♠ Posted by Aryni Ayu in Persatuan Bangsa at 09.06
Adapun di lantai terbawah, dihuni oleh ‘masyarakat’. Mereka bukan orang – orang ‘gagal’ dan ‘putus asa’, melainkan para penanggung “ekonomi rakyat” : para pengolah tanah, penangkap ikan, pekerja di perkebunan dan di pabrik – pabrik, para pegawai bawah dan pengusaha di kaki lima
Untuk
Indonesia, sebuah negara dengan keistimewaan keragaman yang kompleks. Nusantara
yang plural akan etnisitas dan kultural, komunitas relijius – tradisional,
serta berisi orang – orang indigenous.
Tak salah memang jika banyak penulis menyebutnya ‘amazing’, “..her diversity is
so amazing”, ungkap Franz Magnis Suseno. Juga tak pernah tepat sasaran jika
menganggap perbedaan di Indonesia tak pernah mendapat tempat. Barangkali,
ungkapan tersebut hanya melihat dari satu sisi. Relijius yang terlalu fundamentalis,
sisi politis, serta ekonomis, besar kemungkinannya hanya demi pengikutan arus
globalisasi. Pun sisi – sisi yang lain menjelaskan kekacauan – kekacauan bumi
pertiwi. Identitas kebangsaan rupa - rupanya harus menemui tanda tanya. Memang hal
ini tak pelak terbantahkan secara radikalis.
Indonesia. Sekali lagi sebuah negara,
negara dengan keberagaman (plural) yang tak dapat menuntut keseragaman. Berbeda
adalah hal biasa dalam wawasan negara – bangsa ini. Ironisnya, mozaik kekacauan
mulai ‘bertingkah’ dalam kehidupan bumi pertiwi, bahkan semakin menjadi. Tak terbantahkan
secara radikalis memang jika negeri ini sedang ‘kacau’, lagi – lagi karena soal
sektarianisme, dan sukuisme. Nuansa disintegrasi dan tribal mulai dirasakan
bangsa ini. Tentu masih lekat di pikiran masyarakat soal – soal mengenai
kekerasan yang setiap hari menjadi tayangan wajib di berbagai media, cetak
ataupun siaran televisi. Berbagai elemen masyarakat dari kaum marhen,
intelektual, hingga elit secara vertikal memiliki problematika yang tak jauh
berbeda untuk membuat krisis identitas semakin menjadi, rasa kebhinekaan pun
kian merosot.
Ibaratkan
sebuah gedung bertingkat yang masing – masing tingkat memiliki penghuni. Di
lantai atas, ada kaum elit yang setiap harinya mampu ‘menyimpan’ milyaran atau
triliunan rupiah, barangkali untuk proyek – proyek seperti Banggar, sekedar
menutupi ‘Century’, ataupun menebar citra saat kelalaian terbongkar di depan
publik. Di lantai dua terdapat para pebisnis berjumlah 40 juta lebih penghuni
yang dapat memfasilitasi anak – anaknya sekedar bersekolah di tingkat tinggi,
dan terkadang lebih memilih tak peduli pada konflik – konflik yang sedang
berlaku. Adapun di lantai terbawah, dihuni oleh ‘masyarakat’. Mereka bukan
orang – orang ‘gagal’ dan ‘putus asa’, melainkan para penanggung “ekonomi
rakyat” : para pengolah tanah, penangkap ikan, pekerja di perkebunan dan di
pabrik – pabrik, para pegawai bawah dan pengusaha di kaki lima (F.M. Suseno,
2006 : 145).
Disinilah
para penghuni lantai tiga dapat menyuarakan reaksi dengan seruan – seruan ideologis
praktis yang radikal terhadap elit, ketika negara sedang tak berpihak pada
rakyat mudah saja bagi mereka untuk memilih kekerasan sebagai jalan keluar.
Bahkan saat gaung globalisasi semakin ‘menggerus’ kedamaian para kaum
tradionalis – relijius.
Dalam
artian bahwa tak mungkin sebagian besar rakyat di wilayah – wilayah pedalaman
indonesia akan mampu menukarkan cara – cara tradisional mereka di berbagai
bidang : ekonomi, sosial – budaya, dan kultur untuk membayar tuntutan dunia global, maka
disinilah akan terjadi berbagai konflik. Masalah – masalah kontemporer (akhir –
akhir ini) yang belum mendapat penyelesaian : konflik antar suku Papua (Tv.one,
10 Juli 2012), konflik agraria (mesuji), konflik fundamentalisme keagamaan,
bahkan degradasi moral generasi, yakni tawuran antar pelajar yang siang hari
tadi diberitakan ada dan marak terjadi (Metro tv, 16 Juli 2012). Satu hal yang
akan menjadi pertanyaan besar adalah dimana identitas bangsa ini, sudah
lenyapkah di tengah dentuman keras globalisasi? Apakah ini yang dinamakan
krisis identitas?
Pertanyaan
keras diatas seakan semakin memperkuat bahwa problematika bangsa semakin radix
(mengakar), dan terjadi bukan karena sebab, ada api ada asap. Jika saat ini
konflik menjadi causalitas internal, maka ada ‘globalisasi’ sebagai pihak
eksternal yang turut menjadi indikator tersulutnya berbagai konflik yang
mengemuka di Indonesia. Globalisasi bahkan tak hanya sekedar artian politis,
namun juga mempengaruhi gaya pikir sosial, menyangkut nilai dan pola hidup
kita, melalui jalan ini, gagasan – gagasan seperti : hak asasi manusia,
demokrasi, ekonomi pasar, pola – pola konsumsi, kemudian disebarkan dan
diminati dimana – mana. Ini hanyalah ‘bualan’ lain tentang kebebasan (David
Hurvey, “Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis”, 2010 : 1).
Jika
tak mampu memfilter, maka identitas bangsa akan mengalami kebingungan. Rasa ke-kitaan
dan ke-kamian yang berlebihan karena adanya desentralisasi politis, banyak dari
generasi kini bangga akan merek – merek luar negeri menjadi penyebab sifat
konsumerisme tingkat tinggi, lalu tekanan dari pihak elit untuk menstadarkan
perekonomian lokal dengan internasional agar terhindar dari resesi ekonomi
macam Yunani membuat rakyat jelata serba kesusahan. Ditambah lagi struktur
sosial tradisional yang mulai berbenturan keras dengan dunia global,
mengharuskan mereka bertahan (survive) tanpa lelah, agar komunitas miliknya tak
hilang tertelan ruang publik negara yang kian kasar, gersang, dan hambar (Kayan
Swastika, “Global Paradoks, Negara Kebangsaan Indonesia, dan Pendidikan
Multikultural).
Krisis
identitas harusnya tak menjadi disukursus lagi. Ada Bhinneka Tunggal Ika
sebagai perekat, the way of life bagi
keragaman bangsa, sesanti tiada tara untuk mengatasi berbagai konflik akibat
prasangka. Apabila benar – benar direvitalisasi etosnya, maka identitas Indonesia
akan stabil, meski terdapat berbagai pengaruh dari yang tak sejalan dengan
pandangan hidup bangsa. Meminjam istilah Benedict Anderson tentang ‘imagined
communnity’ (1993), yakni seorang individual yang merasa suatu bagian dari
komunitas bangsanya. Hal serupa terjadi kala seorang Indonesia memiliki rasa ‘we
feeling’ dan ‘kebhinekaan’ terhadap negara – bangsanya sendiri, maka disitulah
bangsa yang bermula dari ‘seorang’ akan menggambarkan adanya suatu imaged communities, dan menemukan
kembali sejarahnya yang mengikat berbagai suku bangsa di dalam satu kesatuan
(integrasi bangsa).
2 komentar:
anjrrrrrrriiiiiiiiiiiiiittt nulis lepas kek gini aje masih ada kutipan dari sumbernya :3
what an amazing write :p
jadi pengen liat tulisan-tulisan yang laen hehe
hehe iya,biar tulisannya kuat n kerasa tastenya,
okzz thx,,silakan liat tlsn yg lain dh.,,.
kritik n saran ya bang,,:)
Posting Komentar