♠ Posted by Aryni Ayu in Reportase at 08.11
“Tapi kan aku ingin bermain?sebisaku. Tolonglah ijinkan aku”
Seolah – olah ingin bukti bahwa yang cacat tak benar – benar cacat. Sebaliknya, yang tampaknya sempurna terkadang cacat.
Sore ini, berjalan menyusuri sebuah lapang berlumuran
hijau. Menikmati sajian oranyenya mentari yang berpulang, menengguk secangkir
ketenangan, dan membuyarkan pikiran dangkal. Oh, benar – benar sore yang aku
impikan. Andai saja aku seorang Angelina J atau Avril Lavigne, akan aku beber
karpet merah ala Hollywood di pinggiran lapangan layaknya kaki lima, agar semua
orang bisa memotret wajah tenang ini. Tapi sayangnya, aku mengkhayal,
ketenangan yang palsu!
Inginku mendongkrak pikiran – pikiran gila
tentang cinta ini, agar aku tak gila, agar aku kembali waras. Kembali menyeruput
setetes dua tetes kegilaan. Melamunkan seorang pangeran datang, menggandeng tanganku,
dan membawaku ke istananya, bukan untuk jadi tukang cuci piring, tapi jadi
permaisuri. Lalu aku berkuda bersamanya, menyanyi bersama, atau sekedar
bersendau gurau. Mendambakan dirinya sebagai belahan jiwa sekaligus guru. Ah,
khayalan bodohku yang indah. Bukankah akhir dari romeo dan juliet selalu
bahagia?
Kaki ini terus berjalan bagai model di
catwalk. Berusaha tersenyum diantara gerumunan orang, dan semakin lebar saat kedipan
kamera mengintai. Persis seperti hidupku. Lamunan yang tak terbatas, tak sadar
aku telah memimpikan hal – hal muluk, tentang sang cinta. Pikiran ini memang
semburat. Tahukan tempat sampah yang terurai berurai di depan rumah? Seperti itulah
otakku, perlu disusun kembali. Sambil terus kosong menatap hijaunya lapang, beberapa
lelaki mendadak menghampiriku. Dari paras tampan hingga hancur, dari berbudiman
hingga amoral, dari pendiam sampai urakan semua serba ada. Bernar – benar toserba.
Rupanya sanggup membuyarkan konsentrasiku. Wajah ini pun tersenyum sembari
menatap wajah – wajah mana yang tak bertopeng.
Langkah terus berjalan, tanpa
menghiraukan dan mendadak terhenti. Kembali aku berusaha menenangkan semburat
ini. Bersama lelaki – lelaki itu, aku melihat seorang kecil mendekati kawan –
kawannya. Masih bocah pikirku. Tetapi ada sesuatu ketenangan disana, ada usaha
yang amat sangat diusahakan dibalik kebocahannya. Aku mendekat, siapa tahu ada obat penenang. Siapa tahu diantara
laki – laki ini tahu makna yang aku lihat.
Si bocah menegosiasikan sesuatu. Terdengar
gumaman dari rekan – rekan kecilnya. “Untuk apa mau bermain? Kan kau sudah
ditolak di kelompok seumurmu?” “Tapi kan aku ingin bermain?sebisaku. Tolonglah
ijinkan aku”. Rekan – rekannya mulai berpikir, meringsutkan keningnya. Satu menatapnya
lirih. Satu tak tahu apa – apa. Yang lain, sibuk berdiskusi. Sungguh
pemandangan bagus. Benar – benar menghenyakkan dan menenangkan. Andai aku bisa
melukis, ingin kugambarkan sosoknya yang sempurna, sosok ideal agar dirinya tak
dipandang lirih.
Tak segera bermain, cukup menunggu lama.
Sebelum menemui rekan – rekan kecil itu. Rupanya, dia sedang mengayun – ayunkan
tongkat kakinya. Berusaha mengambil bola saat lawan mainnya adalah bocah seusianya.
Ya, aku melihat itu. Namun sayang, mungkin karena kekurangannya itu, dirinya
lalu terdampar. Dikeluarkan dari kelompok. Yah, andai khayalan seorang anak
kecil setinggi langit, tak bisa kubayangkan ketika dirinya mungkin sebagai
Ronaldo kecil dikeluarkan dari klub besar dunia karena cacat. Betapa hancur
sang harapan.
Langkah demi selangkah kudekatkan diri agar
terlihat jelas drama itu. Pun lelaki – lelaki yang ada disampingku tadi,
ternyata mulai menjauh. Nampaklah hanya dua tersisa. Ya, mungkin mereka tidak
tahu maksudku. Jika bertopeng, maka yang tampak hanyalah pemandangan tak
penting seorang wanita. Topeng – topeng itu kemudian bertanya, “sedang apa
wanita yang sedang kudekati ini? Bukankah seharusnya dia memperhatikanku? Bukan
menonton segerombolan bocah kecil. Wanita itu harus membuat kesan yang baik,
seolah tertarik. Apa yang dia pikirkan?”
Begitu topeng – topeng itu pergi. Aku mulai
tahu mereka tak pernah tahu diriku. Tak pernah tahu apa yang sedang aku lihat. Pun
terlalu dangkal melihat sebuah pemandangan. Yang mereka tahu, seorang wanita
impiannya harus berkesan baik didepannya, bukan mengalihkannya. Padahal,
kebaikan sesungguhnya, tak akan pernah ditemukan di bagian terluar. Dua lelaki
yang tersisa, mereka mau tahu dan peduli tentang apa yang kulakukan. Tinggal aku,
yang harus memilih seorang pangeran.
Setelah dramaku usai. Drama itu pun
kembali berjalan. Human interest ini
tak akan pernah aku sia – siakan. Si bocah kecilku ini rupanya diijinkan untuk
bergabung. Seolah – olah ingin bukti bahwa yang cacat tak benar – benar cacat. Sebaliknya,
yang tampaknya sempurna terkadang cacat. Dan aku melihat bocah itu tak dilihat
dari bocahnya, tapi inginnya. Sungguh memberikanku obat penenang. Seolah otakku
telah tersusun rapi, tak lagi semburat. Orang yang benar – benar berusaha dan
benar usahanya, harus diberi kesempatan. Tak pandang dia mendekati sempurna
atau tidak.
0 komentar:
Posting Komentar