Suriah, Tetap Sekarat!

♠ Posted by Aryni Ayu in at 05.53

-Day One, 23 Januari 2013-

Demokrasi hanya milik negara – negara maju. Selain yang maju, akan menjadi makanan bagi sang maju. Suriah, hanya korban. Kepentingan sejati tak pernah terkalahkan hanya dengan perdamaian dunia (Aryni Ayu)

            Dulu, saat masih duduk di perkuliahan empat semester, sewaktu teori – teori perang saudara di dunia mulai meletup, Angelina Jolie yang masih sempat mengunjungi kamp – kamp pengungsi di Turki, Obama yang masih hangat – hangatnya berada di kursi empuk gedung Putih, serta rambut Susilo Bambang Yudhoyono yang masih belum beruban. Tepatnya hampir dua tahun yang lalu, Timur Tengah mulai bergejolak!
Ketika itu saya sedang menuliskan artikel pertama tentang kawasan Timur Tengah, yang saya rasa cukup untuk mengkritisi terkikisnya celah – celah kemanusiaan di kawasan tersebut. Meski hanya penulis lepas, saya pikir dengan tulisan ini, juga dengan tulisan para penulis terkenal, akan mampu meredam konflik yang semakin menggejala itu. Namun ternyata, pagi ini, tepat hampir dua tahun masa itu lahir, gambar – gambar peperangan ; janda dengan luka tembak di sekujur tubuhnya, beberapa anak yang kehilangan rumah, anak – anak kecil duduk termangu di puing – puing gedung bekas tembakan, seorang ibu yang kehilangan anaknya, tetap dan selalu menjadi headline di hampir semua media nasional dan internasional. Nampaknya, tak ada perubahan berarti. Kamp – kamp pengungsi terlihat bertambah, menandakan penderitaan manusia!
Demokrasi, kiranya tak akan pernah menembus batas – batas perpolitikan Timur Tangah. Mati segan hidup tak mau, jika dirinya yang penuh kebebasan itu dipaksakan pada negara – negara aristokratis. Demokrasi bahkan sudah terlihat rapuh sejak abad 5 SM, saat jaman Yunani Kuno masih memerintah (Dahl, 2003). Lihat saja, hingga hari ini, lebih dari 700.000 rakyat Suriah menderita, separuh diantaranya meninggal akibat konflik yang tak berkesudahan (Kompas 23 Januari, 2013).
Bukan rahasia lagi jika pihak – pihak elit dari berbagai belahan dunia, termasuk negara adidaya sendiri sudah terlanjur berusaha keras untuk menyelesaikan konflik tersebut. Amerika Serikat, sudah tentu sebagai pendamai sekaligus pemangku kepentingan utama dibalik perdamaian dunia. Cina dan Rusia, sebagai dua sahabat karib pendukung Suriah. Kemudian dibelakangnya terdapat negara – negara Eropa, sebagai ‘buntut’ negara adidaya. Namun belum satu pun diantara mereka yang bisa kita sebut sebagai pahlawan. Tentu masih segar dalam ingatan dunia, bahwa bulan April lalu, hubungan Cina dan Rusia dengan Amerika sempat memanas (Kompas, April 2012). Satu menginginkan agar demokrasi segera ditegakkan, dua lainnya ingin Suriah tetap dalam pemerintahan yang telah ditentukan. Padahal jika mereka selaku penanggung jawab dunia mau berkaca, untuk apa lagi legitimasi berbau demokratis harus dipaksakan. Toh, demokrasi hanya milik negara – negara maju. Selain yang maju, akan menjadi makanan bagi sang maju. Suriah, hanya korban. Kepentingan sejati tak pernah terkalahkan hanya dengan perdamaian dunia. Terlalu banyak campur tangan dalam perdamaian tersebut.
Meski Perserikatan Bangsa Bangsa memerintahkan bertindak, suara yang ada bukanlah rakyat, kebanyakan hanya suara orang – orang perwakilan negara – negara berkepentingan. Lihat saja kesimpang siuran berita yang terbit di media internasional. Negara A menuduh negara B sebagai pemasok senjata untuk kepentingan kekuasaan, lalu B mensuarakan A hanya membual. Adapun negara adidaya, disinggung – singgung memaksakan demokrasi agar Suriah beserta kawasan Timur Tengah lain mudah dikendalikan, notabene selama ini, kepemimpinan disana memang terlampau kuat. Dalam teori kepentingan politik, negara lemah terbiasa tidak mempunyai pilihan selain harus mematuhi komando negara kuat (Politik Antar Bangsa, Morgenthau : 2010). Suriah, hanya menjadi medan pertempuran legitimasi, sampai kapan harus sekarat dan pada akhirnya mati? 

0 komentar:

Posting Komentar