-Day One, Friday, 18th January 2013-
“Aku tidak memaksa orang lain untuk
menerima masa laluku, dan aku tidak akan pernah kembali. Aku akan menjadi orang
yang lebih baik, bukan wanita sempurna, tetapi wanita yang mampu menghadapi
berbagai urusan seisi bumi”
Rasanya
sudah lelah hingga berbulan – bulan tak menemukan kebahagiaan, bahkan di dalam
isi diri sendiri. Seperti sudah terlalu banyak ombak yang mendera dermagaku.
Anggap aku sebagai kapten yang membawa banyak manusia dalam sebuah kapal, lalu
kapal itu berayun – ayun tertabrak segerombolan gelombang laut. Kadang kapal
mengayun ke kanan, ke kiri, maju, dan mundur. Layaknya nasib manusia dalam
putaran roda kehidupan. Kepatuhan pada nasib yang tak bisa ditawar – tawar.
Bahkan jika seorang kapten tersesat di sebuah pulau, di tengah – tengah laut,
atau kegelapan, manusia yang hidup di kapal, juga akan turut menyertainya, atau
bisa jadi, si kapten dibiarkan sendiri, karena sudah tak berguna. Ya, rasanya seperti itu hidupku.
Aku
masih ingat, malam itu, minggu pertama setelah kami baru saja berhubungan
selama tiga bulan. Menikmati yang indah – indah dari serumpunan kata – kata
cinta. Kadang bersenda gurau, kadang saling mencaci, membicarakan lucunya
kelemahan manusia lain, atau sekedar memupuk rencana – recana pernikahan. Ya,
itu sangat menyenangkan. Bagiku, dia seorang laki – laki yang tangguh, tegas,
dan berkepribadian diantara segudang kelemahan – kelemahan lain. Aku begitu
percaya akan kehidupan yang lebih baik bersamanya. Saat aku diterpa banyak masalah
dalam lingkungan karir di sebuah lingkungan sekolah, aku sebagai guru sekaligus
ketua dari guru – guru praktek lainnya, memegang tanggung jawab yang sangat
berat, setidaknya bagiku, dirinya sangat membantu sekedar memberikan saran –
saran.
“Sayang, begitu berat aku disini, satu orang
menyerangku dari belakang, seorang lain pura – pura bermuka manis di depanku,
dan banyak lainnya ikut terprovokasi. Aku mulai lelah, tidakkah mereka mengerti
bahwa berada di posisiku saat ini adalah berat?”
“Memang mereka seperti sayang, kau
tidak boleh gentar meski mereka melempar kotoran kepadamu, hadapi saja. Besok
kau ambil cuti, sakit semua badanmu jika berminggu – minggu tak libur sama
sekali. Biar mereka melepaskan racun – racunnya. Hari senin, kau berikan
penawar untuk mereka, beri sidang, agar mereka kapok.”
“Baik, terimakasih sayang..”
Besoknya, dengan segenap kekuatan aku
periksai mereka satu – satu, aku beri arahan agar mau menghargai satu sama
lain, dan terbuka tanpa cela dibelakang. Hasilnya, seketika itu juga masalahku
selesai. Benar – benar saran yang luar biasa. Dan bagiku, dia malaikat
penyelamat.
Hubungan pun terus berjalan, sampai
akhirnya pasti terdapat batu ditengah jalan yang siap kapan saja melukai
manusia. Aku sampaikan sesuatu yang menurutku harus tersampaikan, tepat pada
waktunya.
“Sayang, bolehkah aku berbicara
sesuatu?
“katakanlah..”
“Akankah kau akan memaafkan dan
menerima?”
“Akan kucoba..”
“Baik, karena diawal hubungan ini tak
pernah kau tanyakan aku seperti apa, kau begitu percaya kepadaku, aku harap
begitu juga kali ini. Dulu, di masa laluku, pernah seorang dua orang laki –
laki hampir menjahili harga diriku, pernah terbesit di otak mereka untuk
merusak apa yang aku punya. Dengan beragam muslihat, mereka mengelabuiku, pura
– pura menempatkan diri ini sebagai pilihan terbaiknya. Mereka pura – pura baik
padaku, dan aku hanya orang bodoh yang tak tahu kemana arah mereka berbicara
dan bertindak. Maafkan, diri ini hampir saja rusak. Beruntung Tuhan masih menyayangiku,
karena sejujurnya, meski terlihat begitu keras, namun tak pernah sedikitpun aku
ingin menjahati orang lain. Tuhan memberi waktu kepadaku untuk segera pergi
dari kehidupan mereka. Tuhan menunjukkan apa – apa yang menjadi belang
keduanya. Dan Tuhan, masih memberikanku harga diri ini, setinggi – tingginya.
Aku menunggu jawabanmu.
“....aku benar – benar kaget
mendengar semua itu. Masa lalu itu, mengapa tak kau ceritakan diawal? Aku
sayang kepadamu sampai titik darah menemui tegangnya, sebelum janur kuning
menemui lengkungnya, tapi masa lalu itu, aku masih tak bisa memafkan, aku
merasa ditipu. Aku butuh waktu untuk percaya padamu lagi..”
“Tapi, aku tidak melakukan apa – apa,
terkecuali membela diri, sungguh, aku tak sampai rela harga diri ini teraniaya oleh
mereka..”
“ya, tapi maaf, aku masih butuh
waktu..”
Hanya diam yang membuat aku tenang.
Berbohong pun tak ada, itu sudah sejujur – jujurnya, harus kukatakan apa lagi?
Masa lalu tak bisa kuubah, hanya masa depan yang aku bisa ubah.
Sepekan setelah itu, hubungan terasa
hampa. Dirinya terus menerpaku dengan berbagai pertanyaan, apa – apa yang
pernah aku lakukan sebelumnya. Sampai aku harus ikut berbohong, aku mengaku
pernah melakukan sesuatu dengan masa laluku. Tapi ya, aku berbohong. Hanya
untuk membuatnya merasa puas. Sungguh, apa yang sebenarnya aku lakukan hanya
membela diri, dan kabur, tak lebih.
Dan hubungan kembali mereda, hampa,
mereda, dan hampa lagi, hingga detik ini. Rasanya, sudah seminggu aku menderita
dengan berbagai pertanyaan itu. Dengan halus, kadang sewenang – wenang, namun
lebih banyak marah kepadaku karena penjelasan yang aku berikan. Dia semakin
membenciku. Diam, lebih menjadi pilihanku. Sehari dua hari, rasanya diri ini
ingin marah kepadanya, ingin mencaci seperti apa yang dia lakukan. Tapi, hati
menahan. Tak bisa, jika begini terus, hubungan akan hampa, tak ada cinta, tak
ada rasa. Kuputuskan untuk menelepon semalam. Benar saja, suara kosong, benar –
benar tak kurasai jiwa orang hidup didalam sana. Dia begitu tenang menerima
telpon dariku, tak seperti biasanya, yang ceria, terkadang marah, atau sekedar
membentak. Berkatalah aku..
“..ehm, aku hanya ingin kau tahu
dimana letak kesalahanmu, tak bisakah kau meminta maaf dan menarik ucapanmu
bahwa kau menjalani hubungan dengan keterpaksaan?
Tak ada suara, kemudian..
“Satu, aku masih tidak bisa
memaafkan, aku masih merasa tertipu. Terpaksa menjalani semua ini. Rasanya
sudah tidak bisa keadaan ini kembali seperti dulu, ya jalani saja hubungan yang
hambar ini.
“Tidak bisa, lebih baik mati daripada
kurasai hambar, aku sudah berulang kali menjelaskan kepadamu, tak bisakah kau
mempercayaiku?
“kalau rasa sayang masih ada, tapi
aku butuh waktu, aku masih tidak bisa percaya kepadamu..terpaksa. kau tahu
sendiri dulu wanita seperti itu langsung aku buang..”
“hei..aku bukan wanita rendahan, kau
tahu itu! Aku bukan sampah yang bisa seenaknya dibuang, dicaci. Aku bukan
mantan – mantanmu yang murahan! semua laki – laki begitu mempercayaiku,
menganggap aku baik, tapi kenapa kau yang benar – benar aku anggap terbaik,
justru ikut menyakitiku? Tak bisa kah kau punya hati sedikit saja!! Hanya orang
bodoh yang terjebak di masa lalu!
Batinku membentak, tak terima begitu
saja jika diri ini dihina atas sesuatu yang tak pernah terjadi, apalagi
dilakukan. Air mata menetes begitu derasnya. Di telpon, rasanya diri ini sudah
malu, menangis di depan pria? Ah, bukan diriku sekali, tetapi tak bisa
tertahankan. Oh Tuhan, rasanya hati dan raga ini begitu sakit. Aku biarkan
orang tuaku terbangun, memasuki kamarku untuk menenangkan diri yang sedang
terbunuh. Sampai dini hari, tak surut juga air mata ini. Kubiarkan mama
berbicara dengannya, aku sudah tak kuat.
Raga dan jiwa ini tak karuan
lemasnya. Segera kurebahkan diri diatas tempat tidur bertaburkan buku – buku
yang aku baca sebagai obat penenang. Kamudian berdoa pada Tuhan. Tuhan, tolong
tidurkan aku dalam kondisi yang tenang, dan bangunkan aku dalam keceriaan yang
penuh semangat untuk tetap hidup. Sesungguhnya dirinya baik, aku menyayanginya,
hanya masih tak bisa menerima keadaanku yang seperti ini. Aku bukan wanita yang
sempurna Tuhan, tapi setidaknya biarkan aku bahagia, sedikit saja.
Sinar matahari di ufuk menembus
jendela kamar. Harumnya bunga – bunga yang entah darimana asalnya
membangunkanku dari lelahnya hati. Kulihat kupu – kupu bertengger diatas
tatanan bunga di kamar. Aku sadar, air mata itu sudah surut. Kemudian
berkacalah di depan kaca rias, aku masih begitu berharga. Sebuah senyuman
tersimpul di bibirku yang semalam sempat mengeluarkan darah. Setiap hari adalah
hari baru, harapan baru, dan harga diri yang juga baru. Diriku tak lagi
terbunuh, sudah hampir sepenuhnya hidup. Aku mulai sadar bahwa aku tidak bisa
memaksa orang lain untuk menerima masa laluku, dan aku tidak akan pernah
kembali. Aku akan menjadi orang yang lebih baik, bukan wanita sempurna, tetapi
wanita yang mampu menghadapi berbagai urusan seisi bumi. Aku berima kasih atas
perkara – perkara yang pernah menimpa hidupku, membuat diri menjadi lebih kuat.
Semangatlah para wanita..!