikutnya, sang mahasiswa melakukan kesalahan. Mungkin fatal bagi beberapa orang. Ya, memalsukan tanda tangan seorang pegawai administrasi, agar ujian akhirnya segera dilaksanakan. Semua orang lalu mulai membicarakannya! Baik di dunianya sebagai mahasiswa, maupun di tempatnya bekerja. Banyak mulut berbicara tidak sesuai dengan fakta. Banyak mulut mencibir kepribadian sang mahasiswa. Dan banyak mulut menjadi berbusa karena membesar-besarkan kesalahan. Belum lagi fitnah yang diterima dari koleganya untuk menjatuhkan sang mahasiswa. Ah, memangnya dimana letak kesalahan bisa ditambahkan jika tidak di mulut manusia? Yang salah menjadi tambah salah, yang sudah salah besar bisa menjadi benar! Benarkah ini pertanda jaman edan?
            Sebagai akibat, dirinya harus memformat ulang ujian yang telah dijalani. Tidak pernah sepintas pun terpikir olehnya bahwa tiga hal sekaligus tidak bisa dicapai secara bersama-sama. Hanya satu kesalahan, namun karena tingkah polah manusia, bisa berubah menjadi seribu kesalahan. Dirinya juga tak pernah menduga jika sang Mahadewa-Mahadewa guru yang dulu sering memujinya, kini berbalik membecinya, bahkan memberinya prasangka yang tak pernah dia buat. “kamu adalah orang yang tidak bisa dipercaya, jika menjadi orang besar kamu akan melakukan korupsi, itu terlihat dari rona wajah kamu yang penuh kerakusan!”, begitulah sang mahadewa guru menguncang sang mahasiswa.
Memang, mahasiswa tersebut melakukan satu kesalahan fatal, bahkan berkat tambahan mulut manusia diatas kesalahannya, kini dia harus dituduh melakukan banyak kesalahan. Dari soal naskah ujian yang dicap tidak bagus, pasti dipalsukan data-datanya, dan segudang hujatan lainnya. Sang mahasiswa hanya bisa terdiam mendengar dan melihat kerja kerasnya selama ini tidak dihargai. Dirinya selalu berkata pada dirinya sendiri, “Aku bukan narapidana yang layak kalian injak, aku bukan pencuri uang, dan aku tidak peduli meski kalian malas melihatku, suatu hari akan datang seorang pembesar kepada kalian yang pernah kalian injak-injak, yaitu Aku! Terimakasih Anda-Anda telah mendidikku menjadi seorang petarung yang siap bertarung demi kemajuan!"
Bukankah menjadi seorang tokoh haruslah mau dihujat dan dihujani berbagai cobaan dan rintangan? Karena dengan cambuk, seseorang bisa berlari cepat menuju cita-citanya. Seorang Einstein pun juga begitu!